Metode Visual bersama Natasha Gabriella Tontey

01.02.17

Metode Visual bersama Natasha Gabriella Tontey

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Natasha Gabriella Tontey (T)

by Muhammad Hilmi

 

H

Dari mana gairah berkarya dalam bentuk visual lahir?

T

Sedari kecil ketertarikan terhadap visual itu telah ada, seperti pada umumnya anak-anak yang suka menggambar di dinding. Ketertarikan terhadap visual ini mungkin karena orang tua saya memberi saya tontonan film kartun, juga buku cerita. Saya ingat cita-cita saya sedari kecil, salah satunya adalah untuk jadi pelukis, ini cita-cita saya pas umur 5 tahun. Ayah-Ibu saya lalu membelikan kanvas, juga krayon, bahkan saya diarahkan buat les di Ancol, meski akhirnya saya tidak pernah les di sana (tertawa). Saat memasuki kelas 3 atau 4 SD, cita-cita saya berubah jadi fashion designer, saat itu orang tua saya juga memfasilitasi dengan membelikan saya folder tempat saya menyimpan rancangan-rancangan saya. Saat SMA, cita-cita saya berubah lagi (tertawa).

Saat SD saya sempat punya komputer dan printer, di komputer itu ada software desain kartu ucapan yang seingat saya bernama, “Disney Time Print Kit”, di situ saya biasanya mendesain kartu ucapan yang saya bagikan pada teman-teman saya. Tapi saat saya SMA, saya merasa bahwa saya tidak bisa menggambar. Saya bersekolah di SMA Tarakanita 1 yang terkenal dengan ekstrakurikuler (ekskul) teater dan drum band-nya, sebenarnya saya ingin bisa ikut menjadi anggota ekskul ini, tapi setelah dipikir-pikir, kalau saya menjadi anggota ekskul ini saat lulus nanti – tanpa merendahkan skill yang dipelajari di ekskul drum band – saya merasa tidak akan bisa hidup dengan meniup terompet atau dengan menari. Saya lantas memilih ekskul fotografi karena kemampuan foto ini nanti bisa saya kembangkan sebagai cara mencari uang. Sesederhana itu. Tapi ternyata sekarang saya miskin-miskin juga (tertawa).

Ketika itu saya sama sekali tidak tahu mengenai dunia seni, pengetahuan saya hanya sebatas Andy Warhol yang jadi wallpaper handphone. Tapi saat itu saya mulai sering datang dan mengikuti pameran fotografi. Nah, desain poster pertama yang saya buat adalah poster pameran fotografi, saya ingat sekali kalau saya memakai hampir semua efek di Photoshop untuk poster tersebut. Dalam hal fotografi, referensi saya juga tak terlalu banyak, di Indonesia mungkin saya cuma tahu ada Darwis Triadi.

H

Bagaimana bentuk karya foto Tontey saat itu?

T

Kebanyakan foto saya adalah foto anak-anak di jalanan atau di pasar, kalau istilah dari fotografer.net, genre-nya human interest. Tentang fotografi ini, mungkin banyak yang tak tahu bahwa basic saya di situ.

Di akhir SMA, saya ikut bimbingan belajar. Ada dua yang saya ikuti saat itu, BTA (bimbingan belajar untuk masuk ke universitas negeri), dan Bintang Merah (bimbingan belajar untuk masuk jurusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB). Di BTA saya jarang masuk, karena memang tidak terlalu berminat untuk masuk Universitas Indonesia atau semacamnya, tapi di Bintang Merah saya lumayan rajin. Saya menganggap jurusan desain paling mendekati aktivitas saya sebagai fotografer, padahal saat itu saya juga memaknai desain hanya sebatas pekerjaan bikin poster. Itu adalah masa di mana saya tak tahu bagaimana menyatukan cita-cita saya sebagai graphic designer, fotografer dan fashion designer.

Di tengah masa les Bintang Merah, saya diterima di Universitas Pelita Harapan jurusan Desain Komunikasi Visual. Entah karena saya malas atau apa, saya cukup puas diterima si universitas tersebut, orang tua saya juga mendukung. Yang saya tidak paham adalah justru pengajar di Bintang Merah yang menilai bahwa adalah salah bagi saya untuk memutuskan kuliah di UPH, bagi mereka kalau tidak masuk ITB itu tidak bisa dinilai sebagai sebuah pencapaian. Setelah itu saya tidak pernah masuk lagi dan memutuskan untuk fokus mempersiapkan UAN.

Masa kuliah di DKV UPH saya blank. Saya tidak tahu karir apa yang bakal saya jalani nantinya selepas lulus dari jurusan ini. Tapi sebelum itu, saat liburan sebelum masuk kuliah saya sempat ikut workshop fotografi di Galeri Jurnalistik Antara. Di sana saya menyesali masa les saya bersama Darwis Triadi yang mahal, tapi ternyata sia-sia, tak ada hal penting yang saya dapatkan di sana selain sertifikat dan foto bersama beliau. Baru melalui pengalaman di Antara ini saya tahu bahwa fotografi adalah salah satu cara untuk membikin sebuah karya. Bahwa meski pendekatannya jurnalistik, saya jadi tahu bahwa fotografi bisa bercerita, juga tentang bagaimana prosedur dan etika jurnalisme yang benar, sebuah hal yang sekarang semakin sulit ditemukan.

Tapi di workshop tersebut tugas akhir saya dinilai gagal. Saat itu saya membuat karya yang mengabadikan demam smartphone blackberry dan term “autis” yang populer dipakai untuk menyebut adiksi terhadap gadget dalam seri foto fisheye dengan metode slow speed. Karya-karya peserta workshop kemudian dibahas, salah satu pembahasnya adalah Santirta Martendano (saat itu fotografer Majalah Tempo) dan beliau berkata bahwa karya foto saya biasa saja, “Kalau foto begini saja, saya juga bisa”, katanya. Saya sempat kesal, tapi di saat yang sama Oscar Motuloh justru menyemangati saya sembari menjelaskan bahwa dunia fotografi tak hanya sebatas jurnalisme, ada Nico Dharmajungen, Firman Ichsan dan MES56 yang menyambungkan fotografi dengan fine art. Beliau mengarahkan saya ke sana. Saya lantas banyak bertanya kepada beliau.

Di pameran lain yang saya ikuti, saya kemudian juga belajar bahwa dalam fotografi, ada konsep yang diangkat dalam berkarya. Di acara fringe event Jakarta Biennale 2009 saya mengikuti workshop kuratorial yang dikepalai oleh Firman Ichsan, saat itu saya meminta untuk menulis sendiri kuratorial untuk foto saya. Dan akhirnya saya mencetak foto sekaligus kuratorial dalam bentuk instalasi view-master. Saat saya melihat lagi konteks karya tersebut di Galeri Foto Jurnalistik Antara, saya rasa karya saya tersebut cukup berbeda.

H

Bagaimana saat kuliah di jurusan desain?

T

Saat kuliah, saya justru lebih aktif di luar kampus UPH Karawaci. Tapi saya memang belajar banyak di luar kampus, saya jadi tahu berbagai pameran yang ada dan banyak lagi.

Saat tugas akhir di kuliah, saya membuat buku yang merespon tulisan Rain Chudori, karya tersebut dibimbing oleh F.X. Harsono, dan beliau berkata bahwa sebenarnya karya saya lebih dari karya desain grafis, bahwa buku tersebut adalah salah satu bentuk karya seni. Beliau lantas menyarankan saya untuk mendalami seni dan jadi seniman, dan meninggalkan desain grafis.

H

Secara proses, bagaimana dasar fotografi ini kemudian melebur dalam aktivitas desain dan berkesenian?

T

Semuanya tabrakan saja. Sempat agak pusing juga dengan berbagai aktivitas yang saya dalami, tapi saya merasa beruntung saat bekerja sebagai graphic designer di Studio 1212, di sana saya mendapat kebebasan. Saya bisa ijin dalam mengikuti berbagai workshop. Tapi masa-masa itu saya sendiri sebenarnya bingung untuk mencari garis tengah dari berbagai aktivitas yang saya dalami. Mulai dari foto, desain dan berbagai hal lainnya.

Saya sempat merasa bahwa untuk mendalami seni rupa, kita harus hidup seperti sosok-sosok seni rupa yang kita kenal, layaknya pengikut yang mereplikasi kebiasaan role model-nya. Kebingungan ini saya alami saat saya menjalani profesi sebagai graphic designer. Bahkan saat menjadi bagian dari pameran EXI(S)T di Dia.Lo.Gue kebingungan saya tak kunjung berakhir, karya yang saya buat untuk pameran EXI(S)T saya hancurkan, karena saya benci dengan karya itu. Untuk mencari jalan keluar dari kebingungan terhadap dunia seni ini, saya berpikir bahwa mungkin saya harus mengambil studi lanjut di S2.

Saya lantas daftar S2, dan diterima di Chelsea College of Arts London, tapi tak ada biaya (tertawa). Ini membuat saya semakin depresi, saya bahkan sempat mengurung diri. Saya lalu daftar di residensi Cemeti Art House Yogyakarta, saya sempat dipanggil untuk interview, mereka mengaku tertarik dengan karya saya, tapi saya dinilai terlalu muda dan akhirnya saya tak jadi diterima. Tapi ini membuat saya jadi penasaran, hingga saya bertemu dengan Mas Wok The Rock pada tahun 2013. Saat itu ia berkata, “Eh, mau nggak kamu residensi tiga bulan di MES56?” saya langsung mengiyakan tawaran tersebut.

Di MES56, proyek akhir untuk residensi tersebut adalah buku. Saya berencana untuk membuat buku mengenai surat-surat bunuh diri yang saya kompilasi. Cara pengerjaannya sangat graphic design, tapi di dalamnya saya memasukkan kaca sebagai salah satu isi utama buku tersebut karena saya melihat bahwa tema buku ini sangat reflektif terhadap diri sendiri. Saat pengerjaannya saya dibimbing oleh Wimo Ambala Bayang, saya diperkenalkan dengan konsep eksistensialisme dan berbagai hal yang bisa memperkaya perspektif karya tersebut. Saya cukup senang dengan hasil akhirnya, tapi Mas Wok dan Mas Wimo menganggap bahwa karya saya tersebut masih kurang. Mas Wok berkata, “Nggak apa-apa, karya kamu ini jelek saja belum, jadi santai aja.” Jadi bagi Mas Wok karya saya masih dibawah jelek (tertawa). Ia juga berkata bahwa sebaiknya saya memperkaya perspektif di luar bimbingan Wimo, karena nanti bisa jadi terlalu konseptual kalau cuma belajar sama Mas Wimo (tertawa). Tapi begitulah adanya keseharian di Yogya, saling kritik karya itu hal biasa.

Di Yogya saya sering bermain di kantor Kunci Cultural Studies, biasanya sekadar untuk numpang internet sembari menyelesaikan pekerjaan di sana. Dari kegiatan nongkrong tersebut, saya tidak lantas kemudian jadi rajin membaca dan tahu mengenai banyak hal, justru saya jadi merasa insecure mengenai karya saya. Apalagi dikelilingi teman-teman seniman seperti Elia Nurvista yang terbiasa mengkritik karya. Dulunya saya tak berani mengkritik karya orang lain, sekarang saya sedikit lebih berani untuk mengomentari karya seniman lain. Tapi keberanian tersebut tumbuh bebarengan dengan ketakutan pada kualitas karya saya pribadi. Jadi saya juga semakin kritis terhadap karya saya sendiri.

H

Dalam perjalanan sebagai seniman, Tontey banyak belajar di Jakarta dan ditempa di Yogya, bagaimana dua kota ini membentuk karakter Tontey?

T

Di Jakarta saya banyak menemukan pertanyaan, dan di Yogya, beberapa pertanyaan saya terjawab. Tapi saya juga sangat menikmati masa-masa saya di Jakarta. Di Jakarta saya banyak belajar dengan mentor saya di Studio 1212, Max Suriaganda. Meskipun tidak secara langsung berhubungan dengan apa yang saya pelajari di Yogya, bimbingan Max membawa saya pada arah yang kemudian mempertajam pemikiran saya. Dan ini semakin lengkap dengan bimbingan teman-teman di Yogya.

Secara karya sebagai seniman, saya tidak bisa membayangkan apakah saya bisa berkarya seperti sekarang jika saya tidak mengambil tawaran residensi di MES56. Mungkin sampai saat ini saya akan tetap bekerja sebagai desainer grafis. Tapi pindah ke Yogya juga merupakan perjuangan tersendiri bagi saya. Apalagi dengan stigma bahwa anak Jakarta cenderung jadi manja. Mas Wok sempat kaget saat saya sempat hampir setiap hari bermain ke rumah seniman senior Dolorosa Sinaga. Saya ke sana karena saya sangat penasaran dengan apa sebenarnya arti seni. Saya bahkan sempat membuat esai foto mengenai Bu Dolorosa mengenai bagaimana beliau sebagai seniman perempuan melakukan aktivitas yang groundbreaking.

H

Tapi setelah mengalami hidup di dua kota tersebut, apakah perspektif Tontey terhadap Jakarta dan Yogyakarta berubah?

T

Memang ada karakter yang cukup berbeda antara Jakarta dan Yogya. Tapi dua-duanya memiliki potensi yang sama untuk dikembangkan. Dan dua karakter inilah yang membuat saya berkembang. Saya rasa saya tak akan bisa hidup jika saya tinggal di satu kota saja, inilah salah satu alasan kenapa saya bolak-balik Yogya-Jakarta selama ini.

H

Tentang stigma bahwa Jakarta yang cenderung malas, atau Yogya yang cenderung “berat” secara karya, apakah benar begitu?

T

Beberapa ada benarnya. Saya pernah mengalami cerita yang cukup lucu, jadi saat saya mengerjakan proyek Kaleidoskop, di mana ada produk yang kita buat untuk proyek tersebut. Ini hal yang sebenarnya biasa saya kerjakan sebagai graphic designer, dalam prosesnya saya mempersiapkan timeline dan deadline untuk produksi. Saat menyampaikan deadline tersebut, saya mendapat komentar yang sangat menarik, “Ah, kamu Jakarta sih, jadi kerjanya serba cepat gitu,” ini lucu dan cukup membingungkan (tertawa).

H

Elemen desain yang melekat kuat pada karya Tontey membuat karya Tontey dengan mudah bertransformasi dalam berbagai bentuk produk dan merchandise, bagaimana Tontey melihat esensi merchandising bagi pengembangan karya seorang seniman?

T

Ini adalah salah satu yang saya pelajari dari Max di Studio 1212. Tapi memang kadang orang melihat bahwa karya di kanvas itu sebagai hal yang adiluhung. Saya melihatnya sedikit berbeda, dengan latar belakang desain grafis yang saya miliki, saya melihat bahwa hal-hal seperti misalnya logo yang saya buat itu sebenarnya juga merupakan bentuk karya. Dalam interaksi saya bersama Mas Wok, beliau juga sepertinya sepakat dengan perspektif ini. Kalau istilah sok asiknya ini mungkin bisa dibilang paham yang sepakat dengan semangat “seni untuk masyarakat” (tertawa). Pendekatan inilah yang saya coba terapkan di Little Shop of Horrors pertama yang saya buat di Jepang.

Meski sebenarnya tak ada yang salah dan benar dalam hal ini. Bisa jadi konsep adiluhung pada kanvas itu justru lebih benar, di saat yang sama, sekarang semua hal bisa dimaknai sebagai seni. Tapi mungkin di masa yang akan datang konsep adiluhung tersebut akan kembali lagi, karena pada prakteknya semua akan terus berputar, persis seperti tren.

Tapi di Little Shop of Horrors ini saya juga sembari mempertanyakan mengenai konsep adiluhung tadi, apakah praktek saya yang menjalankan retail as medium ini salah? Dan ada apa dibalik konsep kanvas yang adiluhung? Jangan-jangan ini konstruksi. Lantas ini konstruksi siapa? Saya punya banyak sekali pertanyaan, dan banyak diantaranya yang saya masih memburu jawabannya.

H

Jadi karya-karya Tontey adalah cara bagi Tontey untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Juga untuk berdialog dengan publik di saat yang sama?

T

Iya. Inginnya seperti itu. Tentang dialog, sebenarnya mungkin tidak terlalu dialog yang dua arah, karena saya secara pribadi adalah orang yang egois, jadi saya sebenarnya hanya mencari jawaban dari pertanyaan pribadi saya.

H

Secara konsep, retail as the medium di Little Shop of Horrors itu muncul darimana?

T

Sebelumnya saya membuat karya delegated performance art di Cemeti, itu cukup berbeda dengan apa yang saya biasa lakukan. Sebelumnya saya juga membuat karya yang cukup berbeda, di karya tersebut saya hanya menginterview orang mengenai pengalaman dihantui di Cemeti, lalu saya membawa deskripsi hantu tersebut pada tukang gambar di Malioboro, dan gambar tersebut yang menjadi karya saya di Cemeti. Saya bereksperimen dengan metode berkarya. Saya mencari format berkarya di mana saya tak terlibat secara langsung dalam karya tersebut. Eksperimen metode berkarya ini saya lanjutkan dalam beberapa karya lain sebelum saya berangkat di residensi Koganecho yang jadi tempat lahir Little Shop of Horrors.

Saat menjalani residensi di Koganecho Bazaar 2015, saya menemui banyak sekali keterbatasan dalam berkarya. Saya tak bisa banyak bermanuver dalam membuat sebuah karya di sana, satu-satunya yang saya bisa lakukan adalah untuk menulis dan mencetak. Saya lalu mengulik kembali tema ketakutan dan horror yang selama ini menjadi concern utama saya. Bahwa di beberapa kasus, ketakutan adalah hasil ciptaan beberapa kalangan untuk menciptakan kontrol atas publik. Dari ketakutan inilah saya lalu mengumpulkan data mengenai ketakutan yang ada di daerah tempat saya menjalani residensi. Saya lalu menemukan bahwa ada ketakutan dari publik sekitar mengenai sejarah gelap dari daerah tersebut. Bahwa dulunya tempat saya melakukan residensi itu adalah bekas area prostitusi. Fakta tersebut sulit sekali dibicarakan dengan publik lokal, mereka sangat takut dan justru menutup-nutupi cerita itu. Padahal sebenarnya ketakutan mereka adalah hasil dari konstruksi sosial.

Saya membuat toko Little Shop of Horrors sebagai usaha saya untuk membuka diskusi mengenai ketakutan tersebut. Saya mereplikasi ketakutan itu dalam bentuk yang lebih “ringan”, supaya bisa terjadi dialog di sana. Dan secara karya, ini kembali lagi karena keterbatasan saya dalam berkarya, tinggal di negeri orang, dengan bahasa yang tak sepenuhnya saya pahami, saya lalu membuat karya dalam bentuk found object yang melengkapi hasil riset saya sebelumnya.

H

Kenapa kemudian karya ini yang dibawa ke Jakarta melalui kolaborasi Little Shop of Horrors dengan Footurama? Padahal secara relevansi cerita mungkin karya hantu Tontey di Cemeti itu lebih relatable jika dibawa ke sini…

T

Justru mungkin secara metode, Little Shop of Horrors paling sesuai dengan pameran di Footurama. Tapi keputusan ini juga merupakan hasil obrolan bersama Max yang berkeinginan untuk kolaborasi di store Footurama. Dan Little Shop of Horrors adalah konsep yang paling pas untuk itu, meski nantinya saya juga akan menyesuaikan konteks “horror” ini dengan apa yang ada disini. Tapi bagi saya ini menarik, karena pameran karya ini tidak dilakukan di galeri. Dan mungkin karena ada hubungan pertemanan, saya juga mendapat kebebasan yang sangat besar untuk bereksperimen dalam berpameran.

H

Ada tantangan yang cukup kentara pada karya-karya Tontey, terutama mungkin pada acara “Makan Mayit” Little Shop of Horrors, apa sebenarnya yang dicari Tontey sebagai seniman?

T

Mungkin ini kembali lagi ke metode. Horror adalah salah satu fokus dari karya saya, tapi saya juga ingin mengembangkan ketakutan ini dalam konsep yang lebih luas, tak semata mengenai hantu saja seperti karya-karya saya yang lama. Tentang bagaimana beberapa ketakutan ini muncul sebagai sebuah konstruksi. Saya juga penasaran, apakah ketakutan kita ini sebenarnya konstruksi saja?

Tapi saya juga tidak mau tiba-tiba karya saya kelewat politis, saya lebih suka menemukan konteks baru dan lalu mengolahnya dengan twist kanibalisme sebagai tema pameran Little Shop of Horrors bersama Footurama.

H

Tapi sebagai sosok yang melihat ketakutan sebagai konstruksi, Tontey justru menkonstruksi ketakutan bagi audience pameran Tontey, apa yang berusaha Tontey kontrol dan konstruksi?

T

Saya sadar bahwa salah satu alasan kenapa saya mengangkat ketakutan adalah cara bagi saya untuk menyentuh sisi personal publik, jadi karya saya bisa beresonansi dengan mereka. Tapi satu hal lagi yang juga saya sadari, bahwa dengan ketakutan yang saya turunkan dalam hal-hal kecil yang kadang remeh, saya bisa mendiskusikan hal-hal besar.

Seperti saat kemarin di performance “Makan Mayit”, ada beberapa respons yang saya catat. Yang pertama adalah respon yang menganggap karya saya lucu – ini sebenarnya hal yang saya tidak terlalu sukai – yang kedua adalah respon seperti dari Kartika Jahja yang datang di acara dan dia berkata bahwa setelah memajang prosesi makan di sosial media, ia lantas berdiskusi dengan temannya mengenai pro-life movement, hal-hal seperti inilah yang saya cari.

H

Sebagai sosok yang mengeksploitasi dan mengeksplorasi ketakutan, apa ketakutan terbesar Tontey sebagai seniman?

T

Sebenarnya dalam berkarya, saya juga mengeksploitasi ketakutan saya pribadi. Tapi mungkin ketakutan saya yang paling mendalam adalah tentang saya sebagai orang yang ambisius. Ini agak ironis, saya orang yang ambisius dan insecure, tapi saya sering sekali mengalami kegagalan (tertawa). Saya takut terhadap diri saya sendiri. Tapi sekali lagi, saya juga mempertanyakan darimana asalnya ketakutan saya terhadap diri saya sendiri ini. Dari yang saya pelajari sejauh ini, ketakutan seperti ini biasanya muncul karena trauma masa kecil, atau lingkungan pertemanan.

H

Tapi dari pengalaman sejauh ini, apakah ada ketakutan yang muncul secara natural tanpa adanya konstruksi sosial?

T

Kalau dari sisi personal, saya merasa ketakutan saya yang paling alami adalah trauma masa kecil.

H

Apakah ini ada hubungannya dengan karya Tontey yang sifatnya selalu kekanakan?

T

Sebenarnya karya saya yang selalu kekanakan adalah usaha saya untuk menolak menjadi dewasa.

H

Ini menarik, Tontey mengaku trauma di masa kecil, tapi justru ingin selamanya mengalami masa kecil itu?

T

Ini mungkin usaha bagi saya menantang diri saya secara personal.

H

Tapi dengan mempelajari akar dari ketakutan personal ini, apakah ketakutan tersebut semakin berkurang ngerinya?

T

Saya belum bisa menjawab sepenuhnya, karena ini merupakan proyek berkelanjutan.

H

Apa yang Tontey akan lakukan di masa yang akan datang untuk menaklukkan ketakutan tersebut?

T

Saya sedang mempersiapkan proyek berjudul “Krazy Kosmic Konspiracy”, di mana saya mengumpulkan berbagai mimpi di tahun 2016 dan ramalan mengenai masa depan saya. Ini adalah usaha saya untuk menjawab future failure pribadi saya. Saya mengunjungi banyak peramal dan akan dikompilasi dalam bentuk karya yang akan saya buat di bulan April. Saya melihat bahwa praktek ramal-diramal dan pembacaan mimpi ini adalah salah satu cara bagi kita untuk menaklukkan ketakutan kita mengenai masa depan.

H

Selain itu apa proyek mendatang?

T

Selain mentor, Mas Wok juga kadang membuat saya dilema, saat di Yogya saya bekerja dengan membantu desain untuk beberapa proyek Yogya dan Jakarta. Melihat saya banyak mengerjakan desain, beliau mengejek saya, “Gimana sih, di Jogja kok gak belajar seni malah bikin desain terus?”. Walau akhirnya beliau juga membuat studio desain Tuhantu Studio dan saya diajak berpartisipasi di dalamnya (tertawa). Tapi bagi saya Tuhantu ini cukup menarik, kami bekerja secara mandiri, di Jogja banyak kolektif dan budayanya memang bekerja secara kekeluargaan, tapi sering terkendala saat diharuskan membayar tagihan-tagihan, maka dari itu kami berusaha untuk mengerjakan proyek berbayar, namun juga tak melepaskan diri dari lingkup seni rupa. Sejauh ini kami telah mengerjakan proyek dengan Kunci Cultural Studies, dan sekarang kami sedang bekerja bersama Cemeti Institue for Art & Society (dulu Cemeti Art House) untuk mengonsepkan rebranding bagi mereka. whiteboardjournal, logo