gender identity

Column
10.06.21

Berjuang ‘Menjadi Laki-Laki’: Sebuah Refleksi tentang Tubuh

. Berbeda dengan teman laki-lakiku lainnya, kebanyakan dari mereka memiliki fisik yang kuat dan prima, sehingga mereka mampu membantu keluarganya menggarap sawah dan merawat ternak. Sedangkan aku sama sekali tidak berbakat dalam hal-hal semacam itu. Aku sudah mencoba berkali-kali untuk mengangkat pacul dan mengais sabit, tetapi, tetap saja aku merasa kesulitan. Orang-orang lalu melabeliku ‘bukan laki-laki’ karena tampil lemah gemulai, alih-alih gagah, tegap, dan kuat sebagaimana anak laki-laki lainnya. ). Aku pun terus menjalani hidup dengan kepala menunduk. , ketika belajar di perguruan tinggi kemudian menjadi titik sejarah paling penting dalam hidupku. Perjumpaanku dengan bidang itu membuatku mampu mengurai satu persatu pertanyaan tentang diriku yang selama belasan tahun ini mengendap. Sedikit demi sedikit, aku menemukan jawaban atas segala misteri di masa laluku. Aku kemudian mahfum bahwa apa yang pernah terjadi kepadaku bukanlah kesalahanku, juga bukan kesalahan orang-orang yang pernah merundungku. Ini semua adalah kesalahan sebuah kultur dan struktur yang telah terbentuk sedemikian hegemonik. ) terhadap ekspresi gender feminin. Semisal, “Baperan ah lo, kayak cewek”, “ogah ah pakai barang cewek”, “cowok kok bajunya kayak cewek”, dan sejenisnya. Hal-hal itu sekakan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ‘salah’ dengan menjadi feminin, terutama apabila yang mengekspresikan feminitas itu adalah seorang laki-laki. ), resep masakan, fashion, juga soal kesataraan gender dan hak-hak kelompok LGBT. dengan standar-standar heteronormatif. Keberagaman dan ketidakstabilan gender semacam itu perlu untuk kita rayakan bersama-sama.

Subscribe to the Whiteboard Journal newsletter

Good stuff coming to your inbox, for once.