Akhir Sebuah Era

08.01.18

Akhir Sebuah Era

Obituary untuk Rolling Stone Indonesia

by Muhammad Hilmi

 

Mudah untuk berkata bahwa akan ada yang datang saat ada yang mengakhiri perjalanan. Mati satu, tumbuh seribu, katanya. Tapi saat ia yang telah tiada telah meninggalkan bekas yang mendalam, kisah dan kenangannya akan sulit dilupakan. Seperti itulah kira-kira posisi Rolling Stone Indonesia (RSI). Bagi banyak kepala, ia adalah pintu pertama untuk mengenali musik Indonesia – jika bukan musik pada umumnya. Dari lembar-lembarnya, majalah ini membuka wawasan bagi pembaca tentang apa yang sedang terjadi di antara hingar-bingar panggung musik lokal hingga internasional. Bagi musisi, ia telah memberikan halaman dan jalan untuk mereka menemukan telinga-telinga baru di luar sana.

Awal tahun 2018, akhiran itu datang untuk Rolling Stone Indonesia. Menutup 12 tahun perjalanan mereka di industri musik Indonesia. Tutupnya RSI memang bukan akhir dari perjalanan jurnalisme musik, namun tanpa mereka, rasanya tak akan lagi sama. Untuk itu, kami mengumpulkan beberapa kisah dari penulis, kerabat, dan pembaca Rolling Stone Indonesia untuk berbagi kenangan. Terima kasih, Rolling Stone Indonesia!

SOLEH SOLIHUN
Stand-Up Comedian, Mantan Wartawan Rolling Stone Indonesia

Begitu mendengar kabar kalau RSI tutup, sebenarnya tak terlalu heran. Saya yakin suatu saat majalah ini akan tutup, tinggal menunggu waktunya saja. Salah satu hal yang paling berpengaruh adalah pendapatan iklannya yang tak kunjung membaik. Coba saja buka majalah RSI, ada berapa banyak halaman iklannya? Kalau media massa sepi iklan, otomatis tinggal menunggu matinya. Ini juga berarti peringatan buat whiteboard journal, hahaha.

Saya pernah menulis skripsi yang intinya menyimpulkan bahwa majalah musik tidak akan bertahan lama. Bahkan sebelum media cetak berjatuhan, sejarah di Indonesia membuktikan bahwa majalah musik tidak berumur panjang. Silahkan buka tulisan saya untuk melihat gambaran besar soal ini.

Rolling Stone Indonesia punya peranan besar dalam industri musik Indonesia. Sebelum bubar, bisa dibilang bahwa RSI satu-satunya majalah musik di Indonesia. Satu-satunya media massa mainstream yang masih menaruh perhatian besar terhadap industri musik kita.

Setelah RSI bubar, kita akan kehilangan media massa mainstream yang minimal mencatat sejarah industri musik indonesia. Ini kabar buruk. Selama ini saja kita sudah kesulitan mencari dokumentasi sejarah industri musik, apalagi sekarang setelah RSI bubar.

ANTO ARIEF
Vokalis/Gitaris 70sOC, Pemimpin Redaksi Pophariini.com

Terima kasih Rolling Stone Indonesia. Sebagai orang yang suka sekali membaca tentang musik, dan yang kebetulan kecemplung di majalah sampai saat ini menjaga konten di Pophariini.com yang masih seumur jagung, ada kesedihan yang ngga bisa diungkapkan dari baca-baca status, postingan teman-teman mantan jurnalis RollingStone Indonesia di medsos ataupun blog mereka beberapa hari hingga hari ini.

Sedih sekali, dan saya tahu seperti apa rasanya.

Dulu rasanya dunia mau kiamat ketika majalah Ripple tak berlanjut. Juga ketika pindah ke Jakarta dan bergabung jadi penulis di majalah Soap. Dan ketika mulai mendapatkan sorotan positif di bawah pimpinan Mas Sam (Samuel Mulia), ternyata majalahnya harus bubar. Plus yang terakhir ketika membuat multi medium format bernama Still Loving Youth di bawah Unkl347 dengan tim yang sangat solid, namun lagi-lagi umurnya tidak panjang.

Hal yang sama kurang lebih saya rasakan lagi ketika tahu majalah yang selalu saya beli eceran tiap bulan ini harus menghentikan lajunya di awal 2018 ini.

Terima kasih banyak atas kerja keras selama ini. Baik informasi, pengetahuan, rekomendasi, serta yang paling juara: daftar-daftar khas RSI seperti album Indonesia terbaik sepanjang masa, lagu terbaik sepanjang masa, penyanyi terbaik dst.

Terima kasih banyak sekali lagi teman-teman di RSI. Semoga teman-teman menemukan pengganti yang lebih baik di tahun 2018 ini.

HAIKAL AZIZI
Vokalis/Gitaris Sigmun & Bin Idris

Saddened to hear the news about Rolling Stone Indonesia. Lord knows how much their 100 Immortals edition (and Limewire) shaped me. To be reviewed and featured on Rolling Stone was one of my college-kid-dreams. Reminiscing on those early days when they threw 2 stars brutal reviews like ninjas. Wishing them all the best, you all stay as immortals for me.

GARNA RADITYA
Musisi/Jurnalis

Karier jurnalistik saya termasuk biasa-biasa saja. Tidak ada prestasi dan termasuk sering ditegur redaksi.

Saya mulai menulis dari membuat zine (Pingsan, Airapi, Stab From the Back) saat awal kuliah tahun 2001. Lalu bergabung di suatu majalah independen yang lahir prematur. Ada satu yang bisa bertahan hingga 2 tahun, yakni MOSH besutan Surya Adi dan Lintang Naresworo dengan staf editornya: saya, Putu Ayu Sanis Saraswati dan Andina Dwifatma, yang kelak menjadi penulis buku. Tahun 2004, membikin webzine Semarang On Fire bersama Eka Rudiyanto dan Yudi Vitrian yang kini menyisakan Afriyandi Wibisono sebagai pengelola. Setelah lulus kuliah, diterima sebagai wartawan di harian Suara Merdeka. Selama hampir 6 tahun menjadi jurnalis harian di desk berita umum, kriminal dan hiburan, sempat beberapa bulan naik pangkat ke redaktur desk internasional sebelum saya keluar.

Suatu ketika The Upstairs kerap manggung ke Semarang. Disitulah saya berkesempatan berdiskusi dengan Wendi Putranto sang manajer band kala itu. Begitu juga Ricky Siahaan ketika manggung dengan Seringai, saya tidak sia-siakan untuk diskusi soal jurnalisme musik kepada mereka terutama dalam pagar korporasi. Suatu waktu, Wendi menawari saya untuk menjadi kontributor Rolling Stone Indonesia (RSI) versi online di karesidenan Semarang. Rahang saya jatuh, sebab ini kesempatan saya bisa menulis dengan leluasa. Mengingat, saya bosan menulis berita hiburan di koran yang buntutnya rebutan tempat dengan advertorial. Maklum, halaman koran terbatas. Jadi tiap kali menulis berita yang layak muat untuk keduanya, saya bikin dua versi tulisan. Repot memang, tapi senang.

Ketika sedang getol-getolnya dengan RSI online, saya ingat ketika meliput meninggalnya maestro jazz, Bubi Chen, yang kala itu belum ada wartawan online di lokasi. Barangkali saat itu RSI online yang memberitakan terkini hingga esok harinya. Kemudian Adib Hidayat beberapa kali menugaskan saya menulis liputan untuk RSI edisi cetak, yang salah satunya rubrik edisi spesial Iwan Fals dan tur Burgerkill. Sekitar dua tahun riwayat saya berkontribusi di RSI sejak 2012.

Terimakasih kepada staf editor yang sudah memberikan saya kesempatan menulis di RSI. Dengan tim redaksi yang luwes dan peka jaman, mencatat dengan baik musik populer Nusantara maupun bawah tanah. Semoga para awak media RSI di perjalanan berikutnya lebih gemilang. Serta, keyakinan terhadap media alternatif yang berbasis komunitas berharap semakin kuat. Bertahan memenuhi rimba informasi yang belum tereksplorasi.

RAKA IBRAHIM
Editor Musik JurnalRuang.com

Tahun 2017 diakhiri dengan kabar menyesakkan bahwa nyaris semua punggawa Rolling Stone Indonesia mengundurkan diri. Sudah banyak kabar ‘di balik layar’ yang berseliweran ihwal masa depan mereka – dan barangkali di hari-hari ke depan, akan ada pernyataan resmi yang menyudahi spekulasi-spekulasi tersebut.

Faktanya begini. Ketika usia saya masih belasan, Bapak saya rajin membelikan bundle majalah bekas RSI yang dibeli dengan harga Rp 15.000 dapat tiga di Blok M. Dari sanalah saya berkenalan dengan tawaran alternatif dari dunia musik. Saya ingat betul satu edisi di mana mereka mengurutkan album-album terbaik 2009, dan hampir semuanya – Kamar Gelap dari Efek Rumah Kaca, The Headless Songstres dari Tika & The Dissidents, In Medio dari Anda, Balada Joni dan Susi dari Melancholic Bitch, serta masih banyak lagi – saya buru satu per satu.

Tahun 2012, saya mengikuti lokakarya jurnalisme musik pertama saya, pematerinya Wendi Putranto dan Pak Rizaldi Siagian. Di sanalah perspektif saya soal jurnalisme musik terbentuk dan tertampar-tampar. Selesai acara, peserta diundang field visit ke kantor RSI, di mana saya mengobrol dengan bung Adib Hidayat tentang kekaguman saya pada Hunter S. Thompson, begawan Rolling Stone Amerika. Kala itu Adib hanya terkekeh dan bilang, “Ya, gapapa mencontoh Hunter, asal lo enggak ikut-ikutan bunuh diri saja.”

Beberapa hari kemudian, saya mengirim surel ke Adib dan bertanya tips apa saja yang diperlukan oleh seorang jurnalis musik pemula – iya, saya pernah se-katro itu. Jawabannya saya ingat terus sampai sekarang: “Raka, jangan berhenti membaca, jangan berhenti mendengarkan musik baru, dan jangan takut menulis.”

Walau saya justru menulis zine dan menjadi penulis musik asal-asalan alih-alih menjadi jurnalis musik nan proper, kredo itu masih saya pegang sampai sekarang. Suka atau tidak suka, RSI adalah titik nol bagi hampir semua penulis musik lokal. Dan di tahun baru ini, saya berduka memikirkan mereka. Keep the good fight going, RSI.

SONI TRIANTORO
Editor Hipwee.com, Kontributor Whiteboardjournal.com

Walau tentu lebih memilih sepanjang umur habis di Jogja, saya punya dua alasan untuk tidak merasa takut atau alergi terhadap Jakarta.

Pertama, saya punya minat berlebih dengan kehidupan urban. Kedua, saya sempat setengah tahun memasuki denyut keseharian di Jakarta, dan itu justru menjadi salah satu pengalaman paling menyenangkan yang pernah saya kenyam.

Magang di Rolling Stone membuat memori saya perihal Jakarta bertolak belakang dengan kebanyakan orang. “Orang-orang rebutan bisa magang di sini, Son. Dan kita nggak menerima orang yang masih belajar,” – kalimat dari Mas Wendi Putranto tatkala menyambut pertemuan perdana saya dengan kantor Rolling Stone Indonesia dan seisi-isinya. Itu empat tahun lalu, dan saya masih ingat betul! Saya baru saja diterima jadi awak magang, dan seketika dibekali wanti-wanti yang–sejujurnya–lebih terdengar seperti ancaman. Mampus.

Syahdan, begitulah. Teruntuk orang Jogja, perjalanan rumah-kantor naik sepeda motor selama 2 jam tiap hari di musim hujan itu pilihan hidup yang konyol. Di luar dugaan, saya ternyata menikmatinya.

Kendati tidak diposisikan sebagai orang yang belajar, hampir mustahil untuk tidak meraup banyak pelajaran dari pengalaman magang tersebut. Apa yang saya peroleh sedikit banyak memengaruhi perkembangan WARNING Magazine maupun saya pribadi setelahnya, baik dari segi produksi konten maupun manajerial.

Dipercaya menjadi kontributor Rolling Stone untuk kancah Yogyakarta kemudian membuat hidup menjadi lebih bergairah untuk dijalani. Ayolah, untuk orang yang punya cita-cita menjadi wartawan musik sejak SMP, apalagi pucuk harapnya selain bisa menulis di Rolling Stone? Merasa terhormat bisa memperkenalkan FSTVLST ke Rolling Stone dan selalu diberi kesempatan menjadi “juru bicara” Jogja untuk menceritakan perkembangan kancahnya.

Tapi artikel saya yang paling berkesan adalah artikel feature The Changcuters. Gila, baru magang tiga minggu sudah dikasih jatah menulis artikel feature untuk majalah. Jelas panik. Sebelum magang, saya baru bermodal pengalaman wawancara band-band sidestream Jogja yang kadang malah kelihatan lebih gugup dibanding pewawancaranya. Nah, ini The Changcuters, dengan dandanan niat penuh ke kantor cuma demi ngobrol sama anak magang! Awalnya saya kira ada editor yang akan mengeksekusi tanya jawab dan saya cukup membuntuti dan menyimak. Eh, ternyata saya dilepas sendirian plus justru malah “ditemani” anak magang baru yang masih SMU (program khusus). Bukan dimentori, malah diminta mentoring. Agak semena-mena sih ini, tapi saya sadar Ini Rolling Stone, kalau masih butuh bimbingan ya sana gabung Persma.

Kini, cita-cita sudah berubah. Mencuat minat-minat baru.. Saya malah sedang berupaya menanggalkan label penulis musik, apalagi jurnalis musik. Berharap cukup dikenal sebagai penulis biasa yang kebetulan saja suka musik. Semua berkat,”cita-cita monyet” sebagai jurnalis musik di SMP sudah terbayar lunas, semenjak Rolling Stone mewujudkannya.

Dan ternyata saya sedih.

Ketika awal mendengar isu Rolling Stone Indonesia mandek beroperasi, saya masih bisa tetap ketawa-tawa, ah itu hanya satu lagi korban senjakala media yang cukup diperhatikan dan dianalisis, Sampai akhirnya, siang ini mendadak saya merasa kehilangan. Saya baru ingat, Rolling Stone Indonesia sepenting dan sedekat itu untuk saya.

DAFFA ANDIKA
Kolibri Rekords

Sebagai penggerak label independen, RSI cukup bisa menjadi acuan dalam melihat dan mengikuti perkembangan musik lokal, apa dan siapa saja musik atau musisi non-mainstream yang dalam kacamata majalah tersebut layak mendapat sorotan lebih skala nasional, juga sebaliknya. Musik-musik dari kancah mainstream yang direkomendasikan RSI cukup membuka cakrawala saya. Daftar-daftar khas RSI tentu juga banyak ditunggu banyak orang. Ketika penilaian atau opini kita terhadap suatu karya ternyata sesuai dengan daftar tersebut, perasaan tervalidasinya seperti lebih seru saja karena itu RSI, hahaha. Dapat berada dalam list tersebut bagi band, musisi, dan label tentu saja juga merupakan kebanggaan tersendiri.

Soal kepenulisan, sebagai yang pernah menempuh program magang di RSI, tiga bulan yang saya dapatkan di sana juga berarti banyak bagi saya dalam melihat dan memahami bagaimana industri media dan musik itu sendiri bekerja. RSI bisa dikatakan sebagai salah satu patokan saya dalam mengarahkan perspektif dan gaya menulis musik. Belum lagi kesempatan membangun jaringan-jaringan baru. Intinya RSI sangat berkontribusi dalam pembentukan saya baik personal ataupun profesional (sebagai penggerak label).

Jujur saja, saya pernah berpikir bahwa pesatnya pertumbuhan kancah musik independen lokal hari ini, kemudahan, serta akses yang begitu dekat dengan sponsor-sponsor besar, mungkin salahsatunya adalah berkat RSI. Eksposur yang diberikan kepada band-band arus pinggir ke tingkat nasional seperti memperkenalkan sebuah area baru yang segar dan menjanjikan bagi para sponsor dan pemilik brand untuk berinvestasi. Dalam perspektif umum industri, nama-nama yang disajikan RSI tentu dianggap sudah terjamin kualitasnya, dan sejalan dengan itu nama-nama tersebut akan lebih mudah dirasa aman dan mampu merepresentasikan merek atau brand-brand tersebut dengan baik. Keadaan ini sangat bisa dirasakan dalam dua-tiga tahun terakhir, dimana band-band serta musisi non-mainstream mulai mendominasi publikasi media dan event-event besar berskala nasional.

Di samping itu, tentu konten-konten seperti artikel RollingStone Internasional, wawancara eksklusif, feature mendalam, editors’ picks. dan pastinya daftar terbaik khas redaksi RSI, adalah yang membuat kancah dan industri musik tetap segar dan bergeliat, karena sulitnya untuk mendapatkan konten serupa dengan kualitas bersaing dari media-media musik lain di tanah air. Inspirasi, motivasi, validasi, diskusi, perdebatan, kontroversi, semua bisa bergulir dari konten-konten tersebut.

WENDI PUTRANTO
Jurnalis, Manajer Band

Dari lubuk hati yang terdalam saya berterima kasih sebesar-besarnya atas semua simpati, atensi dan apresiasi dari teman-teman semuanya. Terus terang sama sekali tidak menyangka kalau apa yang saya dan teman-teman RSI lain lakukan selama ini di kantor ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar atau bahkan perubahan secara personal di kehidupan pribadi para pembaca kami. Karena pada intinya kami hanya bekerja di sana, mungkin ini yang terjadi jika kita sangat mencintai pekerjaan dan bekerja dengan sepenuh hati. Passion.

Untuk yang bertanya bagaimana selanjutnya rencana saya ke depannya, yang pasti saya masih di sini, bersama kancah ini: musik, showbiz, industri kreatif. Tidak pernah terpikir sedikit pun saya akan keluar dari sini, apalagi menjadi pegawai negeri. Belakangan saya sedang fokus mengelola bisnis musik dari sebuah band milik teman-teman baik yang saya gandrungi juga sejak lama, Seringai. Kami sedang mempersiapkan album studio terbaru yang bakal rilis di tahun ini juga dan menyusulnya dengan serangkaian jadwal tur konser di dalam negeri untuk mempromosikannya. Terakhir Seringai merilis album itu pada 2012 atau enam tahun lalu, tentu saja ini membuat gunungan ekspektasi kemudian membuncah di pikiran.

Langkah berikutnya tentu saja saya tidak akan pernah berhenti menulis. Satu hal yang cukup mengganjal sebenarnya ketika menjadi digital managing editor di RSI adalah sedikitnya waktu untuk menulis karena diharuskan melakukan kerja-kerja penyuntingan tulisan para reporter; fact checking, verifikasi, ejaan, tata bahasa, mengunggah, mengunduh, memberikan assignment, arahan, supervisi interns, memantau pergerakan dan menganalisa traffic di website, analisa SEO dan segenap bullshit digital lainnya.

Saya pernah menyarankan “tolak saja” kepada Shindu, salah seorang mantan mahasiswa magang RSI yang kini bekerja di sebuah media nasional dan sempat ditawari menjadi editor oleh atasannya. “Elo baru kerja sebagai reporter selama setahun, nikmati dulu kehidupan jadi reporter, itu jauh lebih menarik dan menantang dibanding jadi editor,” begitu kira-kira sarannya. Diluar berkah gaji, menjadi editor sejatinya memang menyebalkan; kita yang memoles, mengoreksi, mempercantik, tapi siapa yang dapat kredit pada akhirnya? Hahaha.

Beberapa hari yang lalu saya diajak istri saya untuk nonton bioskop. Saya sebenarnya malas banget nonton film ini karena The Greatest Showman berkategori musikal, entah kenapa buat saya itu cenderung membosankan. Beberapa kali diajak selalu menolak, selain karena lagi sedih, jengah juga nonton film yang sepanjang ceritanya dihabiskan dengan bernyanyi dan berdansa-dansa ekstravaganza.

Sialnya, saya salah besar.

The Greatest Showman ternyata film yang luar biasa tepat buat saya di momen menyedihkan ini, sangat kohesif. Saya malah jadi terinspirasi dibuatnya, dan makin bersemangat menjalani hidup setelah terbangun dari “living the dream” selama 12,5 tahun. Banyak hal langsung saya pelajari dari 105 menit durasi film tersebut, ambisi, gairah, daya tahan, nafsu, persahabatan, pengorbanan dan pastinya kepemimpinan. Terima kasih Hugh Jackman, Michael Gracey dan tentu saja istri saya tercinta hehe.

The Greatest Showman juga yang akhirnya membawa saya kembali mengunjungi blog tua ini, yang saking lama ditinggalkan kemudian jadi berhantu, terbukti dari sangat susahnya saya untuk mengakses back office-nya kembali. Sepertinya saya akan kembali mengisi hari-hari dengan menulis berbagai konten baru di wenzrawk.com. Musik, politik atau budaya populer apapun lainnya. Lebih baik di sini, rumah kita sendiri. Selamat menikmati, semoga terinspirasi.whiteboardjournal, logo

Tags