Jelajah Lintas Waktu, Kritik Untuk Masa Depan di Pameran “Nostaljik Kritik: Operasi Taimket”

Art
05.10.19

Jelajah Lintas Waktu, Kritik Untuk Masa Depan di Pameran “Nostaljik Kritik: Operasi Taimket”

Simak karya Nurrachmat ‘Mas Ito’ Widyasena, seniman yang mengangkat distopia masa depan di pameran tunggalnya.

by Whiteboard Journal

 

 

Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Ardi Widja

Melihat pameran tunggal Nurrachmat ‘Mas Ito’ Widyasena ibarat mengunjungi science expo di tahun 90-an. Kita bisa mengandaikan produk-produk yang dipamerkan saat itu belum secanggih sekarang, terlihat norak, namun sarat imajinasi dan ambisi. Jelma rupa bentuk paling mutakhir di zamannya. Pada pameran ini, Mas Ito memang tak hendak membicarakan kecanggihan teknologi, tapi justru sebaliknya, yaitu ketidakmampuan kita dalam mencapai kecanggihan. Gagasan ini melahirkan karya-karya kitsch, yang, alih-alih memberikan nuansa utopia, membuai kita dengan nostalgia.

“Nostaljik Kritik: Operasi Taimket” merupakan pameran berselimut fiksi yang memadukan tema teknologi, penjelajahan waktu, dan budaya pop 1990-an. Mas Ito, selayaknya Elon Musk bagi SpaceX, merupakan seorang CEO sebuah perusahaan manufaktur teknologi bernama PT. Besok Jaya. Ia meraih sukses bersama perusahaan ini. Pada 2015, ia merancang seragam angkasawan dengan helm yang menyerupai kepala hiu macan. Dua tahun berikutnya, ia membangun pesawat luar angkasa dengan bentuk yang meniru hiu martil. Tuntas dengan antariksa, tahun ini ia mencanangkan sebuah proyek penjelajahan waktu bernama Operasi Taimket. Sang CEO mengunjungi masa lalu, bertemu sesama pengelana waktu yaitu Doraemon dan Doctor Who, dan, seperti seorang yang baru pulang jalan-jalan, ia membawa oleh-oleh ke pameran ini.

Salah satu oleh-oleh itu adalah “Kosmik Sanchez Apotheosis.” Karya ini berupa video animasi yang memvisualisasikan pengalaman Mas Ito ketika ia melintasi lorong waktu. Videonya menampilkan wajah sosok anime perempuan yang melaju dan berputar-putar secara heboh sampai-sampai bentuknya menyerupai pola kaleidoskop. Video ini diproyeksikan ke layar berbentuk kerucut, dan kita seakan terhisap ke dalam lorong waktu itu, menuju masa lalu; menuju 1990-an ketika anime dan budaya pop Jepang menjadi tontonan favorit generasi yang tumbuh di dekade ini. Seperti istilah dalam judulnya, apotheosis, karya ini merupakan selebrasi Mas Ito yang nampaknya seorang wibu terhadap budaya pop Jepang.  

Mas Ito juga menggambarkan pengalamannya melintasi lorong waktu melalui lukisan di atas lembar kuningan. Ia, seolah-olah ilmuwan yang tak pernah puas dengan eksperimennya, seakan tak puas dengan video. Jika video sebelumnya berputar-putar dalam layar kerucut, “Kosmik Apotheosis” bersifat tetap. Mas Ito memberi kesan gerak melalui bidang kuningan yang bentuknya dinamis. Pada karya ini kita bisa melihat bentuk dan pola yang mirip dengan karya sebelumnya, dan karena lukisan itu seperti screenshot video, kita dapat menyimak bentuk dan pola kaleidoskop yang nyatanya berlapis-lapis dan figur-figurnya terdistorsi.

Perjalanan melintasi waktu tak akan terlaksana tanpa kendaraannya, dan kendaraan yang Mas Ito gunakan bukanlah pesawat luar angkasa, melainkan sepeda “Taimket WP-01.” Inilah produk utama dari Operasi Taimket. Mas Ito memodifikasi sebuah sepeda menjadi roket roda dua lengkap dengan helm dan mesinnya. Di beberapa sisi sepeda-roket itu terpampang foto Nike Ardilla. Syahdan, Mas Ito berupaya menggunakan Operasi Taimket untuk kembali ke 1995 dan menyelamatkan sang bintang pop dari kecelakaan mobil yang merenggut nyawanya. Narasi ini mungkin berlebihan, dan jika tak ada pun tak mengapa. “Taimket WP-01” dapat kita lihat sebagai perwujudan imajinasi tentang mesin bergaya Space Age yang bercampur dengan estetika pop lokal. 

Penjelajahan lintas waktu Mas Ito kian lengkap dengan studi-studinya tentang lorong waktu yang muncul dalam seri karya “Jembatan Einstein-Rosen.” Lorong waktu, atau istilah ilmiahnya Einstein-Rosen Bridge, merupakan teori spekulatif tentang penjelajahan waktu. Bentuk dari jembatan ini kerap diilustrasikan seperti sebuah guci bunga dengan dua ujung yang menganga. Namun, Mas Ito memiliki versinya sendiri: Jembatan itu berupa silinder yang lentur dan berlapis-lapis, seperti benda yang bukan padat. Silinder ini diwarnai perak dan biru azur untuk memberi kesan canggih dan misterius sekaligus.  

Ada dua pengalaman yang disuguhkan dalam pameran ini. Yang pertama adalah pengalaman menikmati nuansa Space Age dan Retrofuturism. Mas Ito dapat menghadirkannya dengan sangat cermat dan konsisten, dari segi pemilihan warna yang banyaknya emas, perak dan biru azur, hingga pemunculan tokoh-tokoh budaya pop lokal. Bagi kalian yang menggemari budaya pop 90-an akan sangat mungkin menemukan easter egg yang bisa jadi luput dari sebagian besar dari kita. Sedangkan pengalaman kedua adalah pengalaman menikmati dunia astrofisika versi Mas Ito. Teori-teori waktu yang njelimet dan bikin mumet hadir secara nyeleneh dan mengasyikkan. Kita juga bisa merasakan kekaguman sang seniman terhadap science fiction yang sering bersinggungan dengan budaya pop (sebut saja “2001: Space Odyssey” atau “Star Wars”), yang kemudian memperkaya imajinasi dalam karya-karyanya. Mas Ito menampilkan kedua pengalaman ini dengan penuh obsesi dan ambisi.

“Nostaljik Kritik: Operasi Taimket,” walau nostaljik, tetap ditujukan sebagai kritik. Mas Ito menyindir perilaku konsumtif masyarakat Negara Bagian Ketiga terhadap teknologi tanpa ada budaya menciptakannya. Karya-karya yang lawas dan tidak canggih menjadi representasinya. Namun, muatan parodi dan gimmick terlalu kuat untuk menyebut pameran ini sebagai kritik. Jika Mas Ito bermaksud demikian, maka kritik yang lebih menyentil bagi saya justru adalah perilaku nostalgia dan apotheosis itu sendiri. Kita senang merayakan masa lalu tanpa ada upaya yang sama kuatnya dalam mengimajinasikan masa depan, terkhususnya terkait teknologi. Gagasan Mas Ito tentang teknologi masa depan belum muncul di sini, dan kiranya ia bisa hadir di dunia nostaljik dan petualangan selanjutnya; Operasi Intergalaksi, mungkin?

“Nostaljik Kritik: Operasi Taimket”

28 September – 27 Oktober 2019

Senin – Minggu 

11.00 – 19.00 WIB

RUCI Art Space

Jl. Suryo No. 49
Jakarta Selatan, Indonesiawhiteboardjournal, logo