Di Balik Kolektif Musik Terkini: noisewhore

Ideas
21.02.18

Di Balik Kolektif Musik Terkini: noisewhore

Berawal dari blog tentang musik dan budaya populer, noisewhore kemudian hari mewarnai skena musik di Jakarta dengan gelaran musiknya.

by Febrina Anindita

 

Foto: noisewhore

Berawal dari blog tentang musik dan budaya populer, noisewhore kemudian hari mewarnai skena musik di Jakarta dengan gelaran musiknya. Mulai dari Vague, Killeur Calculateur, Homeshake, sampai A Place to Bury Strangers pernah mereka bawa dalam acaranya, baik dalam bentuk kolaborasi bersama kolektif lain maupun independen. Whiteboard Journal mendapat kesempatan untuk menanyakan beberapa pertanyaan fundamental kepada Argia Adhidhanendra – salah inisiator di balik noisewhore – tentang latar belakang hingga relevansi webzine yang menjadi asal mula kolektif ini.

Mengapa memilih nama “noisewhore”?
Nama “noisewhore” sendiri yang menemukan bukan saya atau teman-teman yang masih ada di noisewhore, melainkan oleh Kareem Soenharjo (sekarang fokus dalam skena rapnya di bawah nama BAP, Yosubap, dan lainnya). Saya dan Kareem merupakan inisiator awal noisewhore semasa SMA, tepatnya di tahun 2013. Nama noisewhore sendiri muncul dari Kareem, namun saya rasa nama itu cukup menggambarkan betapa “kosong”-nya pikiran saya pribadi saat itu di bangku SMA dan hanya ingin menulis sesuatu tentang musik dan tidak teralu ambil pusing soal nama. Namun saya ingat ketika Kareem menawarkan nama tersebut lengkap dengan tumblr yang sudah di desain, saya membatin ini seperti zine horror.

Apa latar belakang dibuatnya noisewhore?
noisewhore sendiri, untuk memberi konteks terhadap jawaban pertama, merupakan blog yang saya buat dengan teman baik saya sejak SMA, Kareem Soenharjo, sekarang mungkin lebih dikenal dengan nama-nama lainnya dalam skena rap. Kami berdua membuat blog www.noisewhore.tumblr.com tak lama setelah berkenalan, mungkin paruh kedua kelas 1 SMA. Kami juga sempat membuat zine pertama kami yang kami fotokopi sendiri di depan sekolah, berisi review-review, interview dan hasil karya lainnya oleh kita berdua. Pembuatan zine ini sangat berkesan bagi saya karena kami berdua saat itu menempel bagian-bagian zine sendiri dan memfotokopi dengan usaha yang cukup banyak. Hingga hari ini, master zine pertama dengan tempelan-tempelan aslinya masih saya simpan, mungkin kalau Kareem baca, bisa bisa saya ditagih untuk memberikan masternya.

Zine pertama kami, tentunya, dibuang oleh teman-teman sebangku kami.

Saya tentu tidak ambil pusing, karena masuk akal saja, kami membicarakan musik-musik yang saat itu sangat berbeda dari teman-teman SMA kami. Saya dan Kareem terus menulis, bukan hanya musik, terkadang cerita pendek, atau hal lainnya di blog tersebut hingga Kareem menemukan proyek lain. Saya tetap menulis di noisewhore selama kurang lebih setahun sendirian.

Teman-teman yang sekarang bekerja untuk merealisasikan gelaran-gelaran awal noisewhore merupakan teman-teman yang saya temui di bangku kuliah, seperti Abdul Defashah, Dylan Caesar, dan Ilham RIvanny. Beberapa teman lain menyusul tak lama setelah itu.

Sekarang, saya bahkan bekerja dengan teman-teman dari tempat-tempat yang sama namun dengan nama-nama baru, beberapa teman SMA saya yang saya kira tak akan pernah bergabung dengan kolektif ternyata ingin bergabung, teman-teman yang 5 tahun lalu saya bagikan zine-zine itu. Beberapa teman dari bangku kuliah saya juga bergabung,

Untuk konteks, saya menamatkan pendidikan SMA di Al-Izhar dan sedang berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Banyak yang belum aware kalau noisewhore sebenarnya adalah webzine yang sempat aktif membuat review maupun wawancara di akun Tumblr. Apa yang kemudian membuat kalian aktif menggelar acara live music?

Keputusan untuk bergeser dari menulis ke mengggelar show merupakan keputusan yang singkat. Saya berkenalan dengan Alfath, tak lama setelah rilis demo Kaveman dan saya diajak ke gelaran Swin666er Collective. Saya hanya ingin melakukan apa yang mereka lakukan di Jakarta dan dengan band-band yang sedang saya dengarkan saat itu, maka lahirlah noisewhore Live Vol.1 dengan Bedchamber, Low Pink, Tarrkam, dan beberapa band lainnya.

Tiap kontributor memiliki referensi musik tersendiri. Pertimbangan seperti apa yang biasa kalian lakukan ketika ingin mengajak ragam musisi untuk tampil dalam acara noisewhore?

Untuk referensi musik sendiri, kami hanya memikirkan apa yang sedang kami dengarkan saat itu. Berangkat dari situ, kami melakukan pertimbangan ekonomis perihal booking fee dan logistik terkait apa yang dibutuhkan untuk mendatangkan band tertentu. Untuk saat ini, kemampuan kami mengarah pada band-band kecil dengan following yang cukup kuat di Jakarta. Cukup kuat dalam artian mampu mendatangkan 250-500 orang, sehingga ruang gerak kami cukup terbatas.

Bagaimana kalian melihat kultur musik indie Jakarta yang beberapa tahun belakangan ini tumbuh subur?

Untuk kultur musik indie Jakarta sendiri, kami cukup terkesan dengan perkembangannya, terutama dengan berkembangnya beberapa genre lain juga membantu perkembangan kultur musik independen yang tidak itu-itu saja. Penopang kulturnya sendiri, seperti media, sekarang sudah semakin approachable bagi band-band, dan panggung pun sudah semakin banyak dibanding saat kita memulai gelaran noisewhore Live di 2016. Kami tentu ingin kembali menggelar acara-acara dengan band-band lokal favorit kembali seperti dua tahun lalu. Hal-hal seperti ini tentu akan menjadi pupuk bagi kultur musik independen yang lebih baik.

Bulan Oktober 2017, FKA twigs membuat Instagram zine. Apakah menurut kalian webzine masih relevan saat ini?

Konsep zine sendiri sudah begitu luas cakupannya. Zine FKA Twigs sendiri merupakan promo dengan Nike dan menggunakan media Instagram, zine lain yang menarik perhatian saya adalah zine Frank Ocean, “Boys Don’t Cry.” Kedua zine ini, didorong oleh foto, alih-alih dengan tulisan. Dan jenis zine inilah yang relevan saat ini, dimana penulisnya mengedepankan nilai artistik. Zine sebagai media untuk menyampaikan informasi (seperti yang dulu saya dan Kareem buat, atau seperti zine 10-15 tahun yang lalu) menurut saya sudah tidak relevan. Tapi dalam konteks kultur musik independen Indonesia, saya tidak tahu, mungkin nantinya webzine baru akan bermunculan atau webzine-webzine lama akan bangkit (mungkin noisewhore salah satunya) dan menggantikan keberadaan media-media konvensional yang bertumbangan. Saya rasa ada potensi bagi webzine untuk menjadi tastemaker independen dalam kultur musik.

noisewhore akan menggelar mini festival dengan mengajak 2 penampil internasional sekaligus – Sunset Rollercoaster dan Peach Pit. Melihat antusiasme yang terus meningkat terhadap gelaran yang noisewhore buat. Apa yang ingin kalian raih di kemudian hari?

Saya pribadi tidak menargetkan apapun di kemudian hari, saya tidak menyangka bahwa blog Tumblr saya saat SMA bisa berjalan sejauh ini jadi saya sudah cukup puas. Saya pribadi ingin kembali membuat acara dengan teman-teman kami dengan line up seperti beberapa acara pertama kita, maka dari itu kali ini kami membungkus Peach Pit dan Sunset Rollercoaster dengan mini festival dan mengundang teman-teman kami untuk bermain.

Ke depannya mungkin kami akan menggelar acara dengan band-band lokal yang kami suka, karena kami melihat banyak band dari luar Jakarta yang menarik perhatian! Namun jika ada kesempatan dan kemampuan untuk mendatangkan band yang lebih besar, tentu akan kami ambil. Lagipula kami tidak mengharapkan banyak hal dari proyek noisewhore ini, kami hanya bereksperimen dengan konsep-konsep baru dan bersenang-senang, sehingga direksi yang kami ambil, perihal pemilihan band, juga akan terus berganti-ganti dari satu acara ke acara lainnya.

http://noisewhore.com/whiteboardjournal, logo