Protes Galih Melalui “Tanahku Tidak Dijual”

25.08.17

Protes Galih Melalui “Tanahku Tidak Dijual”

by Muhammad Hilmi

 

Menjadi politikal di jaman seperti sekarang ini adalah pilihan yang masuk akal. Di antara tarik menarik polar kiri dan kanan yang tak sehat, dan lahirnya kebijakan yang sering tak berpihak pada rakyat, kita memiliki kewajiban untuk setidaknya menyuarakan pendapat. Kewajiban ini pula disandang oleh seniman yang merupakan bagian dari masyarakat. Seniman dalam hal ini memiliki posisi unik, melalui karya mereka, kesadaran bisa dibangun dengan cara yang menyenangkan sekaligus menyentuh pada saat bersamaan.

Tapi rasanya bagi Deu’ Galih, pilihan untuk menyuarakan kegelisahan akan keadaan sosial lebih dari pertimbangan akal. Ada kejujuran pada nada dan kata yang ditulis Galih melalui musiknya. Bukan reaksioner, bukan pula demi alasan trendi ia bernyanyi. Album “Tanahku Tidak Dijual” adalah pembuktian mengenai hal ini. Lagu-lagunya mendekatkan kita pada realita yang sering tak seindah bayangan yang ada di kepala, bahwa ada saudara kita yang jauh lebih menderita daripada kita yang dengan mudah berkeluh saat terjebak kemacetan di jalan. Di Kendeng hingga Papua, perjuangan masyarakatnya jauh lebih berat, dimana mereka harus berjuang melawan kebijakan pincang untuk mempertahankan tanah dimana mereka dilahirkan. Inilah yang kemudian divisualkan melalui “Tanahku Tidak Dijual” yang berperan sebagai single kedua dari album.

Sebuah pengingat kembali dari Galih, bahwa folk tak melulu berarti nyanyian tentang riang dan sendu senja. Bahwa nyanyian model ini juga memiliki kemampuan untuk menjadi cara yang paling tepat untuk membahas mengenai manusia dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Betapapun pahit kisah yang ada di sana.whiteboardjournal, logo