Bahas Bahasa

Column
24.11.16

Bahas Bahasa

Pertautan Diksi dan Makna

by Febrina Anindita

 

Ada apa dengan penggunaan bahasa yang kadang berbelit sehingga pembaca seringkali tidak dapat menangkap makna secara utuh? Pertanyaan ini seringkali muncul setelah membaca tulisan kawan di blog atau di sebuah jurnal kolektif, lirik lagu, hingga caption di media sosial. Beberapa tulisan kerap susah dimengerti, bahkan harus dibaca 2-3 kali untuk menangkap maknanya, setidaknya oleh saya.

Seakan terpinggirkan karena tidak menangkap pesan yang mereka tulis, suatu hari saya mencoba untuk membahasnya dan mencari afirmasi dengan kawan-kawan terdekat. Malam itu saya mendapat konklusi bahwa bahasa tulisan rentan akan salah paham di antara penulis dan pembacanya. Ini diakibatkan oleh perbedaan referensi bahasa dan persepsi. Tidak hanya pada konteks “formal” yang saya sebut di atas, tapi juga dalam chat – tempat saya membahas isu ini dengan kawan.

Sebenarnya, jika ditanya mengenai fungsi, bahasa merupakan alat komunikasi, baik secara massal maupun intrapersonal yang memiliki lingkup relasi lebih kecil. Pada dasarnya, bahasa bersifat fleksibel dan mampu berevolusi sesuai perkembangan zaman, seperti munculnya bahasa prokem, bahasa gaul hingga singkatan dalam dunia maya. Terlepas dari perubahan bahasa, perannya sebagai alat komunikasi menjadi penentu penyampaian pesan.

Kini, ketika orang bisa merasakan kebebasan dalam mengutarakan pesan, mereka tidak sungkan untuk menggunakan kata-kata dekoratif guna mendeskripsikan segala hal. Pilihan diksi berbelit pun sering dipakai dalam membuat sepenggal kalimat untuk menonjolkan estetika. Sebuah kalimat sempurna umumnya memiliki format sederhana dengan adanya subjek, predikat dan objek yang dituju, tentu dengan konteks yang juga tepat.

Format ini dikesampingkan ketika kita bicara mengenai tulisan yang ada di ranah karya sastra. Pemilihan diksi dan penggunaan majas hingga metafora memperkaya atau bahkan menyembunyikan pesan yang dituju ke pembaca. Garis yang awalnya jelas membatasi sebuah karya sastra dan tulisan jenis lainnya, kini telah kabur. Permainan rima yang dulu identik dengan pantun, kini bisa ditemui dalam copywriting iklan. Penggunaan sinonim kata hingga kata sifat mewarnai kalimat untuk memberikan pembaca sebuah teks visual.

Kondisi yang kini terjadi, mengukuhkan kata dekoratif ke dalam ranah di luar sastra, mulai dari iklan sampai jurnal. Fase ini hadir dan membingungkan segelintir orang, salah satunya adalah saya. Mengutip Seno Gumira Ajidarma yang mengemukakan bahwa ada orang-orang yang senang menulis namun, “menolak untuk dimengerti.” Mereka – penulis-penulis ini – memilih untuk menulis tanpa peduli akan dibaca atau direspon oleh orang lain. Penulisan yang didasari subjektivitas ini, mengesampingkan makna dan mengaburkan efektivitas bahasa sebagai komunikator dalam tulisan sehingga timbul jarak antara penulis dan pembaca.

Sekarang penulis bisa tenggelam dalam eksplorasi diksi dan mendandani pesan dengan kata-kata dekoratif untuk menekankan kemampuan mereka dalam merangkai kata. Di kala makna telah dikesampingkan, estetika dalam bahasa tertulis menjadi fokus utama dalam menyampaikan pesan. Makna dalam kata bisa tersembunyi sehingga pembaca tidak menerima pesan secara gamblang dan terlalu fokus terhadap keindahan yang ada dalam tulisan. Penulis-penulis inipun memberikan alternatif penyampaian pesan dan sudut pandang berbeda dalam melihat sebuah teks.

Apakah sekarang, makna dalam kata tertulis tidak lagi penting? Saya rasa jawabannya akan relatif terhadap perkembangan bahasa yang dipengaruhi oleh waktu. Adanya benturan sudut pandang antara penulis dan pembaca telah menimbulkan perbedaan persepsi, sehingga ada beberapa pembaca yang merasa terasingkan. Tapi siapa yang sebenarnya terpinggirkan dalam konteks ini? Bisa jadi saya yang sebenarnya terasing karena tidak biasa dengan diksi kiasan yang beredar hari ini.

“Bahas Bahasa” ditulis oleh:

Febrina Anindita
Dilettante who is often spaced out during free time. When she’s not wired, she usually digs in literature, eroticism and visual art among others. Suffice to say, she’s erratic.whiteboardjournal, logo