Pertigaan Map

12.09.16

Pertigaan Map

Melalui Peta Mengabadikan Budaya

by Febrina Anindita

 

Rasanya sudah lama sejak kita merasakan sensasi membuka lipatan kertas peta dan melihat informasi di dalamnya. Bahkan mungkin, peta telah lama tersingkir dari inventory harian kita. Sejak gadget merangkum hampir semua kebutuhan di genggaman tangan, atas nama kepraktisan, banyak hal yang terpinggirkan dan lalu terabaikan. Padahal kadang, ada yang hilang jika melulu kepraktisan dan kecepatan yang diutamakan. Bahwa kehidupan sering terjadi sebenar-benarnya ketika kita mau berhenti berlari sejenak, lalu berjalan pelan untuk mengalami apa yang ada di sekitar kita.

Pertigaan Map, sebuah inisiasi project yang muncul dari Surabaya, adalah ajakan untuk rehat sejenak dari laju keseharian untuk melangkahkan kaki, merasakan desir angin di pipi, bertukar sapa dengan sekitar, sembari bertemu dan berbagi gagasan bersama individu lain. Lahir dari pertemuan Anitha Silvia, seorang aktivis budaya sekaligus inisiator program jalan kaki Manic Street Walkers & Surabaya Johnny Walkers, dengan Celcea Tifani seorang desainer grafis sekaligus kolektor peta fisik, ide untuk membuat peta lantas mengemuka. Didasari ketertarikan terhadap tata kota dan keinginan untuk mencari keterikatan spasial terhadap bumi Surabaya, dua sosok ini lalu menjelajahi jalanan kota terbesar kedua di Indonesia dan mulai melakukan pemetaan.

2

Tiga area kemudian terpilih menjadi fokus area peta: Eropa, Arab, dan China. Bukan tanpa alasan, pembagian area ini berdasar pada Undang-undang Wijkenstelsel pada tahun 1835-1924 yang mengatur demografi tempat tinggal warga Surabaya (khususnya pada bagian utara) berdasar ras mereka. Diterbitkan Belanda untuk mencegah warga pendatang dari China dan Timur Tengah bergabung bersama penduduk pribumi untuk melawan penjajahan mereka, pembagian area ini masih terasa dampaknya hingga sekarang, dimana Surabaya terbagi menjadi beberapa area yang diisi oleh keturunan masing-masing. Alih-alih membuat Surabaya menjadi area yang saling terpisah dan tercerai-berai, pembagian ini justru menjadi warna tersendiri di hangatnya Kota Surabaya. Dan, inilah yang kemudian berusaha diceritakan kembali oleh Anitha Silvia dan Celcea melalui project Pertigaan Map ini.

“Kompleksitas narasi di ketiga quarter di Surabaya Utara menjanjikan pengalaman yang luar biasa untuk proyek kami dan untuk itulah kami memutuskan untuk fokus di area tersebut. Ketiga Quarter tersebut adalah sebuah kesatuan yang mampu berdiri sendiri karena karakter dan identitas yang sangat kuat, secara narasi dan visual. Kami merasa bertanggung jawab untuk menjabarkan ketiga kawasan secara utuh melalui proses desain yang juga adaptasi dari beberapa hasil riset kami dan temuan lapangan.” jelas Anitha Silvia.

Sebagai sebuah project yang organik, Pertigaan Map tidak berhenti ketika peta ini selesai cetak. Dibawalah peta ini ke beberapa kota besar di Pulau Jawa. Dan di kota-kota tersebut, peta ini kemudian dikaji dalam berbagai dimensi. Di Jakarta, Pertigaan Map diulas sebagai di Rujak Urban Studies, beberapa hari sebelumnya, Pertigaan Map dibahas di kolektif seni Jogja, Ace House Collective. Ini menunjukkan bahwa meski kita tinggal di era digital, peta memiliki berbagai faset yang bisa diulas secara menarik dalam berbagai aspek, mulai dari kajian urban hingga seni.

Salah satu kunjungan yang menarik terjadi di kota Solo. Bertempat di Kota Kita, sebuah lembaga pemetaan Kota Solo, tim Pertigaan Map berbagi dan berdiskusi bersama inisiatif yang memiliki concern yang kurang lebih sama, yakni mengenai pemetaan publik. Sebuah hal yang sebenarnya merupakan domain dan bagian dari wilayah kerja pemerintah, namun dijalankan secara swadaya oleh Pertigaan Map dan Kota Kita. Anitha Silvia menambahkan, “Kami tidak berharap pada pemkot Surabaya untuk membuat peta kota yang deskriptif. Kami belum pernah melihat adanya distribusi peta fisik kota Surabaya di tempat-tempat umum seperti stasiun dan museum, ya sudah kami buat sendiri saja. Proyek ini adalah juga kebutuhan kami pribadi untuk mengenal kota Surabaya. Tidak perlu menunggu pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut.”

2

Ke depan, Pertigaan Map dirancang untuk bisa terus dikembangkan. Dimana telah dipersiapkan kanal online dimana peta bikinan Anitha dan Celcea ini bisa mendapat input secara langsung dan interaktif dari publik yang mengaksesnya. Pula sebuah jurnal yang juga tengah dikerjakan, dimana nanti akan dituturkan cerita dan sejarah mengenai jalanan hingga gang di Kota Surabaya. Tapi lebih dari itu, jiwa utama dari Pertigaan Map berada di tiga lembar kertas yang dicetak dalam warna merah, orange dan hijau ini. Karena disitulah keseruan sebenarnya terjadi, dimana orang diajak membuka peta sembari berjalan meniti langkah kaki mereka, sejenak mengistirahatkan roda-roda yang biasanya mengaburkan realita.

“Menikmati dan mengenal kota sendiri dengan cara berjalan kaki menjadikan pengalaman tersebut sangat intim. Karena berjalan kaki menawarkan authorship yang utuh, dimana kita sebagai penikmat mempunyai kebebasan penuh untuk berhenti, melihat lebih lama, balik badan, menyentuh, dan mencium bau sekitar yang tidak akan dialami apabila menikmati kota dengan cara naik kendaraan, dimana kita berbagi authorship dengan kendaraan yang kita pakai,” tutup Anitha Silvia.whiteboardjournal, logo

Tags