Seniman Mengajar

03.07.17

Seniman Mengajar

Dari Perbatasan Terluar, Berbagi Ajar Menelaah Nalar

by Muhammad Hilmi

 

Pada hakikatnya, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, pendidikan adalah hak segala bangsa. Tak mengenal dari mana sukunya, di mana tempat tinggalnya, bagaimana kehidupannya, semua warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan tanpa terkecuali; dari Sabang sampai Merauke, dari ujung barat ke ujung timur.

Sayangnya diantara sedemikian luasnya wilayah, visi tersebut sering terlupakan. Dan dengan begitu, satu per satu permasalahan pendidikan mulai muncul. Mulai dari alokasi belanja negara yang tak seimbang, fasilitas tak layak pakai, hingga anggapan terlalu Jawa-sentris di mana persebaran kualitas dan tingkat ketimpangan begitu terasa. Alhasil, masalah-masalah di atas jadi hal klasik yang susah dipecahkan sampai sekarang.

Untungnya pemerintah mulai menyadari kekurangan ini, nyatanya mereka tidak diam saja. Dan, salah satu langkah pertama yang diambil adalah memperbaiki masalah pendidikan. Selaku pemegang tertinggi otoritas pendidikan negara ini, mereka paham betul betapa banyak dan kompleksnya masalah pendidikan dari tingkat dasar hingga tertinggi. Demi memangkas jurang ketimpangan pendidikan antara satu daerah dan daerah lainnya, pelbagai program diluncurkan. Salah satunya adalah Seniman Mengajar.

Seniman Mengajar merupakan program yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program ini berfokus pada upaya pemerintah dalam mengurangi ketimpangan, terutama di bidang pendidikan kesenian dengan mengajak para seniman untuk mengajar masyarakat, komunitas, maupun sanggar yang berada di daerah berpredikat 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

Kegiatan Seniman Mengajar pada prinsipnya mendorong seniman berbagi ilmu dan pengalamannya kepada masyarakat daerah 3T. Dengan program ini, harapannya masyarakat di daerah 3T dapat terbuka wawasannnya serta mampu menjalin kerjasama dengan seniman sehingga bisa meningkatkan kualitas ekspresi seni maupun penguatan identitas budaya di daerah bersangkutan.

Dalam pelaksanaannya, program Seniman Mengajar menekankan prinsip partisipatif, dialogis, dan transformasi. Artinya yakni seniman tak hanya mengajar tapi juga turut menciptakan iklim yang kondusif dalam memacu respon masyarakat sekitar. Untuk format kegiatan, Seniman Mengajar diadakan dalam kurun waktu tertentu beserta target paket sampai kegiatan selesai.

Salah satu seniman yang turut berpartisipasi dalam program tersebut ialah Iman Fattah; musisi serba bisa yang tergabung dalam Zeke and The Popo, dan Raksasa. Setelah mengikuti proses seleksi yang dimulai sejak April lalu, Iman Fattah mendapatkan penempatan di Desa Sungai Antu, Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (satu di antara tiga daerah lainnya yaitu Kabupaten Natuna di Kepulauan Riau serta Kabupaten Belu di Nusa Tenggara Timur).

Persiapan Iman Fattah dimulai dengan minimnya informasi mengenai daerah yang akan disambangi. Tak hanya Iman, seniman lain pun demikian; tak mengetahui seluk beluk daerah bersangkutan mulai dari adat istiadatnya, budayanya, infrastruktur, sampai masyarakat yang akan dihadapi. Alhasil, Iman hanya berbekal draft bahan ajar sementara yang kelak dapat berubah total selepas berada di lokasi.

Bayangan Iman mengenai kondisi lapangan tidak jauh berbeda dengan paradigma kebanyakan. Iman membayangkan kehidupan masyarakat yang tradisional serta tinggal di rumah-rumah Betang (rumah adat ciri khas Suku Dayak) dengan hutan rindang tak terjamah manusia. Akan tetapi kenyataan berbicara sebaliknya.

“Desa Sungai Antu ternyata adalah desa dengan infrastruktur yang relatif baik. Hal tersebut terjadi karena modernisasi perusahaan kelapa Sawit yang mulai merambah daerah sekitar dan merubah banyak pola hidup masyarakatnya. Meskipun kondisi desa sudah berubah dan rumah Betang sudah tidak ditemukan di sini, namun tradisi suku Dayak Iban masih cukup kuat dipertahankan seperti berburu, tenun, tarian, dan pesta Gawai (perayaan panen),” ungkap Iman.

Desa Sungai Antu yang Iman tempati memiliki iklim tropis dengan sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah berkebun dan penenun. Suku yang kental di Desa Antu ialah Dayak Iban. Secara letak geopolitik, Desa Sungai Antu berada wilayah perbatasan langsung dengan Malaysia. Dibutuhkan waktu tak kurang dari setengah jam guna mencapai Negeri Jiran melalui jalan tikus yang tak dijaga pos TNI. Tak kaget apabila banyak barang Malaysia yang beredar.

Banyaknya persebaran Dayak Iban di kedua negara ditengarai menyebabkan bebasnya akses keluar masuk tanpa paspor maupun visa ke wilayah perbatasan. Setiap hari, menurut Iman, terdapat mobil angkutan yang melewati batas negara untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Hal lumrah mengingat lokasi Malaysia lebih mudah dijangkau daripada kota terdekat, Nanga Badau yang musti ditempuh dengan medan berat maupun minimnya infrastruktur jalan.

Tak hanya masalah persimpangan wilayah saja. Nyatanya, banyak warga yang memiliki dwi kewarganegaraan baik Indonesia atau Malaysia walaupun pihak Indonesia menyangkal kenyataan itu. Sedangkan para pejabat lokal mengetahui adanya fakta demikian tetapi mereka tak dapat bertindak apa-apa. Mereka beranggapan hubungan darah Dayak Iban dapat bergerak jauh melampaui batas negara.

Selain itu, akibat perkembangan masif pembukaan lahan oleh perusahaan kelapa sawit, banyak terjadi perubahan pola hidup masyarakat di mana banyak warga yang meninggalkan tradisi luhur untuk bekerja di lahan sawit. Dengan berkembangnya industri sawit itu pula banyak orang dari Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Timur serta daerah lain di Indonesia merantau ke Desa Sungai Antu dan menambah khazanah keanekaragaman budaya dan agama di wilayah ini.

“Menarik ketika melihat bagaimana budaya Dayak Iban, barat, Jawa, Malaysia, dan Indonesia berpadu saling mempengaruhi seiring derasnya laju kapitalisme melalui perusahaan kelapa sawit yang merubah pola hidup masyarakat. Mungkin sesuatu yang bisa dijelaskan secara lebih detil oleh para akademisi. Saya pribadi melihatnya sebagai wilayah yang mempertegas administrasi negara tetapi di saat yang sama juga mengaburkan batas negara itu sendiri,” jelas Iman.

Iman ditugaskan untuk mengajar seni media, terutama dengan fokus pada fotografi dan teori-teori dasarnya seperti bagaimana cara kerja kamera, cahaya, serta komposisi. Kebanyakan peserta didik Iman masih berada di bangku SMP yang memang memiliki ketertarikan dengan pelajaran Iman.

Berbicara tentang pengalaman menarik, Iman mempunyai beragam kisah yang tak bisa dilupakan. Namun, ikut serta dalam perayaan pesta Gawai Dayak dirasa menjadi momen menyenangkan bagi Iman selama tinggal di sana yang diakui belum pernah mengalami hal serupa di perkotaan.

“Pesta Gawai Dayak adalah tradisi bersyukur atas hasil panen yang sudah berlangsung ratusan tahun, jauh sebelum agama-agama Samawi tersebar di tanah Borneo. Pada hari besar tersebut, warga mengadakan open house dengan menyuguhkan jamuan makanan dan minuman. Semua orang baik yang merayakan atau pun tidak turut serta diundang untuk sekedar beramah tamah dan menikmati hidangan lokal,” papar Iman.

Uniknya, karena Gawai tahun 2017 jatuh di bulan Ramadhan, umat Islam pun turut ambil bagian dan menikmati berbuka puasa serta makan sahur di rumah-rumah tetangga yang merayakan Gawai, meskipun terdapat menu makanan tidak halal dan minuman beralkohol racikan sendiri.

Selama bertugas di Desa Sungai Antu, Iman mendapatkan pelajaran tentang bagaimana kondisi masyarakat di perbatasan yang sangat jauh dari Jakarta dan bagaimana pandangan mereka mengenai Jakarta, Jawa, maupun Indonesia. Ditambah lagi, Iman mempelajari adat istiadat dan kebudayaan luhur Dayak Iban setempat yang sama dengan warga Iban yang berada di Sarawak, Malaysia.

“Yang paling penting, selain kedua hal di atas adalah saya belajar bagaimana hidup dengan budaya yang beragam dan saling toleransi antar umat beragama yang sangat kuat, sesuatu yang sedang terkikis di Jakarta akibat ulah politikus yang memperuncing perbedaan demi ambisi berkuasa mereka. Saya hanya merangsang kreatifitas mereka, mereka mengajari saya Bhineka Tunggal Ika,” pungkas Iman.

Dalam prosesnya, Iman mengkritik mengenai porsi yang tak relevan antara perempuan dan laki-laki dari hasil seleksi peserta Seniman Mengajar di mana keseluruhan peserta ialah laki-laki. “Satu yang sebetulnya disayangkan adalah peserta Seniman Mengajar semuanya laki-laki. Saya sampaikan ke pihak Kemdikbud bahwa peran perempuan sangat penting karena akan ada perspektif gender yang luput apabila semua pesertanya laki-laki, dan peran perempuan di daerah-daerah di nusantara justru sangat signifikan. Mungkin itu satu hal crucial yang perlu dipikirkan ke depannya,” ungkap Iman.

Masih banyak yang bisa ditingkatkan demi pelaksanaan program Seniman Mengajar yang lebih baik di masa yang akan datang. Walaupun demikian, apresiasi patut diberikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku pemrakarsa program karena menyediakan ruang untuk komunikasi antara seniman, masyarakat di wilayah 3T, serta pemerintah, dan kemudian dapat mencari titik tengah penyelesaian.whiteboardjournal, logo

Tags