Yang Paling Berkesan dari SXSW 2018

Travel
23.03.18

Yang Paling Berkesan dari SXSW 2018

Catatan dari Salah Satu Festival Terbesar Austin, Texas

by Muhammad Hilmi

 

Musik

Musik adalah salah satu alasan utama yang membuat kami bersemangat untuk berangkat ke Austin tahun ini. Jauh-jauh hari sebelum hari keberangkatan, kami dengan penuh semangat melihat list penampil yang bisa kami nikmati nanti. Yang membuat kami semakin senang adalah banyak diantaranya adalah musisi yang kami gemari. Mimpi kami terwujud saat kami kemudian bisa melihat langsung penampilan Crumb, Shame, Okkervil River hingga Princess Nokia. Highlight utama kami ada pada penampilan Crumb dan Shame, kebetulan keduanya bermain berturutan di Barracuda Backyard, salah satu venue musik ternama di Texas. Crumb menjadi perwakilan generasi baru musik Amerika dengan musik psych-rock yang segar, sedangkan Shame menjadi perwakilan musik Inggris terkini (meski malam itu sang vokalis tampil dengan topi koboy) dengan post-punk yang penuh energi.

Di SXSW, musik tak hanya bisa dinikmati melalui panggung musik, tetapi juga melalui beberapa conference menarik. Dua diantara konferensi musik yang paling berkesan adalah “Why Music Journalism Matters in the Streaming Era” dan “Music Keynote: Lyor Cohen”. “Why Music Journalism Matters…” membahas mengenai bagaimana posisi tulisan musik di era streaming bersama beberapa jurnalis dari majalah musik besar, mulai dari Bandcamp, The Fader, Genius, SPIN hingga Pitchfork. Satu yang paling menarik dari diskusi ini adalah bagaimana kelima pembicara sepakat bahwa jurnalisme musik akan terus relevan jika ditulis dengan sepenuh hati dan menawarkan kebaruan serta angle yang personal di dalamnya.

Sehari sebelumnya, inspirasi juga datang dalam Keynote dari Lyor Cohen, sosok legendaris di industri musik. Mengawali karirnya sebagai road manager dari Run-DMC juga Beastie Boys, ia mengembangkan karirnya saat kemudian ia mengepalai label seminal, Def Jam. Kini, Lyor Cohen adalah Head of Music dari Youtube. Dari perjalanannya yang panjang, Lyor berbagi banyak hal, salah satu yang menarik adalah bagaimana sosok senior sepertinya terus mengikuti perkembangan musik dengan penuh semangat. Dan layaknya apa yang kita sedang rasakan di iklim musik lokal yang sedang berkembang, Cohen pun memiliki optimisme yang sama di mana ia dengan penuh semangat berkata, “We are arriving in the golden era of music business, and I’m psyched to be part of it.”

Film

Film juga merupakan salah satu sajian yang kami nikmati di SXSW kali ini. Beberapa sutradara yang kami idolakan mengadakan screening juga premiere di Austin. Beberapa diantaranya adalah Darren Aronofsky, Spike Lee hingga Wes Anderson. Di gelaran tahun ini, Spike Lee memamerkan film terbarunya, “Pass Over” yang mengangkat pendekatan baru dalam metode penceritaan. Spike Lee bereksperimen dengan menggabungkan pendekatan teater dan sinema di mana ia mendokumentasikan pentas teater yang terinspirasi naskah “Waiting for Godot” dalam format film multiple kamera.

17 Maret 2018, Wes Anderson meninggalkan kesan paling mendalam di benak kami. Hari itu kami menyempatkan diri untuk menjadi bagian dari tayang perdana film terbarunya yang telah diantisipasi sejak tahun lalu, “Isle of Dogs”. Kami berkumpul di salah satu gedung bisokop tertua yang telah ditetapkan menjadi monumen bersejarah di Amerika, Paramount Theatre. Sejak siang telah berbaris ratusan orang untuk mengantri tempat duduk terdepan. Yang menarik, saat mengantri para penonton dengan penuh semangat mendiskusikan berbagai referensi seputar karya-karya Wes Anderson sebelumnya serta prediksi mereka akan film ini dengan sangat antusias, membuat pengalaman tiga jam menunggu pintu dibuka tak terasa.

Saat masuk berbagai kejutan menyenangkan datang, di mana sebelum film diputar kami diberi kesempatan untuk melihat pengenalan singkat dari Wes Anderson secara langsung, juga beberapa cast dari film ini yakni Bill Murray hingga Jeff Goldblum. Film “Isle of Dogs” pun sangat memuaskan. Tampaknya Wes Anderson telah belajar banyak sejak film stop motion pertamanya, “Fantastic Mr. Fox”, di film ini Wes Anderson menggunakan berbagai pendekatan dalam hal sinematografi, memberikan pengalaman visual yang kaya sekaligus menyentuh dengan penuturannya yang khas. Membuat film ini menjadi salah satu yang terbaik di antara karya-karya sebelumnya. Jika nanti film ini diputar di bioskop Indonesia, kami sangat merekomendasikannya!

Art

Ada kecenderungan kesenian semakin mendekatkan diri dengan teknologi untuk membuat bidang ini memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan publiknya. SXSW 2018 membuktikannya dengan bagaimana beberapa karya yang dipamerkan di sini kental dengan pendekatan teknologi. Beberapa di antaranya yang paling menarik adalah “Feast” karya Caitlin Pickall dan “Conductor and Resistance” karya Ronen Sharabani. Keduanya adalah karya seni berbasis teknologi yang mengundang interaksi dari pengunjung.

Talenta Lokal

Dari sekian pertunjukan yang ada di SXSW, kami juga sangat penasaran untuk melihat bagaimana talenta lokal bisa unjuk gigi di festival berlevel dunia seperti ini. Kebetulan tahun ini kita mengirimkan cukup banyak perwakilan dari bidang teknologi, seni hingga musik. Untuk musik, tahun ini ada hal menarik di mana ada empat musisi yang tampil sekaligus memberikan gambaran bagaimana skena musik Indonesia hidup dalam berbagai generasi. Generasi yang relatif senior tahun ini diwakilkan oleh Efek Rumah Kaca dan Kimokal, sedangkan semangat generasi baru hidup pada penampilan Wake Up Iris dan Semiotika. Dua nama baru ini juga memberi warna yang menarik, mengingat keduanya berasal dari kota-kota yang selama ini luput dari radar kebanyakan. Wake Up Iris yang terdiri dari Vania Marisca dan Bie Paksi adalah representasi musik Kota Malang yang belakangan sedang sangat pesat pada perkembangan, sedangkan Semiotika yang diwakili oleh Riri Ferdiansyah datang dari Jambi, menunjukkan betapa potensi kreatif kita tersebar hingga penjuru nusantara.

Efek Rumah Kaca tampil apik di Esther’s Follies di mana mereka berhasil membuat para pengunjung berdansa, bahkan justru pengunjung lokal Austin-lah yang mulai berdansa di sana. Dua hari berselang, giliran Kimokal, Wake Up Iris dan Semiotika yang tampil di Russian House. Hari ini ada semangat kolaborasi pada penampilan ketiga musisi lokal kita. Kimokal hari itu tampil dalam panggung kolaborasi bersama Wake Up Iris serta Semiotika, menunjukkan kepada dunia, rangkuman dari skena musik Indonesia dalam satu panggung yang menggabungkan musik elektronik, folk hingga post-rock. Wake Up Iris dan Semiotika yang datang sebagai pemenang kompetisi kreatif Go Ahead Challenge 2017 memperkaya warna panggung Kimokal dengan ekspresi masing-masing. Tak mau kalah, dua pemenang Go Ahead Challenge 2017 yang datang dari visual art, Gilang Anom dan Yahya Dwi Kurniawan pun turut unjuk gigi dengan kolaborasi ilustrasi yang melengkapi panggung rekannya tadi.

Potensi Kita

Dengan pengalaman mendatangi SXSW kita bisa melihat potensi bagaimana budaya kreatif bisa dikembangkan dan menghidupi. Secara kota, kita bisa melihat bagaimana Austin jadi sangat hidup pada saat digelarnya festival ini. Semua warga kota ikut merayakan dengan pesta, panggung dadakan hingga unjuk ekspresi dadakan di pinggir jalan. Bayangkan apa yang kita bisa lakukan di Indonesia, dengan demikian kayanya pontesi kreatif kita yang tersebar di penjuru nusantara, bukan tidak mungkin kita bisa melampaui atau setidaknya menyamai apa yang teman-teman kita lakukan di SXSW.

Apalagi dengan skena kreatif yang semakin hidup seperti sekarang ini, di mana kita punya kualitas pada karya-karya juga ekspresi yang ada (baik di musik, seni, fotografi, hingga film), semangat kolaboratif juga kolektif yang semakin kuat terlihat, hingga eksistensi berbagai acara kreatif seperti Rrrecfest, hingga Go Ahead Challenge yang menjadi platform bagi semua yang berani berekspresi. Harusnya, dengan semua yang kita punya, semua ini tak lagi bisa hidup dalam mimpi, tapi juga dalam realisasi.whiteboardjournal, logo

Tags