Memetakan Gelap-Terang Masa Depan dari Kacamata Perempuan

Art
27.02.19

Memetakan Gelap-Terang Masa Depan dari Kacamata Perempuan

Ulasan pameran “Into The Future” yang merangkum perspektif 21 seniman perempuan kita.

by Muhammad Hilmi

 

Belakangan kita semakin sering mendengar kata “Future” muncul dalam berbagai pembicaraan. Khususnya dalam bentuk kesenian, belakangan tema ini semakin sering dipakah menjadi tema pameran. Dengan bumi yang tidak bertambah muda, juga goncangan di kehidupan sosial politik kita, memang pertanyaan tentang masa depan semakin sulit untuk dihadang. Kesenian, dalam hal ini memberikan kita sebuah tempat bermain sekaligus untuk merenungkan tentang apa yang akan kita jelang. Beberapa kemudian melahirkan karya yang mengeksplorasi distopia, beberapa yang lain membuat karya yang menceritakan suramnya dunia.

Lantas seperti apa bila kita mengumpulkan gambaran masa depan dari kacamata seniman perempuan muda? Inilah pertanyaan yang coba didedah oleh pameran “Into The Future”. Dikuratori oleh Carla Bianpoen dan Citra Smara Dewi, pameran ini mencoba untuk memetakan seni rupa baru yang dibangun oleh jiwa perempuan muda Indonesia. Mengumpulkan 21 nama dengan rentang tahun lahir 1979 hingga 1994, pameran ini dibangun dengan keinginan untuk menyambut masa depan dengan berbagai bentuk “Art of Another Kind”.

Hasilnya adalah kumpulan berbagai bentuk karya seni, beberapa di antaranya instalatif, beberapa yang lain parsitipatoris, ada juga yang menjelajahi ranah performatif dengan bahasan seputar identitas, ketakutan juga harapan baru. Semua disampaikan melalui kepekaan perempuan yang melihat tak hanya apa yang ada di luar tapi juga tajam ke dalam sebuah peristiwa. Dan di sinilah kualitas terbaik pameran ini terasa.

Bahasan tentang masa depan paling kuat terasa di karya Natasha Tontey. Berjudul “From Pest to Power”, Tontey mengajak kita untuk menarik titik ekstrem dari konsep xenofeminism – sebuah paham yang menolak konsep masa depan dibangun dalam perspektif yang patriarkis – bahwa harusnya ada alternatif-alternatif lain dalam cara kita memetakan masa depan. Konsep ini disampaikan dalam bentuk video science-quasi-fiction yang menampilkan bagaimana masa depan dibangun oleh kecoa – yang walaupun sering dianggap hewan hina, tapi memiliki ketangguhan yang luar biasa. Mengundang pertanyaan tentang apakah gender masih relevan di masa depan? Dan lebih dari itu, mengajak kita bertanya, apakah kita sebagai manusia akan terus relevan untuk menghadapi berbagai tantangan zaman?

Jika di karya Tontey kita diajak untuk mempertanyakan masa depan, karya Irene Agrivina, Prilla Tania dan Cecilia Patricia Untario mencoba memberikan jawabannya. Irene melalui “Tajin” mencoba menciptakan inovasi bahan pakaian yang dibuat khusus untuk perempuan dari bahan yang juga dikumpulkan dari aktivitas keseharian perempuan – termasuk bakteri dari vagina. Di sisi lain, Prilla mencoba memberikan jawaban tentang kebutuhan pangan masa depan dalam karya berjudul “Demokratisasi Karbohidrat” yang menawarkan beberapa jenis makanan pokok alternatif dalam karya parsitipatoris yang melibatkan pengunjung pameran. Patricia Untario melihat salah satu solusi bagi masa depan itu itu bisa dihadirkan dalam bentuk pendidikan seksual. Di karyanya yang berjudul “Silent 2”, ia menampilkan deretan cetakan kondom berbagai rupa dari bahan kaca. Sebuah simbol untuk kondom di kehidupan modern nanti.

Alih-alih melihat ke depan untuk menelaah tentang masa yang akan datang, beberapa seniman justru melihat ke belakang. Seperti mengingatkan tentang masa depan dibangun dari bagaimana kita mengolah pengalaman dari masa lalu menjadi pengetahuan. Karya Yaya Sung misalnya, ia mengangkat beberapa artefak dari protes masa lalu (mulai dari televisi hingga spanduk dan payung) dan mengkontekstualisasikannya di masa sekarang. Ada juga karya Octora yang menampilkan beberapa kata kunci penting dari tragedi 1965 dalam ubin keramik putih berderet yang ia beri judul, “Kuburan Kata”.

Beberapa yang lain, memilih untuk mengeksplorasi hal yang tak lekang oleh zaman, ia terus akan ada dan penting di masa lalu, sekarang dan mendatang: tentang kepekaan dari hal-hal yang ada di sekitaran. Restu Ratnaningtyas membawakan konsep ini pada karya berjudul “Invisible Borders”. Berbentuk kelambu yang sering dimaknai sebagai batas kesopanan, Restu mengajak publik untuk melewati batasan-batasan ini. Isu tentang kepekaan juga hidup dalam “Undisposable Guilt” karya Sanchia Hamidjaja yang berusaha memberikan nyawa dan perasaan pada sampah keseharian, supaya kita bisa lebih memiliki afeksi terhadapnya, baik saat memakai atau saat akan membuangnya.

Lalu, seperti apakah masa depan di mata perempuan? Rasanya tak akan ada jawaban yang sama muncul dari semua peserta pameran. Kita semua punya mimpi yang berbeda tentang apa yang ada di depan. Beberapa melihatnya sebagai masa yang suram, beberapa yang lain melihat cerah harapan. Tapi memang begitulah seharusnya. Dan melalui kepekaan yang nyata dari semua peserta pamerannya, “Into The Future” ini adalah pengantar yang baik untuk kita mengusik kita tentang seperti apa konsep masa depan di kepala kita.

INTO THE FUTURE

Signify the Art of Today and the Coming Era

26 Februari – 16 Maret 2019

Gedung A, Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Tim. No.14
Gambir, Kota Jakarta Pusatwhiteboardjournal, logo