Film “Yuni” Karya Kamila Andini Mendapat Review Positif di Festival Internasional

Film
15.09.21

Film “Yuni” Karya Kamila Andini Mendapat Review Positif di Festival Internasional

Kamila memberi hidup ke sebuah topik yang memang pantas didiskusikan.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Deandra Aurellia
Foto: Fourcolour Films

Pesan tegas tentang kebebasan perempuan dan penentuan nasib diri sendiri disampaikan dengan lembut dalam “Yuni,” sebuah kisah remaja yang menarik tentang seorang siswi berusia 16 tahun yang tidak tahu persis apa yang ingin ia lakukan dengan hidupnya. Namun, dirinya yakin bahwa ia tidak siap untuk mengikuti tradisi dan menjadi pengantin remaja. Film ketiga yang disutradarai solo oleh Kamila Andini (“Sekala Niskala”) ini mengangkat topik yang patut didiskusikan, dan semakin memperkuat posisinya sebagai suara vital dan cerdas dalam sinema kontemporer Indonesia. “Yuni” pasti akan melejit popularitasnya di segelintir festival film, karena film ini memiliki seluruh faktor yang mendukung kesuksesan komersial, ditambah pengangkatan topik yang merupakan bahan pembicaraan yang menarik.

Kekuatan besar “Yuni” terletak pada konstruksinya yang sederhana dan cara pendekatannya terhadap subjek sensitif seperti seks remaja dan perjodohan dalam masyarakat Muslim. Skenario karya Kamila dan Prima Rusdi tidak menghindar dari apa pun, tetapi juga tidak kaku untuk menyampaikan pesan-pesan progresif dan persuasifnya.

Seorang gadis pintar dengan obsesi warna ungu (warna yang terkait dengan kekuatan, kebijaksanaan dan spiritualitas), Yuni (Arawinda Kirana) menghadiri sekolah menengah yang berencana untuk menerapkan tes keperawanan wajib untuk semua siswa perempuan dan telah melarang musik dengan alasan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun, Yuni bersikeras membebaskan dirinya dari larangan-larangan tersebut. Asalkan nilainya tetap tinggi dan ia tidak menikah, dia akan memenuhi syarat untuk beasiswa perguruan tinggi yang sangat berharga.

Belajar bukanlah masalah. Menghindari pernikahan adalah tantangan besarnya. Karena kedua orang tuanya bekerja di Jakarta yang jauh, Yuni tinggal bersama neneknya (Nazla Thoyib), seorang wanita baik hati namun berpemikiran kolot yang memberi tahu Yuni bahwa pernikahan adalah berkah dan “kita tidak boleh menolak berkah.” Yuni kemudian membuktikan palsunya mitos kuno yang mengatakan menolak dua lamaran nantinya akan susah mendapatkan suami. Pertama yang ditolak adalah pekerja bangunan, Iman (Muhammad Khan), diikuti oleh Mang Dodi (Toto St. Radik), pria beristri yang berusia tiga kali lipat usia Yuni yang bersedia membayar mahar 50 juta rupiah untuk mendapatkan istri kedua.

Beberapa adegan film yang paling menyenangkan dan mencerahkan melibatkan sahabat Yuni yang doyan mengobrol, Sarah (Neneng Risma) dan teman-teman mereka saat bermalas-malasan di rumput dan berbicara terus terang tentang anak laki-laki, seks, orgasme, dan topik intim yang layak untuk ditertawakan. Semangat solidaritas yang sama juga mewarnai persahabatan Yuni dengan Suci (Asmara Abigail), seorang ahli kecantikan berstatus janda bahagia dengan semangat hidup yang tak terbendung.

Jika tidak sedang menolak lamaran dari laki-laki tidak dikenal, Yuni sering melamun karena diam-diam naksir dengan guru sastra tampan, Pak Damar (Dimas Aditya). Yuni jago matematika dan IPA, tapi terkendala dengan tugas yang diberikan Damar. Tugasnya adalah menganalisis “Hujan di bulan Juni”, sebuah puisi cinta metaforis yang luar biasa oleh legenda sastra terhormat Sapardi Djoko Damono. 

Dalam pergantian peristiwa yang membawa puisi ke dalam film baik bentuk maupun isinya, Yuni dibantu oleh Yoga (Kevin Ardilova), murid yang lebih muda darinya dan memiliki apresiasi yang peka terhadap karya sastra tersebut. Laki-laki tersebut sangat naksir dengan Yuni, sebuah kisah cinta monyet klasik anak remaja. Meskipun Yoga yang canggung, kikuk, dan gugup agak mengganggu proses berjalannya cerita, hal-hal meningkat dengan baik ketika hubungan satu arah mereka berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih signifikan dan mengubah hidup keduanya.

Difilmkan dan dibawakan dengan naturalisme yang sederhana dan meyakinkan, “Yuni” memiliki nuansa dokumenter yang berangkat untuk mengeksplorasi kehidupan seorang gadis khas Indonesia yang terperangkap dalam kegembiraan, kebingungan, dan semangat yang secara universal dialami oleh remaja. Untuk pujiannya yang luar biasa, film ini tidak pernah mencari penjahat atau menuding siapa pun. Inti masalah di sini adalah masa-masa krusial dan kedewasaan seringkali dipaksakan ke dalam hidup anak-anak remaja seperti Yuni, padahal wanita muda seperti dirinya perlu banyak waktu untuk menghirup udara, mengamati pemandangan dan memutuskan ke arah mana mereka akan pergi.whiteboardjournal, logo