Kami Mereview Semua Band yang Tampil di Soundrenaline Tahun Ini

Music
08.08.18

Kami Mereview Semua Band yang Tampil di Soundrenaline Tahun Ini

Nama-nama band yang akan tampil di line up gelaran Soundrenaline tahun ini.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Carla Thurmanita
Foto: Achmad Soni Adiffa

Sebagai salah satu festival musik terbesar di Indonesia, Soundrenaline kembali lagi. Sama halnya dengan tema “The Soul of Expression” yang diusungnya kali ini, pengkurasian line-up dibuat secara beragam untuk mengekspresikan bentuk musik milik mereka masing-masing, dari nama lokal hingga internasional, multi genre, dan format musisi yang berbeda. Berikut adalah nama-nama band yang akan tampil di line up gelaran Soundrenaline, meramaikan panggung-panggung di GWK tahun ini.

Limp Bizkit

Mengundang beberapa musisi mancanegara, Limp Bizkit menjadi nama terbesar pada pengisi acara internasional milik Soundrenaline kali ini. Unit beraliran nu metal satu ini menjadi salah satu tokoh paling seminal dengan karyanya di era 90 sampai 2000-an. Beberapa di antaranya merupakan hits single hingga kini, seperti track “Rollin’ (Air Raid Vehicle)” dan “Take A Look Around”. Sejak awal dibentuknya pada tahun 1995, kuartet ini membawa pengaruh segar di eranya dengan percampuran musik metal, rap, hingga groove lewat seluruh albumnya yang terjual dalam puluhan juta copy di tiap rilisnya.

Yellow Fang

Setelah sempat memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara untuk tur mereka pada tahun 2016 lalu, Yellow Fang akan kembali untuk meramaikan panggung Soundrenaline kali ini. Melalui rilisan album penuh mereka yang bertajuk “The Greatest”, trio indie beranggotakan kakak-beradik perempuan asal Thailand satu ini dikenal dengan sajian musik rock alternatif 90-an yang dipadukan dengan bunyi riff gitar shoegaze dan ritme melodi pop, ditemani harmonisasi vokal ketiga anggotanya yang cukup apik. Sehingga meski sebagian besar lagunya ditulis dalam bahasa Thailand sekalipun, musik Yellow Fang terasa tidak asing sama sekali, dan sulit untuk tidak terbawa ketika mendengarkan penampilan mereka seperti di nomor “I Don’t Know” atau “Blanket”.

Hujan

Sebagai representatif lainnya dari kawasan Asia Tenggara, band asal Malaysia, Hujan juga akan turut meramaikan panggung Soundrenaline tahun ini. Unit yang memiliki vokalis Noh Salleh ini dikenal dengan distorsi rock alternatif mereka yang berbeda dari stereotip musik Melayu sendu yang umumnya lekat pada skena musik negara tersebut. Melalui single mereka yang paling banyak didengar yaitu “Bila Aku Sudah Tiada”, “Mana Mungkin”, juga rilisan album bertajuk “Sang Enemy” (2012) dan “Jika Sempat” (2016), Hujan dipastikan menjadi salah satu tokoh musik dari lingkup Asia yang kualitasnya patut diperhitungkan.

Padi Reborn

Siapapun sudah pasti mengenal atau pernah mendengar nama band satu ini lewat lagu-lagu nomor wahid milik mereka seperti “Begitu Indah”, “Kasih Tak Sampai”, dan “Menanti Sebuah Jawaban”. Dibentuk pada tahun 1997, unit pop-rock asal Surabaya, Padi mulai melejit sejak mereka melempar single bertajuk “Sobat” yang diambil dari album pertama mereka, “Lain Dunia” (1999). Padi tetap memegang posisi sebagai salah satu band terbesar dalam industri musik Indonesia melalui empat rilisan album mereka lainnya, hingga lalu memutuskan untuk hiatus pada tahun 2011. Namun 7 tahun kemudian kabar baik muncul dari unit satu ini. Tetap dengan formasi awalnya; Ari (gitar), Fadly (vokal), Yoyo (drum), Rindra (bass) dan Piyu (gitar) memutuskan untuk kembali berkarya di bawah moniker baru yakni Padi Reborn.

Sheila On 7

Rasanya ketika seseorang melontarkan judul seperti “Seberapa Pantas” atau “Sebuah Kisah Klasik” dari mulutnya, yang mendengar secara otomatis akan melantunkan dengan lancar awal hingga akhir lagu-lagu tersebut. Memang ini yang menjadi ciri khas unit asal Yogyakarta yang telah menjadi salah satu ikon musik generasi 90-an ini. Sheila On 7 memulai perjalanannya pada skena musik tanah air sejak tahun 1996, dan hingga kini selalu berhasil mencuri hati para penikmat musik melalui rilisan materi terbaru mereka yang tetap berbalut alunan pop-rock easy listening, dilengkapi dengan lirik sederhana – mengisahkan kisah kehidupan dan hubungan antar manusia dalam segala aspek, yang pada akhirnya menjadikan musik dari band satu ini tetap relevan dari masa ke masa.

Seringai

Nama pemilik single “Tragedi” ini tentunya sudah tidak asing lagi. Unit metal yang personilnya terdiri dari Arian13 (vokal), Ricky Siahaan (gitar), Edy Khemod (drum), dan Sammy Bramantyo (bass) ini nyatanya telah sukses menitipkan jejak legacy mereka pada industri musik tanah air – khususnya  skena metal – sejak awal berkarirnya belasan tahun lalu hingga kini. Satu hal menarik yang muncul dari Seringai adalah pembawaan musik mereka yang meskipun beraliran genre kencang, musiknya tetap dapat dinikmati telinga non-penggemar metal sekalipun. Hal ini bisa saja dikarenakan distorsi notasi metalnya begitu padat nan rapi, hingga kepekaan lirik-liriknya yang tajam. Album terbaru Seringai, “Seperti Api” rencananya akan diluncurkan pada pertengahan tahun ini.

The S.I.G.I.T

Adalah The Super Insurgent Group of Intemperance Talent atau lebih banyak dikenal dengan moniker The S.I.G.I.T, sebuah unit rock asal Bandung yang mana namanya telah menjadi andalan industri musik Indonesia. Mengawali karir dari tahun 1997 dan mulai melesat di era 2000-an ketika merilis album “Visible Idea of Perfection”, unit ini kemudian dikenal di ranah musik independen di kota asalnya serta pada skena lokal berskala nasional.

Navicula

Band asal Bali satu ini sudah mengawali karirnya sejak tahun 1996. Tidak hanya menjadi nama penting pada skena musik lokal, gaung Navicula pun telah terdengar hingga ke luar Indonesia; sebut saja tampilnya mereka di festival-festival musik mancanegara hingga berkesempatan merekam langsung beberapa lagu mereka di Record Plant Studio, Los Angeles. Mengusung dasar musik grunge, kehadiran Navicula signifikan di dunia musik lokal berkat menyampaikan pesan perubahan, mulai dari isu-isu politik hingga lingkungan lewat lagu-lagunya seperti “Mafia Hukum” dan “Orangutan”.

Zat Kimia

Grup musik asal Bali lainnya yang juga muncul pada line up kali ini ialah Zat Kimia. Layaknya judul album pertama mereka yaitu “Candu Baru”, musik yang disuguhkan oleh unit beranggotakan Ian Stevenson (vokal, gitar), Edi Pande Kurniawan (bass, backing vocal), Chrisna Winata (gitar, backing vocal), dan Nobertus Rizki S (drum) ini berhasil menjadi konsumsi yang adiktif sejal awal dirilisnya pada tahun 2017. Hal ini ditunjukkan melalui bunyi-bunyian rock alternatif mereka yang berisikan twist ketukan berbeda-beda di tiap lagunya, ditemani vokal memikat milik Ian yang menyanyikan tema seperti mengenai pencarian diri dan percintaan, hingga menyuarakan isu adiksi gawai dan perihal lingkungan di lagu “Candu Baru” dan “Dalam Diam”.

Burgerkill

Nama Burgerkill sudah menjadi pengaruh utama pada industri musik Indonesia, khususnya pada skena metal lokal, sejak tahun 1995. Unit musik asal Bandung bergenre metalcore ini pun kian melejit ketika mereka melempar album pertama, “Dua Sisi” (1998) yang menunjukkan dinamika komposisi musik mereka yang meski kencang dan kompleks. Tidak berhenti sampai di sana saja, salah satu karya monumental muncul dari mereka lewat proyek “Killchestra” dalam format rekaman dan konser yang memadukan musik metal dan orkestra di dalamnya – sebuah crossover yang lalu mencetak sejarah dalam negeri.

Maliq & d’Essentials

Jika bicara mengenai pembawaan musik jazz manakah yang sangat easy listening dan melekat di hati hampir semua kalangan, Maliq & d’Essentials akan menjadi salah satu dari sedikit nama yang langsung muncul di kepala. Hingga kini, dari semua 9 album mereka, publik dapat menemui nomor-nomor jazz yang dilingkupi musik soul dan pop yang ditemani dengan lirik-lirik manis yang mudah untuk dijadikan bahan bernyanyi bersama. Berawal dari album pertama mereka berjudul “Free Your Mind” (2007), pemilik hits single “Heaven”, “Untitled”, dan “Setapak Sriwedari” ini tetap setia dengan identitas musik mereka hingga kini.

Mocca

Berbeda dari yang sebelumnya, unit jazz asal Bandung satu ini dikenal dengan bekal musik bernuansa jazz mereka yang dipadukan dengan unsur bossanova dan swing cukup kental pada tiap karyanya. Berawal dari album pertama mereka, “My Diary” (2003) dan diikuti rilisan-rilisan setelahnya, tidak dielakkan lagi siapapun akan dapat diajak bernostalgia bersama Arina dan kawan-kawan melalui alunan manis dan indah di lagu-lagu mereka seperti “Me and My Boyfriend”, “Secret Admirer”, dan “Best Thing”.

Naif

Siapa yang tidak kenal dengan band pemilik banyak lagu yang menjadi all time hits pada industri musik Indonesia satu ini? Sebut saja dengan nomor “Posesif”, “Air dan Api”, dan “Mobil Balap”; band Naif yang digawangi oleh David Bayu, Emil, Jarwo, Pepeng, dan Chandra berhasil menghapus batas antara skena musik indie hingga mainstream sekalipun, dan lalu mengisinya dengan lantunan musik pop alternatif ciri khas mereka yang dapat mudah disenangi banyak orang.

Elephant Kind

Berawal dari sebagai tugas akhir sang vokalis, Bam Mastro, saat sedang mengenyam pendidikan musik di Australia, proyek ini pun ia lanjutkan bersama teman-temannya saat dirinya kembali ke Indonesia. Nama Elephant Kind mulai lalu lalang di skena musik lokal ketika mereka merilis debut EP “Scenarios: A Short Film by Elephant Kind” (2014) yang langsung menarik perhatian berbagai kalangan melalui konsep tracklist yang dirangkai layaknya film, dengan dasar melodi pop yang digabungkan dengan musik multigenre dan lirik melankolis.

Fourtwnty

Lirik puitis dan aransemen acoustic folk yang sederhana menjadi dua yang dapat menggambarkan musik yang dibawakan oleh Fourtwnty. Band asal Jakarta yang digawangi oleh Roby Satria, Ari Nuwi, dan Roots ini dikenal dengan lantunan musiknya yang ringan sejak EP “Setengah Dulu” (2014) nya dirilis, dilanjutkan dengan album penuh perdana mereka yang bertajuk “Lelaku”. Nama Fourtwnty pun kian melejit ketikadipilih untuk mengisi salah satu soundtrack dari film “Filosofi Kopi 2: Ben & Jody” dengan nomor populernya, “Zona Nyaman”.

Endank Soekamti

Merupakan salah satu aset berharga dari kota Yogyakarta. Sejak awal berdirinya Endank Soekamti, band yang mengusung bunyi pop punk dalam bermusiknya ini sudah dikenal dengan pembawaan lagu-lagunya yang ramai. Didukung dengan lirik nyeleneh dan sederhana yang tetap dapat menyentil isu realita keseharian hidup, unit inipun dengan mudah menekankan ciri khasnya di dunia musik lokal.

Barasuara

Album mereka, “Taifun” merupakan salah satu karya rilisan dalam negeri yang banyak dibicarakan banyak orang dan dapat pujian serta jumlah. Nama-nama penggerak di dalam unit rock satu ini pun tidak asing lagi; seperti Gerald Situmorang (bass), gitaris jazz yang sudah dikenal lebih dahulu dengan proyek instrumental trio Sketsa dan Gerald Situmorang Trio, hingga Marco Steffiano (drum) yang menjadi session drummer dari salah satu solois populer Indonesia, Raisa. Namun bukan itu yang menjadi nilai lebih dari Barasuara, melainkan lagu-lagu berkomposisi apik yang memompa semangat milik mereka. Dengar saja “Nyala Suara” ataupun “Api dan Lentera” dan temukan alasan kenapa unit ini mampu melejit dalam waktu singkat.

Heals

Berbekal aliran shoegaze yang kental, nama unit asal Bandung ini mulai menanjak ketika single pertama mereka, “Void” dilempar ke telinga khalayak publik pada tahun 2014. Tidak seperti komposisi shoegaze yang kebanyakan memberi rasa mengawang, Heals berhasil membawa hawa baru dengan kualitas perpaduan shoegaze dan rock alternatif yang penuh distorsi cukup kencang, namun tetap penuh hingga nikmat untuk didengarkan. Hal ini dibuktikan bukan hanya melalui satu single mereka saja, tetapi juga dengan konsisten dibawakan di dalam keseluruhan trek pada debut album penuh mereka bertajuk, “SPECTRUM”.

FSTVLST

Digawangi oleh Farid Stevy, unit rock asal Yogyakarta yang dibaca sebagai Festivalist ini memulai debut mereka dengan album pertama berjudul “Manifesto” (2009). Meski dapat dikatakan mengusung musik yang sama sekali tidak baru, sesuai identitas yang ingin mereka bawakan yakni “almost rock barely art”, FSTVLST tetap mencolok dengan karya mereka yang seringkali memadukan musik dan seni visual yang khas pada setiap penampilannya.

Hurt‘Em

Dengan diproduseri oleh Arian13 di bawah Lawless Records, album perdana Hurt‘Em bertajuk “Condolence” sukses memunculkan diri ke permukaan radar skena musik tanah air. Dibentuk pada tahun 2015, trio Epan (bass), Oces (drum), dan Chuky (gitar) memfokuskan musik mereka di jalur progresi hardcore punk/grindcore, dan melalui dentuman kencang itu meneriakkan ekspresi pikirannya akan isu sosial dan politik di sekitar. Dapat didengar salah satunya di single utama Hurt’Em, yaitu “Deceit/Patronage”.

Silampukau

Melalui album pertama bertajuk “Dosa, Kota & Kenangan” (2015), duo indie folk asal Surabaya ini dikenal dengan folk progresif mereka yang terasa jujur, juga dekat dengan keseharian manusia. Hal ini dapat dilihat melalui lagu-lagu Silampukau yang dijadikan sebagai medium bercerita topik yang beragam, ditemani petikan gitar sederhana mengiringi pemilihan diksi menarik yang dinyanyikan oleh suara berat nan lirih milik Kharis.

Theory of Discoustic

Menghipnotis adalah kata dapat mendeskripsikan musik yang ditawarkan oleh band berbasis di Makassar ini. Meski sama-sama membawakan alunan folk progresif di dalam lagu mereka, tetapi keindahan utamanya terletak pada komposisi notasi tradisional Indonesia yang mendominasi secara keseluruhan. Selain itu pendekatan penulisan lagu yang mengadaptasi budaya – khususnya budaya Bugis-Makassar – hingga cerita rakyat setempat pun menjadikan lagu-lagu seperti “Sebuah Harapan Musim Penghujan”, “Lengkara”, dan “Tanah Tua” terasa magis sekaligus dekat dengan diri.

Wake Up Iris!

Musisi folk lainnya kali ini berasal dari kota Malang. Meski memilih jalur genre yang satu ini, duo beranggotakan Vania Marisca dan Bie Paksi muncul dengan membawa nuansa yang lebih segar. Yakni selain mengisi lagu-lagu mereka dengan petikan gitar ala folk, mereka pun juga memadukan jenis-jenis musik lainnya. Maka tidak heran jika dari album debut mereka berjudul “A U R O L E” (2018), dapat terdengar nuansa dari notasi klasik, blues, hingga etnik sekalipun pada tiap trek di dalamnya.

Mooner

Selain The S.I.G.I.T, band yang juga digawangi oleh Rekti Yoewono ini turut meramaikan line up Soundrenaline kali ini. Dibentuk pada tahun 2005, meski nama Mooner masih terdengar sedikit asing, tetapi wajah-wajah yang bermain di dalamnya merupakan mereka yang sebelumnya sudah lalu lalang di kancah musik tanah air. Sebut saja Pratama Kusuma Putra (drum) anggota Sigmun, Absar Lebeh (gitar) dari The Slave, dan Marshella Safira (vokalis) yang juga menjadi bagian kelompok Sarasvati. Dengan musik heavy rock yang berkiblat ke arah grup musik lawas 70-an, yaitu Panbers, Mooner menyuguhkan lagu-lagu rock berirama berat yang sedikit unik dengan adanya warna vokal lembut milik Marshella di album penuh mereka berjudul “Tabiat” (2017).

Pee Wee Gaskins

Sempat menjadi penguasa pensi pada masanya, hingga sampai saat ini band pop-punk asal Jakarta, Pee Wee Gaskins tetap merupakan salah satu nama yang cukup signifikan untuk ranah musiknya sendiri – bahkan skena pada umumnya – dengan ketiga rilisan album “The Sophomore”, “Ad Astra Ad Aspera”, dan “A Youth Not Not Wasted” miliknya yang mana sebagian besar mengangkat tema semangat generasi muda di dalamnya. Dengan formasi personil Dochi, Sansan, Omo, Aldy, dan Ayi; salah satu proyek yang baru saja mereka keluarkan adalah sebuah EP bertajuk “Salute to 90s” (2018) berisikan 5 trek yang merupakan homage terhadap lagu-lagu populer penanda musik era 90an. Di antaranya terdapat nomor “Pop Kinetik” milik band Rumahsakit, dan karya lawas dari Dewa 19, “Kangen”.

Semiotika

Seringkali disebut sebagai wajah baru dari Jambi, hal ini muncul bukan tanpa alasan. Ketika gelombang pada skena musik di kota satu ini sedang berada dalam posisi stagnan – bahkan gaungnya kurang terdengar di kalangan luar – kehadiran Semiotika lalu ada seakan memberi harapan baru. Melihat warna musik yang ditawarkan oleh Semiotika adalah lagu-lagu instrumental post-rock yang meski ditata sesuai formula post-rock kebanyakan, namun tetap memiliki energi yang cukup liar juga intense di lagu-lagu mereka. Melalui dinamika pada album “Ruang” (2015)  juga, Semiotika ingin menyampaikan gejolak pikiran dan emosi mereka akan kondisi lirih bumi Jambi, seperti di lagu “Gersang” dan “Sepertinya Hijau”.

Scared of Bums

Dengan menyebut melodic core sebagai dasar musik yang mereka usung, tidak hanya pasar industri Bali yang mereka pegang, Scared of Bums  juga menembus skena musik banyak daerah lainnya. Awal dibentuk pada tahun 2003, jalan untuk jalur berkarya unit ini semakin terbuka luas ketika mereka menjuarai ajang kompetisi musik berskala nasional tahun 2007 silam. Melalui seluruh nomor melodic bertempo cepat, khususnya pada album pertama “Let’s Turn On A Fire” (2013), Scared of Bums memfokuskan isi dan konteks lagu mereka untuk menyuarakan isu-isu sosial yang dekat dengan masyarakat sekitarnya.

Sisitipsi

Meski perjalanan karir Sisitipsi belum berlangsung terlalu lama, tetapi musik yang dihadirkan oleh unit beranggotakan enam mahasiswa dan alumni studi musik Institut Kesenian Jakarta (IKJ) satu ini cukup melekat dan meninggalkan kesan tersendiri bagi para pendengarnya. Hal ini dikarenakan lagu-lagu Sisitipsi yang diisi berbagai instrumen di luar formula band pada umumnya – dari trombone hingga kontrabass – musik yang komposisinya terdengar ‘serius’ ini pun membawakan balada yang bercerita mengenai dinamika kehidupan anak muda masa kini dengan lirik ringan yang bahkan terkesan ‘nakal’ dan jenaka.

 whiteboardjournal, logo