Weyes Blood Gambarkan Kekecewaan dan Ketakutan lewat Album “And in the Darkness, Hearts Aglow”

Music
21.11.22

Weyes Blood Gambarkan Kekecewaan dan Ketakutan lewat Album “And in the Darkness, Hearts Aglow”

Melanjutkan triloginya setelah album Titanic Rising, Weyes Blood merilis album And in the Darkness, Hearts Aglow sebagai kelanjutan cerita tentang perasaan ketika seseorang benar-benar berada dalam malapetaka.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Ahmad Baihaqi
Foto: Bandcamp/Weyes Blood

Natalie Mering atau yang lebih dikenal sebagai Weyes Blood akhirnya merilis album terbaru setelah sebelumnya memberikan bocoran dengan merilis tiga lagu yang juga menjadi bagian dari album tersebut. Bertajuk And in the Darkness, Hearts Aglow, album tersebut berisi 10 lagu dan merupakan album studio yang kelima.

And in the Darkness, Hearts Aglow merupakan album lanjutan dari album sebelumnya, Titanic Rising, kedua album ini merupakan bagian dari spesial trilogi yang dibuat oleh Mering. Jika Titanic Rising bercerita tentang perasaan akan datang malapetaka, maka And in the Darkness, Hearts Aglow adalah fase selanjutnya, di mana seseorang benar-benar menyadari sedang berada dalam malapetaka tersebut. Meraba dalam kegelapan untuk mencari makna dalam fase ketidakstabilan serta perubahan yang tak dapat dibatalkan.

Melalui laman Bandcamp miliknya, Mering menyatakan bahwa ia menemukan banyak pertanyaan dan perasaan keterasingan berlebih yang selalu muncul saat menulis lagu-lagu dalam album And in the Darkness, Hearts Aglow. Salah satunya adalah lagu “It’s Not Just Me, It’s Everybody” yang dianggap sebagai anthem orang Buddha.

“It’s Not Just Me, It’s Everybody is a Buddhist anthem, ensconced in the interconnectivity of all beings, and the fraying of our social fabric. Our culture relies less and less on people. This breeds a new, unprecedented level of isolation,” tulis Mering.

Menurutnya, pernyataan bahwa setiap orang mampu membeli jalan keluarnya hanya memberikan sedikit kenyamanan dalam menghadapi ketakutan yang dihadapi. Terlebih, meski perasaan tersebut muncul berbeda pada setiap individu, perasaan tersebut tetap bersifat universal.

Mengenai lagu “Grapevine”, menurutnya setiap orang memiliki grapevine-nya masing-masing dengan masa lalu dan luka yang belum terselesaikan. Seperti cinta misalnya, menurut Mering jika benar cinta tidak perlu bersama, mengapa banyak lagu cinta yang selalu berbicara tentang keterhubungan. 

Bercerita tentang narsisme, lagu “God Turn Me Into Flower” Mering mengambil mitos tentang Narcissus, yang memiliki obsesi terhadap bayangan dirinya sendiri di dalam sebuah kolam yang membuatnya kelaparan dan kehilangan akal sehatnya. Melalui lagu ini, Mering ingin menyampaikan bahwa hal yang sebetulnya diinginkan atau menjadi obsesi seseorang justru terdapat pada dirinya sendiri. 

Mering menyampaikan bahwa lagu-lagu yang terdapat dalam album And in the Darkness, Hearts Aglow bukan lah sebuah solusi atas ketakutan dan kekecewaan terhadap kegelapan zaman saat ini, tapi menurutnya album ini mampu menjelaskan kekecewaan tersebut.

“Chaos is natural. But so is negentropy, or the tendency for things to fall into order. These songs may not be manifestos or solutions, but I know they shed light on the meaning of our contemporary disillusionment. And maybe that’s the beginning of the nuanced journey towards understanding the natural cycles of life and death, all over again,” tutupnya.

Seluruh lagu dalam album And in the Darkness, Hearts Aglow sudah bisa didengarkan di berbagai streaming platform. whiteboardjournal, logo