Wangsit Firmantika Mengeksplorasi Gender Dalam Karya Seni

Art
28.02.18

Wangsit Firmantika Mengeksplorasi Gender Dalam Karya Seni

Anindita Salsabila (S) berbincang dengan Wangsit Firmantika (W).

by Febrina Anindita

 

S

Bagaimana perjalanan awal Wangsit dalam menekuni dunia desain?

W

Sebenarnya ketika kuliah memang di DKV. Setelah saya lulus; bahkan sebelum lulus, saya sudah mendapat tawaran kerja di sebuah brand. Waktu itu saya berada di salah satu provider telepon, sebagai desainer grafis. Dari situ saya merasa ada chemistry di antara tim dan bos saya, cocok sekali. Aneh, seperti langsung klik. Kemudian dari situ, menjadi desainer grafis, perjalanannya geser sana, geser sini. Tetapi hal itu cukup membantu dalam membentuk mental saya ditambah dengan workload bekerja di provider itu sangat dinamis. Tiap detik bisa ganti tarif, tiap detik kuota bisa berubah harganya. Jadi akhirnya saya terbiasa dan mulai dari situ, saya mulai mendapat tawaran dari brand-brand lain menuju level karir yang lebih tinggi.

S

Eksentrik merupakan kesan pertama ketika melihat karya Wangsit. Bagaimana cara Wangsit menanggapinya?

W

Sebenarnya banyak yang bilang bahwa saya nyentrik atau apa, tetapi itu bukan dari diri saya sendiri. Saya juga tidak ingin diberi label “quirky” atau apa. Karena banyak orang yang melabelkan dirinya sendiri “quirky” which is, menurut saya, weird. Dan bahkan saya tidak merasa diri saya aneh. Saya merasa diri saya sangat normal. Dan mungkin karena saya yang seperti ini terjadi di Jakarta saja – saya hanya ada di landscape yang orang-orangnya memiliki label.

Untuk masalah kekaryaan sendiri ketika dibilang eksentrik, yang selalu ingin saya jadikan target utama adalah bagaimana caranya menuangkan hal yang menjadi keresahan saya ke dalam karya saya. Bukan sayanya secara pribadi. Saya ingin dia (menunjuk ke karya tasnya) ini yang menyampaikan suara saya. Saya selalu mentransfer karakter saya ke benda-benda yang saya pilih untuk menjadi karya saya. Saya juga selalu mentransfer soul saya sendiri ke karya saya.

S

Lalu apa yang menjadi muse Wangsit ketika berkarya? Melihat banyaknya boneka dan warna-warna ceria pada karya Wangsit.

W

Dari awal sekali, sebenarnya saya sangat suka dengan kata “kawaii”. Mungkin orang-orang, apalagi kalau pergi ke Jepang, sepertinya akan muak mendengar kata “kawaii”. Tetapi sebenarnya jika ditelaah, dari kanji “ka” – untuk dan “waii” – lebih dicintai, to be loved. Untuk dicintai, untuk diterima, untuk disukai. Sebenarnya itu cara saya mengekspresikan gender saya. Orang-orang yang mungkin seperti saya, yang dulu bingung, ketika Anda laki-laki lalu menjadi feminin sedikit atau perempuan menjadi maskulin sedikit jadi tidak diterima atau dicintai seperti orang lain. Saya ingin mengangkat kata spirit itu untuk orang-orang seperti saya dicintai, diterima dan disayang ibaratnya. Itulah spirit saya, bisa dibilang muse saya juga.

S

Dikenal luas melalui “Puberteen Magic Party” dan “Doki-doki Bedroom”, tema coming-of-age seperti sudah menjadi ciri khas Wangsit. Apa yang mendasari hal tersebut?

W

Memang latar belakangnya masih seputar seks dan gender sih sebetulnya. Kerasahan tentang kedua hal tersebut. Mungkin orang-orang banyak yang berpikir sudah safe dengan orientasi seksualnya. Atau sudah safe dengan gendernya. Tetapi ketika ada orang seperti saya yang selalu mempertanyakan, misalnya “Kenapa saya seperti laki-laki harus suka mobil? Bola? Sedangkan saya sukanya boneka, warna pink?” Itu selalu menjadi pertanyaan yang mendasar dari saya kecil. Ketika saya dirawat di rumah sakit waktu kecil, saya meminta ke ibu saya untuk membelikan piyama berwarna pink. Saya ingat sekali waktu itu ibu saya bertanya, “Kenapa warnanya pink? Kenapa warnanya tidak biru?” Saya mendebati hal-hal seperti itu dari kecil.

Saya selalu mempertanyakan pola pikir orang-orang yang sudah tertanam di sekitar kita. Menurut saya, karena memang semenjak sekolah didikan kita seperti didikte dan tidak mempunyai ruang untuk bertanya. Tidak punya ruang atau kritis tentang hal-hal yang sebenarnya perlu dikritisi. Misalnya dulu waktu saya SD, kita sempat mengalami transisi menulis menggunakan pensil ke ballpoint. Saya sempat bertanya pada ibu saya ketika ibu guru saya bilang “Anak-anak kita sekarang nulisnya pakai ballpoint, ya. Pensilnya tinggalin. Ini namanya ballpoint”. Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri “Hah kenapa saya percaya itu ballpoint? Kenapa namanya tidak @^%#$&#@^?” Saya mempertanyakan hal sekecil itu sejak kecil. Dan ibu saya bilang untuk percaya saja dengan nama ballpoint. Saya tidak puas dengan jawaban ibu saya pada saat itu. Dari situ saya menjadi orang yang suka bertanya-tanya akan hal-hal yang menurut saya, yang mungkin menurut orang-orang tidak perlu dipertanyakan.

Semakin besar, saya mulai mempertanyakan tentang gender. Saya mempunyai banyak teman laki-laki dan perempuan, semuanya kenal dekat. Ketika saya bersama teman-teman laki-laki saya bisa “bersikap” sangat laki-laki. Ketika saya bersama teman-teman perempuan saya bisa mereka ajak bicara apa saja. Dari situ saya mulai bertanya, apakah saya gay? Karena saya tahu bahwa gay itu sebenarnya agak susah didefinisikan sih sebetulnya. Apakah ketika kamu suka boneka, kamu menjadi gay? Tetapi saya tidak nafsu terhadap laki-laki, tetapi perempuan. Jadi hal-hal yang kompleks seperti itu disederhanakan oleh sistem di sekitar kita. Orang selalu menaruh kita dalam kotak. Diberi label, dikategorikan. Ketika saya merasa saya tidak ingin hidup di dalam kotak itu, bisa tidak, sih? Tidak bisa, kamu tetap harus berada di dalam kotak.

Makanya kekaryaan saya, tema besarnya adalah saya mencari kotak saya. “Apakah kotak saya itu gay? Sepertinya bukan. Ya sudah, cari kotak lain”.

S

Kedua karya tersebut memiliki pendekatan yang berbeda; seni pertunjukan dalam video dan instalasi mixed media. Apakah hal tersebut mempengaruhi interpretasi publik terhadap sebuah karya?

W

Banyak distorsi persepsi ke karya itu sendiri sih, menurut saya. Karya saya dapat dibilang, banyak yang merasa bahwa itu Instagrammable, which is, menjadi tempat foto. Saya kalau boleh nangis, saya nangis. Karena saya bukan vendor yang membuat photo booth. Jadi orang-orang tidak menangkap pesan karya saya. Akhirnya orang jadi fokus ke barang-barangnya. Dipegang-pegang, didudukin. Mungkin orang-orang di sini selalu melihat karya seni dalam bentuk lukisan, patung dan ketika kita beri cara lain untuk mengkomunikasikan keresahan dengan bentuk seni yang lain dan mereka belum terbiasa bahwa ini kontemporer, jadi mereka hanya memandang biasa karya itu. Jadi tidak ada diskusi yang mempertanyakan alasan kenapa bahan atau benda ini yang saya pakai, dan lebih fokus dengan tempat saya membeli bahan untuk karya itu. Kalau saya jawab, apakah dia akan beli barang yang sama? Tidak ada bedanya dengan sister-sister di Instagram, dong. Jadi miskonsepsi, sering bahkan selalu terjadi terhadap karya saya, sih. Jadi dangkal ibaratnya.

S

Bagaimana Wangsit memaknai perubahan diri pada setiap perpindahan yang dialami ketika beranjak dewasa?

W

Meninggalkan sesuatu yang sudah dibawa dari saat muda dulu dan nyaman, itu merupakan sebuah langkah untuk menjadi dewasa. Saya pikir begitu. Hanya, apa yang sebenarnya ditinggalkan? Fisiknya, kah? Saya juga masih memikirkannya. Menurut saya, itu masih menjadi pertanyaan saya yang membuat saya putar kepala. Apakah saya harus memendekkan rambut saya? Dulu saya kribo sekali dan akhirnya pendek karena saya merasa saya harus dewasa. Dan nyatanya saya juga tidak merasa se-dewasa yang diharapkan setelah melakukan hal tersebut.

What does it mean to be mature? Saya sebenarnya tidak ingin mengindahkan persepsi society, karena lumayan messed up. Karena kita hidup di society ini, banyak yang bilang “Maaf banget nih, Sit. Lo hidupnya di Indonesia”. Kalau bisa milih mau tinggal di mana, ya terserah saya, sih. Tapi kan tidak seperti itu. Akhirnya harus tetap fine-tuning everything.

Penampilan misalnya, itu sesuatu yang orang lihat. Orang banyak yang mengingatkan bahwa waktu tetap berjalan, mungkin banyak orang yang berpikir bahwa penampilan saya yang seperti ini tidak dianggap pernah kerja kantoran, dan sebagainya. Padahal selama saya hidup, saya berkarir di kantor. Masalah warna, saya tidak pernah merasa nyaman dengan warna-warna yang sederhana. Seperti merasa telanjang ketika memakai warna hitam. Karena kulit saya sudah hitam, pakai hitam lagi, apa yang mau dilihat dari saya?

Perjalanan hidup saya, hampir seluruhnya saya habiskan untuk eksplorasi. Semuanya sudah saya coba satu-satu. Ketika sedang mencari “label”, harus eksplorasi dan merasakannya satu per satu. Tidak bisa langsung mengambil keputusan sendiri karena semuanya harus dipertanggungjawabkan, menurut saya. Sampai detik ini, karena seks dan gender itu sangat fluid, saya tidak mau menutup apapun terkait seks dan gender. Manusia tidak sesederhana itu, lah, intinya.

S

“Doki-doki Bedroom” dianggap sebagai karya Wangsit yang paling ekstra dan ekspresif. Pesan apa yang Wangsit coba sampaikan?

W

Itu merupakan karya yang emosional bagi saya. Karena karya itu merupakan jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan saya selama ini. Tentang pangender. My box is pangender. Orang tanggapannya waktu itu, “Sudahlah, man, tidak usah dibuat-buat terms-terms seperti itu. Tidak usah, lah.” Tetapi menurut saya orang itu perlu terms untuk dia tau, dia itu siapa. Karena gender itu spektrum, tidak black and white. Gender itu gray, gender itu banyak warnanya. Ketika sudah pasti berada di salah satu black atau white, ya tidak apa-apa. Tetapi ketika berada di gray area, seperti ubur-ubur. Mengapung tanpa tahu arah. Nah saya tidak mau seperti itu.

Risetnya panjang dan banyak. Sebenarnya memberi tahu bahwa, ada nih, term pangender di mana itu sangat stretched. Tidak maskulin, tidak feminin namun keduanya. Anda spektrum di antara maskulin dan feminin. I can be masculine if I want to, I can be feminine if I want to. Jadi jangan paksa saya untuk tiba-tiba suka basket. Dan tidak ada pengaruhnya dengan orientasi seksuak. Karena seks dan gender sendiri saja jauh sekali bedanya.

S

Sering kali karya hanya dilihat dari hasil akhir tanpa mengetahui narasi di baliknya. Akibatnya publik sering salah kaprah. Menurut Wangsit, seberapa signifikan sudut pandang seorang seniman di dalam sebuah karyanya?

W

Saya percaya tidak ada seniman yang membuat karya for the sake of dipotret saja. Mereka pasti membuat karya itu karena mereka ingin mengkomunikasikan sesuatu yang orang belum tahu atau hanya ingin mengulang karena ingin mengingatkan kembali. Banyak cara seniman mengekspresikan karyanya. Saya sebenarnya sangat ingin orang mengerti maksud saya apa.

Saya pernah ngobrol dengan Pak FX Harsono ketika ikut Exi(s)t di Dia.lo.gue tahun 2015, karya saya dibilang kitsch sebenarnya. Seni murah. Dalam arti, memakai bahan-bahan yang murah, teknik-teknik sederhana, jadinya timbul bayak miskonsepsi. Seberapa ingin mengkomunikasikan, ingin sekali. Saya tidak ingin sebatas membuat video menyatakan, “Saya pangender”. Orang harus merasakan dulu bagaimana rasanya jadi saya. “Doki-doki Bedroom” itu tujuannya agar orang bisa masuk ke kamar saya – sesuatu yang privat sebetulnya. Sesuatu yang tidak bisa orang lain masuk kalau belum kenal dekat.

Akhirnya saya jadikan kamar saya itu menjadi sebuah galeri. “Lihat, nih. Barang-barang yang saya kumpulkan dari kecil.” Barang-barang ini bias dari semuanya. Mungkin sebagai laki-laki barang-barang ini terlalu feminin. Tetapi itu tidak membuat saya menjadi gay, misalnya. Tetapi ini identitas saya, ini pangender. Gender yang di-stretch. Saya punya banyak boneka, robot-robotan, misalnya. Jadi ketika mengobrol di kamar saya, jadi ingat dan jadi paham. Tidak semua orang ingin ngobrol dengan senimannya. Orang hanya ingin foto dengan karyanya. Ketika pameran “Doki-Doki Bedroom” di sebuah mall di Jakarta, banyak karya yang berantakan. Seperti Sarita Ibnoe dicoret-coret karyanya, karya Ratu Saraswati didudukkin. Sudah ada larangannya, stiker-stiker di mana-mana. Tetapi ya, ya sudah, lah.

S

Berdasarkan ketertarikan Wangsit terhadap kultur Jepang, perbedaan apa yang Wangsit temukan mengenai apresiasi publik di Jepang dan di Indonesia terhadap sebuah karya? Khususnya di ranah revolusi gender?

W

Saya, sih, merasa kalau masalah perbedaan, ketika saya ke Tokyo, tidak butuh seniman untuk membuat karya seni. Pada dasarnya orang-orang di sana memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap sebuah benda dan akhirnya ketika diletakkan di sebuah tempat bisa menjadi karya seni yang tidak disengaja – terletak di sudut-sudut kota – di gang-gangnya, seperti itu. Saya mempelajari itu, sih. Tidak perlu mencukil kayu, atau membuat patung untuk membuat karya seni.

Tetapi saya terinspirasi dari hal-hal sesederhana penjual membuka toko di pagi hari. Peletakannya saja menurut saya sudah menarik sekali. Spontanitas yang tiba-tiba seperti sebuah karya seni. Saya mempelajari spirit itu juga dari Jepang, sebetulnya. Terlepas beberapa kultur kawaii yang saya ambil secara mentah, tetapi sebelum mengambil visual yang seperti itu saya harus tetap mempelajari dulu. Harus sigap dan siap dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa tersebut agar saya bisa menyokong teknik yang saya gunakan.

Kalau perbedaan apresiasi publik di Jepang dan di Indonesia, saya sepertinya tidak berkapasitas untuk menjawabnya karena belum pernah mengalaminya. Tetapi cara saya mengapresiasi karya di sini dan di sana, sama saja.

S

Seperti yang kita tahu, topik tersebut masih menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan di Indonesia. Apa yang membuat Wangsit akhirnya tergerak untuk mengangkat isu tersebut? Respon seperti apa yang Wangsit harapkan?

W

Saya justru ingin orang menjadi resah. Resah akan dirinya sendiri. Saya tidak ingin orang merasa aman dengan dirinya sendiri. Ketika kamu merasa nyaman, bukannya seharusnya kamu mempertanyakannya, ya? Saya ingin meresahkan orang-orang dengan karya saya yang “Doki-Doki Bedroom” tadi, atau dengan menyuarakan si tema gender ini. Kembali lagi, kita belum terlalu mengerti bedanya seks dengan gender itu apa. Coba tanya orang di jalanan. Masih banyak yang belum tahu kalau seks itu kelamin kita sedangkan gender itu peran kita. Jadi ketika saya sedang membuat karya itu, saya terpikir, “Orang awam saja tidak tahu jawabannya. Bagaimana caranya saya menyampaikan hal yang lebih kompleks tentang hal itu?” Tetapi mau tidak mau, menurut saya, pemahaman mereka yang sederhana harus mulai berani dirangsang.

Banyak yang salah mengucap term “pangender” tersebut lalu bertanya tentang artinya. Akhirnya terjadi tukar pikiran tentang gender sendiri, di mana saat pameran “Doki-doki Bedroom” itu, saya bersyukur saya memilih tema yang tabu itu. Ternyata, saya menunjukkannya dengan sangat ringan. Dengan mudah dimengerti. Ada sepasang bapak-ibu, tidak tahu mereka siapa, menyalami saya mengucap terima kasih karena mereka menjadi mengerti dan tidak ingin memaksakan anaknya bermain dengan hal-hal yang identik pada satu gender. Akhirnya ada wacana seperti itu yang mungkin kecil, tetapi buat saya sudah cukup tanpa perlu menjangkau semua orang untuk akhirnya bisa mengerti atau relate ke kehidupan mereka.

Artinya, karya seni saya bisa berpengaruh secara tidak langsung. Saya sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan hal tabu dan sempat takut ketika menjalani proses kurasi. Takut didatangi ormas seperti Natasha Gabriella Tontey, akhirnya malas juga, sih. Ada juga yang nyinyir terhadap karya saya. Tetapi kalau tidak mau membuat diri sendiri mengerti ya, ya sudah. Saya juga tidak akan membuat diri Anda mengerti juga. That’s fine. Dan Tontey bilang untuk bersikap cuek terhadap orang-orang yang seperti itu. Saya tidak butuh semua orang mengerti dan tidak semua orang bisa open-minded terhadap hal-hal yang tabu. Jadi mereka bukan sasaran saya. Sasaran saya lebih ke orang-orang yang memang ingin mengerti.

S

Menurut Wangsit, pemikiran seperti apa yang dibutuhkan di Indonesia agar publik dapat menikmati sebuah karya tanpa prasangka?

W

Pemikiran yang terbuka dan tidak reluctant dengan ideologi-ideologi baru yang ditawarkan. Manusia itu butuh banyak angle untuk berpikir, manusia itu harus membuka cara pikirnya seluas-luasnya, manusia itu butuh bertemu dengan orang-orang baru yang mempunyai pemikiran di luar sistem yang ada. Yah, manusia itu butuh networking lah, kasarnya.

Saya sering mencoba datang ke acara-acara yang tidak ada hubungannya sama kesukaan saya. Saya pernah tiba-tiba menghadiri forum feminis garis keras dan saya laki-laki di sana, rasanya kok mengintimidasi sekali, tapi ya seru juga, saya jadi mengerti pemikiran mereka terhadap laki-laki. Saya pernah tiba-tiba ikut ke acara punk yang drummernya makan melati sebelum dia tampil, saya tidak punya prasangka yang aneh-aneh melihat itu, wong memang itu ternyata kulturnya. Terutama orang Indonesia butuh banyak buku dan artikel-artikel yang thought-provoking sih. Sepertinya orang yang banyak baca auranya positif deh. Sotoy (tertawa).

S

Untuk Wangsit, mungkinkah menciptakan sebuah karya dengan cara alternatif tanpa menggunakan vibrant color?

W

Sangat bisa. Itu yang sedang saya pikirkan, sebenarnya. Saya bukannya lelah atau bagaimana. Tetapi saya merasa, “Udahan dulu kali, yah.” Dan saya yakin di dunia ini banyak alternatif, banyak cara. Mungkin saja nantinya saya akan berkarya dengan dua warna? Merah, biru. Kuning, hitam. Tetapi itu kan lebih pada eksekusinya. Sebelum saya akhirnya memakai yang saya pakai, saya mengeksplorasi batik juga. Menyusuri jalur batik dari Lasem, Yogyakarta dan Cirebon – saya pelajari semua corak-coraknya. Karena mereka berbicara melalui simbol, titik – seru sekali. Ketika saya tahu bahwa batik tekniknya beragam, saya merasa bahwa saya tidak se-crafty itu. Akhirnya saya mengambil hasil riset itu untuk menjadi referensi teknik saya dalam berkarya selanjutnya. Itulah perjalanan saya mencari teknik eksekusi pada karya saya.

S

Apakah ke depannya Wangsit akan terus mengangkat tema utama yang konsisten dalam berkarya?

W

Kalau dibilang konsisten, mungkin umbrella term-nya, ya. Apa yang saya riset belum apa-apanya, sih. Itu sangat-sangatlah kecil. Lewat seminar-seminar tentang gender atau baca-baca artikel gender, man, tema pangender itu sebagian kecil dari itu semua. Untuk orang tahu tentang itu saja sudah bagus dan saya harus feed myself with new information every time. Saya pernah datang ke seminar gender, pembicaranya lulusan S3, di Jepang yang belajar tentang genderless soul. Orang-orang yang mengaku tidak bergender. Nah menurut saya, hal seperti itu lebih kompleks lagi. Dan hal-hal yang lebih tabu seperti itu, penting untuk dikomunikasikan. Semakin ke sini, orang semakin modern dan akan semakin kompleks. Dan seiring kompleksitas itu berkembang, kita juga harus bisa keep up dengan pengetahuan-pengetahuan baru.

Mungkin akan tetap di bawah payung gender issue ini, tetapi mungkin eksekusinya sedang saya eksplorasi sekali. Sekarang sedang ada wacana dengan seorang kurator yang mengkurasi karya saya agar lebih minimalis, mudah dibawa atau lebih yang sifatnya performing arts. Kalau masalah utama, gender memang harus masih dikomunikasikan sekali.

S

Wangsit pernah mengadakan workshop di Edwin’s Gallery. Apa yang Wangsit tekankan pada sesi tersebut? Mengingat seniman tentunya berada di centre spotlight pada saat itu.

W

Sebenarnya waktu itu diundang oleh RURU yang pameran Daisuke untuk membuat workshop, bagaimana caranya karya saya juga tertransfer spiritnya ke orang-orang ini. Waktu itu saya sedang membuat workshop “Kawaii Disaster Bag”, intinya mengubah sesuatu yang sifatnya disaster dan bisa diterima, dicintai. Intinya, menerima disaster lah. Spirit kawaii ini ingin saya angkat agar bisa lebih dimengerti lagi.

Teknisnya mudah, sangat doable. Kitsch lah pokoknya. Waktu itu pesertanya ibu-ibu yang beranak, yang saya rasa lebih skillful dari saya. Saya akhirnya lebih menggali kemampuan mereka membentuk konsep. “Definisikan bencana menurut Anda.” Ada yang menjawab, “Bencana itu ketika anak saya menangis jam 2 pagi.” Jadi definisi bencananya lebih luas lagi. Bukan tentang gender, ternyata bencana versi mereka sendiri. Banyak yang meragukan kemampuan diri mereka dalam membuat karya. Kesadaran-kesadaran seperti itu yang menurut saya lucu. Orang-orang awam ini diajarkan bahwa berkonsep tidak harus yang tinggi-tinggi dan tidak bisa dicapai. Ketika anak-anaknya mengambil mainan ini, mainan itu, menurut ibu-ibunya hal tersebut lah yang merupakan bencana bagi mereka. Mungkin akan saya ulang lagi (tertawa).

S

Sebagai Art Director dan seniman yang menciptakan karya sekaligus, apakah terdapat perbedaan pendekatan gaya di antara keduanya?

W

Menurut saya proses kreatifnya mirip sekali. Hanya berbeda di gelar saja. Dua hal ini hampir sama nilainya. Sebagai seniman saya punya tanggung jawab seperti orang di kantor. Saya tentukan timeline sebagaimana saya punya timeline sebagai Art Director di kantor. Ketika jadi Art Director, idealisme sebagai seniman saya inject ke ranah kerja saya sebagai Art Director.

Ketika misalnya, saya presentasi sebuah campaign dan yang saya buat kebanyakan warnanya sangat bervariasi. Dan diterima. Karena saya menggunakan proses kreatif sebagai seniman, di mana misalkan bagaimana saya mengangkat perubahan tarif tanpa harus menyebut nominal di billboard agar orang mencari sendiri. Nah, itu kan ada banyak cara. Cara yang banyak itu yang saya ambil dari cara saya berkesenian. Tinggal dikawin-kawinkan dan menurut saya cara kerja seperti itu sangat efektif. Banyak seniman-seniman yang tidak disiplin dengan cara mereka menentukan timeline untuk berkarya. Sedangkan kehidupan perkantoran, ada jam masuk kantor, jam meeting – semuanya harus selesai within the timeline.

Perbedaannya, brand-brand yang selama ini hire saya karena tahu karya saya. Jadi mereka tidak mungkin akan hire saya dan menjadikan karya saya hitam dan putih. Saya mau terima karena mereka melihat karya saya dulu.

S

Seberapa penting latar belakang kuliah seni – desain, untuk menjadi seorang Art Director?

W

Menurut saya, Art Director merupakan sebuah jenjang karir. Setelah desainer grafis, Art Director, Creative Director, dan seterusnya. Memang sebatas jenjang karir. Tetapi awalnya mungkin harus memiliki latar belakang desain. Dari fine arts juga bisa, sih, menurut saya.

S

Proyek-proyek apa saja yang sedang Wangsit garap?

W

Saya sedang ingin mengeksplorasi performing arts dan ingin belajar mengolah tubuh. Sekarang saya sedang dalam proses, bersama satu orang ini yang mencoba untuk mengkurasi kekaryaan saya. Fine-tuning, istilahnya. Apa yang harus ditambahkan dan dikurangi. Isu dan angle apa lagi yang bisa saya angkat. Hanya output-nya sebagai apa, saya belum tahu. Tetapi tahun ini, intinya ingin membuat sesuatu sendiri, lah. Lebih ke solo, sepertinya.whiteboardjournal, logo