Hasrat dan Kreasi bersama Intan Paramaditha

Art
18.10.17

Hasrat dan Kreasi bersama Intan Paramaditha

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Intan Paramaditha (I).

by Febrina Anindita

 

F

Kapan pertama kali Anda tertarik dengan fiksi?

I

Sepertinya waktu masih kecil. Jadi saat SD saya diperkenalkan dengan banyak buku, khususnya dongeng. Jadi dulu misalnya dapat juara, saya selalu dibawa ke ke toko buku. Kalau zaman dulu yang banyak adalah Gramedia dan Gunung Agung, lalu beli buku fiksi, karena ibu saya memang suka membaca cerita fiksi. Kami pernah masing-masing baca satu Agatha Christie, baca bersama, lalu nanti didiskusikan. Ibu senang membaca fiksi walaupun keluarga saya sih tidak ada yang seniman, penulis atau akademisi, ibu saya hobi saja. Waktu SD bacanya Agatha Christie, Hans Christian Anderson, lalu Grimm. Waktu lebih kecil, bacanya Majalah Bobo (tertawa).

Pokoknya saya senang dengan dongeng. Jadi memang tumbuh dengan dongeng-dongeng, makanya ketika menulis “Sihir Perempuan”, banyak sekali referensi ke dongeng. Dan “Red Shoes” itu kan sebetulnya cerita Hans Christian Anderson, “The Red Shoes.” Sesudah itu, waktu kelas 4 SD diberi mesin tik, dan dengan mesin tik itu saya membuat cerita. Saat itu belum tahu cerita tentang apa, tapi dari situ jadi ada hubungan antara yang dibaca dengan karya. Tiba-tiba ada anak kecil yang ingin menulis sesuatu.

Baru sekitar kelas 6, di rumah ada komputer IBM (tertawa). Jadi tiap orang tua saya kerja, saya memakai komputer itu pada siang hari untuk bereksperimen dan menulis banyak sekali cerita. Ada yang bentuknya panjang seperti novel dan tidak selesai tentunya (tertawa). Lalu ada juga cerita pendek. Jadi kelas 6 SD itu saya iseng mengirim cerita pendek ke Bobo, lalu diterima. Waktu itu dua kali diterima Majalah Bobo, sepertinya. Kelas 6 diberi honor oleh Bobo. Honornya dikirim ke rumah dengan pos wesel, zaman dulu sekali (tertawa). Akhirnya uangnya dipakai untuk mentraktir keluarga makan siomay (tertawa) dan langsung habis untuk itu.

F

Titik balik apa yang membuat Anda ingin menulis fiksi?

I

Ingin menulis fiksi mungkin karena exposure dari buku-buku yang dibaca sejak kecil itu ya. Tapi meskipun begitu, sebenarnya macam-macam juga cita-citanya. Namanya juga anak kecil. Tapi yang paling kokoh itu memang cita-cita menjadi penulis, dari SD. Walaupun selalu ganti-ganti antara penulis dan fashion designer (tertawa). Kalau astronot sepertinya anak kecil pernah ingin menjadi astronot, tapi itu tidak bertahan lama, hanya beberapa bulan (tertawa).

Jadi cita-cita saya berkisar di antara fashion designer dan penulis. Tapi karena menulis terus sampai dewasa, akhirnya saya tidak terlalu kaget kalau akhirnya menjadi penulis. Karena gagasan menuju kesana telah ada sejak kecil, jadi tidak tahu titik baliknya apa. Mungkin bacaan-bacaan itu titik baliknya. Tapi yang cukup mengagetkan itu akhirnya saya menjadi akademisi. Itu cukup kaget juga dan tidak menyangka bahwa, “Oh seperti itu ya, jadi profesor itu begini, ya,” itu yang mengagetkan. Kalau menulis fiksi dan dibaca orang itu cukup tidak terbayang. Zaman dulu pokoknya menulis, tidak tahu diterbitkan di mana, yang penting menulis. Sebenarnya sudah cita-cita dari zaman dulu. Jadi tidak kaget.

F

Anda mengemban pendidikan S1 di Sastra Inggris UI dan menulis skripsi yang mengupas pengalaman tokoh Prometheus dan ideologi gender dalam novel fiksi gothic “Frankenstein” karya Mary Shelley. Apakah sejak fase itu Anda tertarik dengan sastra gothic dan ideologi gender?

I

Ya, sepertinya sejak menulis fiksi itu, walaupun sebelumnya memang sudah menyukai karya-karya yang ada unsur misteri dan ada juga unsur horor, seperti Edgar Allan Poe. Waktu SMA saya mulai baca O. Henry. Beliau ini sebenarnya bukan penulis horor, tapi dia banyak menulis tentang misteri dan cerita-cerita bikinannya banyak yang disturbing. Setelah itu baru berkenalan dengan Edgar Allan Poe, lalu ada Guy de Maupassant, lalu bertemu Mary Shelley memang saat kuliah.

Oh iya, saya juga membaca “Dracula.” Tapi Mary Shelley waktu itu menarik karena perannya sebagai penulis perempuan, cerita hidupnya juga sangat menarik, karena dia menikah dengan seorang penyair zaman romantik abad 18. Zaman dulu menulis novel itu secondary, maksudnya tidak seperti penulis puisi. Penulis puisi dianggap adiluhung sekali. Suami Mary Shelley ini penyair selebriti pada waktu itu. Dia lebih terkenal, dan Mary Shelley belum membuat apa-apa. Lalu mereka berlomba. Jadi Percy Shelley, Mary Shelley, kemudian ada Lord Byron, penyair selebriti juga, lalu satu lagi terkenal juga, dan semuanya laki-laki dan Mary Shelley sendirian. Mereka berlomba menulis cerita, dan pada akhirnya karyanya Mary yang diterbitkan. Kita tidak tahu bahwa sampai sekarang kalau orang mengenal Shelley itu pasti Mary Shelley, bukan Percy Shelley, dalam imajinasi populer ya. Padahal waktu itu banyak yang menganggap “Oh ini jangan-jangan dibuatin suaminya, nih.”

Jadi menarik sebagai penulis perempuan di zaman itu, saya melihat bahwa lewat unsur horor Mary Shelley menyuarakan kritiknya terhadap ideologi zaman itu, terhadap selain gender, juga filsafat di zaman romantik dan mitos-mitos yang ada. Saya melihatnya sebagai semacam kritik feminis terhadap apa yang berlangsung di zamannya.

F

Perlombaan itu dalam arti yang disengaja atau mereka secara tidak langsung berkompetisi untuk menciptakan cerita?

I

Sebenarnya bentuk lombanya informal. Mereka berlomba untuk membuat cerita yang paling menarik, dan ternyata cerita Mary Shelley lah yang paling menarik, lalu karyanya diterbitkan. Yang menarik adalah posisinya sebagai satu-satunya perempuan di situ. Dan terbayang tidak? Ia melakukan itu di zaman yang patriarkis, Anda istri seorang selebriti, perempuan dianggap lesser degree dari suami Anda.

Selain itu, Mary Shelley juga beberapa kali punya tragedi yang terkait dengan reproduksi. Dia keguguran, anaknya meninggal. Ini sudah banyak dibahas oleh scholar juga. Frankenstein bercerita tentang monster yang diciptakan oleh Dr. Frankenstein, jadi ada semacam penciptaan di situ, dan itu menyuarakan pengalaman motherhood, pengalamannya Mary Shelley. Obsesi menjadi ibu dan menciptakan. Ada yang membaca Frankenstein seperti itu

F

Perspektif perempuan, horor dan dongeng dengan konteks modern menjadi 3 impresi yang menempel pada Anda sebagai penulis. Dalam proses kreatif, apakah Anda sudah terbayang akan menyentuh 3 aspek ini ketika berkarya?

I

Jadi waktu saya mengawali “Sihir Perempuan” sebenarnya buatnya cerpen saja, tapi (cerpen itu) semua sama setelah dilihat-lihat. Semuanya membicarakan tentang perempuan dan semuanya berisi kemarahan, tapi hasilnya cukup subtle, sehingga tidak seperti orang teriak-teriak dan protes kepada dunia. Ini adalah cerita-cerita tentang perempuan yang tidak patuh, disobedient women. Waktu itu saya tidak kepikiran membuat suatu kumpulan dongeng, feminisme, kemudian horor, tapi setelah dilihat-lihat, saat ada tawaran untuk membuat satu kumpulan cerpen, “Kok temanya begini semua ya?”

Akhirnya dimatangkan saja konsepnya menjadi kumpulan cerita tentang perempuan di Indonesia dan semuanya diikat oleh horor. Dongeng pun memang langsung masuk ke situ karena referensi saya suka cerita Grimm dan Anderson, dan saya pikir dongeng-dongeng ini semuanya gelap, dan saya memang sering melakukan pembacaan ulang terhadap mitos dan dongeng. Memang awalnya agak tidak sengaja, jadi setelah melihat ulang, “Kok semuanya mirip ya?”

Kalau perspektif feminis mungkin cukup sadar, karena sepertinya saya merasa bahwa saya seorang feminis itu sudah cukup muda, di awal-awal kuliah. Jadi memang menulis dengan kesadaran itu, tapi alatnya horor. Kemudian aspek dongeng itu sebetulnya tidak terlalu disengaja juga, tapi setelah diperbandingkan, ternyata ada satu yang mengikat, ya sudah, sepertinya feminisme dan horor dinikahkan saja.

F

Jadi bisa dibilang lebih banyak terpengaruh dari apa yang dibaca atau apa yang dikonsumsi oleh Anda?

I

Dan mungkin karena Mary Shelley juga termasuk di situ.

F

Anda pernah menyatakan bahwa, “Membaca dan menulis ulang adalah strategi feminis,” di sebuah jurnal online. Dalam proses kreatif, sejauh mana Anda membebaskan interpretasi saat melakukan kedua hal tersebut guna menciptakan sebuah fiksi?

I

Saya suka sekali dengan dongeng-dongeng ini, Grimm dan yang dongeng gelap seperti itu. Tapi kadang-kadang dongeng-dongeng ini sering ditulis dengan perspektif yang sedikit menyudutkan perempuan, atau perempuan di situ dianggap monster, bahkan korban. Saya suka, tapi saya ingin membuat suatu yang something that I can actually relate more. Misalnya cerita “Calon Arang” yang mengisahkan seorang janda dari Dusun Girah marah karena anaknya tidak mendapat suami, kemudian dia mengamuk dan semua orang dibunuh-bunuhi. Itu kan keren sekali, kalau dibayangkan cerita itu menarik sekali, tapi sayangnya itu ditulis dari sudut pandang yang menyudutkan perempuan.

Jadi saya senang sekali membaca tulisannya Ibu Toeti Heraty. Puisi panjangnya tentang “Calon Arang” dan bagaimana dia menyodorkan perspektif lain dari cerita yang sudah ada. Jadi mungkin saya melihat model-model saya itu kebanyakan memang perempuan yang sudah membaca cerita yang sudah ada, kemudian mereka tulis ulang, misalnya Margaret Atwood. Jadi saya kenalan dengan Margareth Atwood dulu, baru saya kenalan dengan Angela Carter, karena saya sering dimirip-miripkan dengan Angela Carter (tertawa). Margaret Atwood menulis “The Robber Bride,” yaitu intepretasi atas “The Robber Bridegroom”-nya Grimm. Bedanya kalau pada cerita Grimm itu perampoknya laki-laki, kalau di sini perampoknya perempuan. Jadi perempuan yang merampok suami atau pacar dari tiga perempuan yang berbeda. Saya suka sekali saat membacanya di bangku kuliah, dan “Wah, gila, bisa diginiin, ya?” “The Robber Bridegroom”-nya Grimm bisa diinterpretasi sedemikian rupa dan menarik sekali dan sangat feminis.

Mungkin dari model-model yang ada, saya jadi terinspirasi untuk melakukan hal yang serupa. Jadi saya mendekati cerita-cerita yang menarik, kemudian saya memberikan perspektif sendiri. Jadi mungkin dari model-model ini saya berkesimpulan bahwa memang penulis perempuan sering melakukan itu karena mereka tidak puas oleh cerita-cerita yang ada. Cerita yang ada adalah menyudutkan perempuan atau menjadikan mereka korban, “Kalau gue nggak puas dengan apa yang ada, gue nulis aja dengan perspektif yang gue mau.”

F

Film juga menjadi gudang referensi Anda dan ini terbukti dengan jenjang pendidikan yang Anda ambil untuk Ph.D, yakni Cinema Studies di New York University (NYU) dengan disertasi tentang sinema, politik seksualitas dan aktivisme pada era pasca-Reformasi. Apa hal yang mengganggu benak Anda sehingga ingin membedah tema ini secara mendalam untuk disertasi?

I

Ini jalur yang lain lagi. Saya dapat beasiswa Fulbright tahun 2005, kemudian saya masuk Sastra Inggris. Lalu, saya tertarik dengan kelas-kelas sinema. Saya suka sekali sejarah film, lalu menonton film-film klasik, dan saya tertarik dengan film Indonesia pada waktu itu, karena menurut saya there’s so much going on. Banyak hal yang bisa ditangkap dari film Indonesia dan bagaimana dari film kita bisa bicara tentang banyak hal, tentang generasi baru. Waktu itu generasi baru sedang meledak sekali. Generasinya Riri Riza, Mira Lesmana, Nan Achnas, kemudian setelah itu ada Nia Dinata.

Jadi saya pikir kalau misalnya ada kesempatan sekolah lagi, saya mau ambil film studies. Akhirnya saya melamar ke NYU, sebenarnya saya melamar ke beberapa tempat tapi yang menerima hanya NYU (tertawa). NYU akhirnya memberikan beasiswa selama program Ph.D saya. Saya ingin menulis tentang Indonesia, kemudian saya menulis tentang film, karena waktu itu saya sudah menerbitkan “Sihir Perempuan” dan saya tidak ingin menulis tentang sastra meskipun latar belakang saya sastra, karena agak awkward saja, saya sebagai penulis lalu menulis tentang sastra. I don’t know if I can be objective, mungkin ada orang lain yang bisa.

Jadi saya merasa saya ingin menulis tentang film Indonesia dan saya suka sejarah film. Akhirnya di NYU bekerja dengan professor-profesor yang sangat mendukung dan memang disertasi itu jatuhnya lebih ke etnografi media Jadi saya bukan menelaah film sebagai teks, tapi lebih melihat cultural producers, melihat orang-orangnya. Awalnya saya ingin membahas film Indonesia saja, kan, orang bisa membahas film dari segi shot-by-shot analysis, dari segi yang sangat formal, “Ini scene-nya begini, kemudian editing-nya begini.”

Ternyata saya lebih tertarik untuk melihat apa yang direpresentasikan oleh generasi ini? Dan hubungannya apa? Bagaimana dari generasi mereka, kita bisa berbicara tentang situasi pasca-Reformasi, tentang Indonesia setelah 1998, karena mereka munculnya setelah reformasi kan? Dan ya sudah larinya ke situ dan fokusnya adalah sexual politics dalam arti bagaimana seksualitas itu menjadi semacam jangkar bagi ekspresi politik generasi ini.

Jadi ini memang agak ribet (tertawa), tapi sexual politics itu adalah satu cara untuk mengartikulasikan proses politik tertentu. Seperti sekarang ini, orang-orang kelompok konservatif ingin menguatkan jaringan, dan ekspresinya biasanya sexualizing, misalnya, “Ayo kita serbu penyanyi-penyanyi dangdut,” atau, “Ayo kita serbu Inul.” Jadi seksualitas itu digunakan untuk claiming atau articulating particular political position.

Saya tertarik bagaimana, apalagi setelah 1998 ya, seksualitas itu sangat sentral dalam bagaimana kita mengartikulasikan diri sebagai warga negara. Ada Undang Undang Pornografi, ada sensor film, dan sensor film selalu menyensor terkait seksualitas, dan saya melihat bagaimana seksualitas itu jadi sangat sentral, itu kan dari awal 2000-an. Sekarang masih begitu-begitu saja, dan tambah buruk mungkin, dengan diskriminasi kelompok LGBT. Jadi memang seksualitas masih jadi alat yang sangat penting dalam artikulasi politik. Nah, yang saya tertarik adalah generasi ini – Mira, Riri, dan juga yang lebih muda sedikit, Ifa Isfansyah – Sebenarnya bagaimana posisi mereka di sini? How do they engage with the issues of sexuality? What is their sexual politics?

Kasus-kasus yang saya lihat, misalnya keterlibatan beberapa filmmaker dan beberapa film organizers dalam Undang Undang Pornografi misalnya. Bagaimana mereka terlibat pada aktivisme? Kemudian juga sensor film, judicial review untuk Undang Undang Film 2008 dan yang sebelumnya Undang Undang Film 1994. Lalu ketika FPI menyerbu Q! Film Festival 2010, apa yang bisa kita lihat dari situ? Saya melihat sexual politics of this generation and what it can tell us about the practice of citizenship, kira-kira begitu.

F

Bicara seksualitas, memang jelas dengan adanya batasan dari publik maupun pemerintah Indonesia terhadap hal berbau seksual, sebenarnya mengindikasikan bahwa kita terobsesi dengan seksualitas. Menurut Anda, sebesar apa peran seks sebagai perangkat ideologi dalam politik sosial?

I

Jadi seksualitas sekarang menjadi sangat penting sebagai artikulasi politik, sebagai alat konsolidasi kuasa, dan yang lebih besar lagi, alat untuk membayangkan Indonesia setelah 1998. Ada semacam pertentangan tentang bagaimana Indonesia ini dibayangkan. Buat orang-orang seperti saya atau seperti Ayu Utami, kemudian sutradara-sutradara perempuan seperti Nan Achnas atau Nia Dinata, 1998 langsung terhubung dengan integration of gender and sexuality. Semua konstruksi Orde Baru kami pertanyakan, seperti misalnya “Ibu.” “Ibu” itu, kan, sangat penting dalam ideologi Orde Baru. “Ibu” adalah kebalikan dari GERWANI. “Ibu” adalah yang di rumah, yang mengayomi keluarga. GERWANI atau political women, adalah perempuan-perempuan yang berpolitik, karena itu mereka didemonisasi.

Ketika 1998 itu, kami membayangkan Indonesia yang lebih kritis, Indonesia yang lebih merayakan iklim yang lebih terbuka tentang banyak hal, termasuk di dalamnya identitas gender, seksualitas dan misalnya ras atau etnis, atau afiliasi politik. We think about more freedom to talk about, lets say, Chineseness atau isu 1965. Kita membayangkan semuanya adalah tentang kebebasan berekspresi, tapi buat kelompok yang lain tidak seperti itu. Nah, seksualitas itu penting untuk menjadi semacam rambu-rambu, “Ini Indonesia yang kita mau nih, yang begini.” Seperti moral, “Oh, Indonesia yang kita mau itu bukan yang kayak Inul, Indonesia yang kita mau adalah perempuan-perempuan yang bermoral.” Kelompok ini menentukan bayangan mereka tentang kebangsaan itu juga dari seksualitas. “Indonesia yang kita mau itu bukan yang banyak gay dan lesbian. Gay itu Barat, itu bukan Indonesia.”

Jadi semacam krisis diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Itu juga menurut saya kegelisahan atas gagasan tentang Indonesia, karena buat kelompok LGBT, karena kita terpengaruh dengan jargon reformasi, demokrasi dan kebebasan berekspresi, kita menganggap Indonesia itu beragam. We celebrate diversity, sexual diversity, gay and lesbian, LGBT communities, we are all Indonesia. Tapi tunggu dulu, buat kelompok yang lain, “No, that’s not Indonesia.”

F

Fiksi yang menyegarkan adalah fiksi yang mampu menstimulus imajinasi dan hasrat pembacanya. Pada “Goyang Penasaran,” Anda mampu membuat pembaca mengira seperti apa sosok perempuan yang Anda tulis – Salimah – dalam wujud nyata. Terkait hal tersebut, menurut Anda sebesar apa peran eksplorasi hasrat atau seks terhadap tension dalam fiksi?

I

Saya menulis “Goyang Penasaran” itu tahun 2008 sebagai bagian dari proyek “Kumpulan Budak Setan” bersama Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad. Kami semua adalah penggemar Abdullah Harahap, jadi kami ingin membuat buku kumpulan cerita horor yang meredefinisi, atau mereka ulang dan membaca ulang karya Abdullah Harahap. Hasilnya adalah satu orang itu membuat 4 cerpen, nah, salah satunya adalah “Goyang Penasaran.”

Kebetulan saat saya menulis “Goyang Penasaran” itu banyak sekali yang terjadi di tahun 2008. Saya menulis agak di penghujung tahun. Salah satunya adalah Undang Undang Pornografi disahkan, dan ini terkait dengan riset saya juga. Sebelumnya di bulan April kalau tidak salah, judicial review Undang Undang Film itu hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Pemerintah membuat Undang Undang Film baru tapi sensor masih dirasa perlu oleh pemerintah, dan menurut saya ini sangat inventorizing masyarakat, sepertinya masyarakat tidak bisa berpikir kritis sendiri, maka harus disensor.

Karena tahun 2008 cukup gelap dan sangat konservatif, akhirnya memutuskan untuk menulis “Goyang Penasaran”, dan ini terinspirasi oleh kasus Inul Daratista dengan Rhoma Irama. Saya menulis tentang penyanyi dangdut yang diusir oleh kampungnya karena tekanan dari massa yang didorong oleh sosok Pak Haji. Saya waktu itu sudah melihat bahwa this is really about religious conservatism, dan bahwa isu seksualitas itu sangat terkait dengan konservatisme agama.

Saya menulis cerpen ini dan saya merasa, “Kenapa kita tidak membicarakan agama?” Kita sebagai jaringan orang-orang, cultural actors, yang bisa dikatakan sekuler, memang kita agak telat untuk merespon bahwa conservatism is really hapening, dan saat saya menulis, itu yang saya pertanyakan, kenapa kita tidak membahas bagaimana sebenarnya penguatan agama konservatif ini sangat cenderung meletakkan perempuan sebagai penjahatnya. Merespon hubungan antara seksualitas, agama dan politik adalah alasan mengapa saya menulis “Goyang Penasaran.”

Kemudian itu dipentaskan, yang menginisiasi sebetulnya Naomi Srikandi, sutradaranya, kemudian dengan Teater Garasi, dan saya terlibat sebagai penulis naskah. Saya juga terlibat untuk memproduseri karya itu ketika dia dipentaskan di Komunitas Salihara. Jadi itu proses kolektif, pada akhirnya Salimah diperankan oleh laki laki, itu keputusan kolektif. Jadi ini tidak bisa dibilang gagasannya Intan atau Naomi, tapi sesuatu yang muncul dari banyak orang termasuk Agung Kurniawan waktu itu yang mengerjakan panggungnya.

Awalnya kami pikir, “Gimana kalau Salimah-nya jangan perempuan?” Tapi lama-lama obrolannya jadi serius karena ini soal penyanyi dangdut yang menjadi objek tatapan laki-laki. Lalu kalau di cerita, di teks, kita bisa membayangkan betapa seksinya si Salimah ini, lalu kalau kemudian secara fisiknya terwujud, kompleksitasnya apa ya? Apakah kita ikut menjadikan aktor itu objek, karena aktornya itu pasti seksi seperti Elvy Sukaesih, ini jadul sekali, tapi bisa dibayangkan seperti itu. Ya sudah, kalau begitu kami bereksperimen dengan aktornya laki-laki. Tapi eksperimen itu banyak sekali hasilnya. Ada yang merasa bahwa mereka tidak bisa berkenaan dengan tragedi yang dialami si Salimah karena mereka merasa ada jarak, karena Salimah-nya tidak otentik. Jadi ini juga perdebatan lain yang menarik.

F

Karena fiksi itu menjadi menarik ketika ada yang menstimulus imajinasi kita, seperti yang dilakukan Salimah ini, peran eksplorasi hasrat atau seks terhadap tension dalam fiksi itu seberapa besar? Apakah fiksi itu harus selalu tentang menstimulus imajinasi atau ada hal lain yang menjadi faktor sebuah fiksi?

I

Ya, tidak tahu ya. (tertawa)

F

Apakah Anda setuju kalau fiksi yang menyegarkan adalah fiksi yang mampu menstimulus imajinasi dan hasrat pembacanya?

I

Memangnya ada fiksi yang tidak menstimulus imajinasi? (Tertawa)

F

Berarti penulis yang mengeksplorasi hasrat memiliki peran yang cukup penting, bukan?

I

Kalau saya sendiri melihat bahwa hasrat ini adalah satu sumber cerita yang bisa digali dan dibicarakan dari berbagai macam sudut pandang. Jadi hasrat bukan hanya; katakanlah, yang romantis, hasrat heterosexual couple, misalnya laki-laki dan perempuan pacaran, bukan cuma itu, tapi juga ada hasrat lain yang barangkali gelap dan barangkali kita tidak terlalu tahu sebetulnya itu apa. Seperti Salimah yang berhasrat pada mata si Haji Ahmad, tapi hasrat itu adalah sesuatu yang menunjukkan trauma di masa lalu. Jadi ini adalah percampuran antara hal-hal yang bisa dikatakan perlawanan, resistensi dan hal-hal yang tidak dijelaskan juga.

Jadi kalau menurut saya, definitely it’s important to talk about desire but there’s a question of why talking about desire. If you write to talk about hasrat heteroseksual laki-laki perempuan and then thats it, and how do they end up? In a marriage. Seperti Cinderella, kan, hasrat untuk memiliki heterosexual partner, what’s the point? Cinderella adalah tentang hasrat ingin social mobility, ingin hidup yang lebih baik, ingin partner, and then she gets everything, but what’s the point of talking desire that way?

Kan banyak novel-novel yang disebut sastra motivasi tentang pergi ke luar negeri, kemudian yang tadinya di Indonesia hidup susah, tapi kemudian di luar negeri jadi sukses, ini semua mengenai hasrat ke luar negeri dan sukses, and then if it’s only success story, then, what’s the point? Apa sumbangan untuk orang untuk kritis? Oke, kita menunjukkan bahwa hasrat dan mimpi itu sesuatu yang bisa terwujud, maka dengan kerja keras semuanya akan terwujud, what’s the point?

Jadi sepertinya hasrat tentu saja, menurut saya seluruh fiksi, kebanyakan fiksi menceritakan tentang hasrat. Hasrat ingin kaya, ingin punya pacar, but it’s really about what you do, what kind of narrative that frames this desire, if it’s simply about normative celebration of normal family, education atau relationship, ya, menurut saya tidak seru.

F

Batasan terhadap hal tabu yang tercipta di Indonesia justru mendorong banyak orang; terutama perempuan setelah Reformasi, berani untuk mengeksplorasi topik tersebut lewat karya seni, salah satunya dengan menyelipkan cuplikan atau adegan seksual di fiksi. Menurut Anda, belasan tahun setelah Reformasi muncul dan konteks cerita yang muncul berkembang, apakah hal ini menjadi overused?

I

Oh ya, mungkin ini masih terkait dengan pertanyaan sebelumnya. Ya, saya sih merasa oke-oke saja menampilkan seks di dalam fiksi. Waktu itu jadi lebih penting karena, misalnya zamannya Ayu Utami, saya melihatnya seperti sexual revolution tahun 60-an, ketika perempuan berbicara tentang seksualitas dan hasrat sebagai cara untuk mengkritik sistem patriarki di tahun 60-an, it’s part of that sexual revolution landscape. Pada tahun 1998, hal itu terjadi dengan Ayu Utami, kemudian diikuti dengan beberapa penulis lain. Saya merasa secara politik itu ada nilainya, jadi kita tidak bisa dismiss bahwa it’s all about redundant, it has some value, dan saya merasa bahwa jika Ayu Utami sudah melakukan, ya sudah, dong? Berarti orang-orang sudah cukup kritis tentang seks dan tidak menganggap bahwa itu sesuatu yang tabu, so I’ll write something else.

Lalu saya jadi kaget juga, sekarang ini tiba-tiba orang membicarakan tentang keperawanan, tiba-tiba membicarakan menikah muda, we’re going more and more conservative. Dan ketika ada, katakanlah, video Kartika Jahja, “Tubuhku Otoritasku,” itu saya merasa oke, mungkin ini yang memang kita butuhkan di zaman sekarang. Kalau misalnya sekarang ada orang yang mengeksplorasi seksualitas, it is kind of redundant, tapi mungkin memang zamannya memaksa kita untuk kembali ke moda 1998, dan ini regresif, “Sekarang mesti jadi Ayu Utami lagi, nih? I thought we had that? Can we just move on?” Dan ternyata kita belum bisa move on, we are regressing sebenarnya.

Kalau misalnya sekarang ada yang mengeksplorasi hasrat, saya tidak terlalu mengikuti, tapi saya tahu ada feminis-feminis muda yang membicarakan seks dan seksualitas secara sangat eksplisit, well it’s kind of, saya tidak membutuhkan itu, tapi barangkali banyak yang membutuhkan itu, karena kita sangat regresif.

F

Anda akan merilis novel baru “Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu” di Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017. Hadir dengan format petualangan, perpektif perempuan seperti apa yang ingin Anda berikan lewat karya terbaru ini?

I

“Gentayangan” sangat berbeda sebetulnya dari “Sihir Perempuan,” dia bukan adik dari “Sihir Perempuan,” dia berangkat dari pemikiran yang berbeda. Ini adalah refleksi tentang bagaimana kita menjadi manusia yang berjalan atau terus diputar di era saat ini ketika batas-batas negara semakin luntur, bisa dibilang subjek global. Jadi sekarang kan banyak sekali, kalau zaman saya tahun 90-an, mau ke Singapura mesti jadi orang kaya dulu, sekarang tinggal naik Air Asia mudah. Lalu dulu pemerintah Indonesia tidak mengirim orang ke luar negeri, Anda tidak bisa ke luar negeri kecuali mendapat Ford Foundation, atau Fulbright, atau apa. Tapi sekarang APDB sudah memberangkatkan berapa manusia, kan?

Kita belum bicara tentang pergerakan yang lain, misalnya diaspora Indonesia di luar negeri yang banyak ilegal, itu banyak sekali dan kita tidak membicarakan mereka, para imigran ilegal. Lalu ada juga refugee. Jadi manusia semakin bergerak, semakin mengalir, pergerakan manusia melintasi batas negara itu semakin dimungkinkan saat ini. Lalu, apa artinya menjadi subjek bergerak? Jadi ini adalah tentang pergerakan, tentang perjalanan, tentang subjek yang berputar di era yang global. Jadi pemikirannya tentang itu.

Kemudian pertanyaan berikutnya adalah, “Apa artinya menjadi perempuan yang berjalan?” Karena dari sejarahnya, perempuan yang berjalan itu punya pengalaman yang berbeda dengan laki-laki. Katakanlah di Eropa abad 19, perempuan yang ada di jalan itu dianggap bukan perempuan baik-baik. Sementara Charles Baudelaire dalam puisi-puisinya selalu menyebut flaneur, si pejalan yang melihat Paris. Dia mengobservasi kota dengan kritis, dia mengeksplorasi kota, tapi flaneur ini laki laki, sementara kalau kamu ingin melihat-lihat Paris, dan pada saat itu ada semacam boulevard tapi ada tempat yang kumuh juga. Kalau kamu di ruang publik, kan kamu harus bersama muhrim, harus ada teman. Kalau tidak, barangkali kamu dianggap pelacur. Jadi ruang gerak perempuan ketika mereka bergerak itu tidak sama dengan laki-laki. Jadi itu lapisan lain dari cerita tentang travel ini.

So what does it mean for women to travel? Dan tagline dari buku ini adalah “Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan,” dan saya selalu ingin mereklaim kata “bandel.” Buat saya “bandel” itu bukan perempuan yang menunjukkan gestur, katakanlah, dia bertato, merokok, atau melakukan hal-hal yang secara konvensional bandel, tapi perempuan yang benar-benar melewati batas. Buat saya mereka adalah perempuan yang bandel, dan saya merasa, well, if heaven is already claim that good girls go to heaven, dan surga itu sudah jadi klaim para konservatif, ya sudah kita pilih jalur lain saja, yuk. Kita tidak usah masuk surga, kita gentayangan saja. (tertawa).

F

Melihat adanya festival internasional yang mengangkat sastra hingga film di Indonesia seperti UWRF, dialog seperti apa yang Anda harap bisa didapat dari inisiatif ini?

I

Festival seharusnya menjadi ajang pertukaran yang membuat kita keluar dari asumsi dan stereotipe. Jadi kalau misalnya meminjam dari tema UWRF, “Origins,” “Apa, sih, ‘Origins’ itu?” Jadi kalau kita masih mengasosiasikan, “Oh, penulis Indonesia itu adalah yang menulis tentang masalah-masalah di negerinya, kemudian yang menulis masalah-masalah membumi.” Boleh tidak penulis Indonesia membicarakan tentang Mesir, atau Amerika? Boleh, dong? Because they have been writing about us since forever.

Jadi saya berharap ini keluar dari asumsi-asumsi yang membatasi imajinasi kita tentang negara tertentu. Seperti misalnya kita ingin melihat Australia, kita ingin melihat lebih banyak suara Aboriginal indigenous writers, dari Amerika kita ingin melihat suara-suara yang membicarakan lebih banyak hal dan tidak dibatasi oleh imajinasi eksotis tertentu.

F

Project apa yang sedang Anda persiapkan saat ini?

I

“Gentayangan” ini memakan waktu 9 tahun untuk ditulis, tapi di tengah-tengah ada macam-macam. Ada disertasi; disertasi is another thing and another animal (tertawa). Ada teater “Goyang Penasaran.” Ada “Kumpulan Budak Setan.” Jadi di tengahnya banyak, tapi sebenarnya “Gentayangan” dimulai tahun 2008, kemudian baru selesai tahun ini, 2017. Jadi untuk fiksi itu dulu. Saya belum punya rencana lain untuk fiksi, tapi saya punya PR menjadikan disertasi saya buku, itu PR yang tertunda. Jadi sepertinya habis ini kembali dulu menjadi akademisi.whiteboardjournal, logo