Mengabadikan Budaya bersama Rahung Nasution

Human Interest
14.06.17

Mengabadikan Budaya bersama Rahung Nasution

Amelia Vindy (V) berbincang dengan Rahung Nasution (R).

by Febrina Anindita

 

V

Rahung dikenal berkat keseriusannya dalam mendokumentasikan budaya Indonesia. Apa yang membuat Rahung mulai bergerak dan melakukan pendokumentasian ini?

R

Pada awalnya saya melakukan hanya karena suka saja, bukan tertarik atau ingin serius mendalaminya. Kebetulan saya dari dulu memang suka jalan-jalan, dari kecil pun mimpi saya adalah untuk bisa jalan-jalan. Saya belajar memasak secara otodidak atau organik dari ibu saya dulu, setelah puluhan tahun, saya baru menyadari bahwa makanan atau ilmu seperti yang dimiliki oleh ibu saya itu berserakan, ada di rumah-rumah dan kampung-kampung lainnya. Sembari saya jalan-jalan, alangkah baiknya kalau hal-hal tersebut ikut saya pelajari dan didokumentasikan. Jadi, ya kalau dibilang serius dari awal tidak juga, karena memang diawali dengan kesenangan memasak dan membuat saya berpikir bahwa hal ini penting. Mau bagaimanapun, makanan adalah produk budaya dimana kita bisa melihat, selain keberagaman dan bahan masakannya, bahwa ada juga cerita di baliknya. Bukan hanya bagaimana makanan itu diproduksi, dari pola bercocok tanam dan pasarnya, tapi juga berhubungan dengan budaya masyarakat setempat. Kembali lagi ke kalau bicara soal budaya, dimana peran makanan dalam masyarakat tradisional selalu hadir sebagai bentuk sebuah perayaan. Perayaan dalam artian, contohnya di Sumatera kita melakukan Kenduri, di situlah kita bisa melihat beragamannya masakan Minang, Horja dalam tradisi Batak, Megibung atau Begibung dalam tradisi Bali dan Lombok.

Intinya makanan itu merupakan bagian dari budaya, corak produksi masyarakat. Melalui makanan, kita juga bisa melihat sejauh mana masyarakat itu dipengaruhi oleh akulturasi kebudayaan yang lain. Satu contoh misalnya, di Indonesia ada banyak jenis soto. Seperti kita tahu soto bukanlah sesuatu yang otentik dari Indonesia tetapi merupakan suatu perbauran budaya, di mana terjadi akulturasi dengan masakan peranakan. Ketika orang Tionghoa mulai eksis di Nusantara, makanan kita di pesisir Sumatera, Kalimantan, atau di Jawa pun kemudian mendapat pengaruh yang cukup besar dari Tionghoa, sehingga munculah soto. Demikian juga dengan makanan Sumatera yang penuh dengan bumbu dan rempah-rempah, dari situ kita bisa melihat bahwa makanan Sumatera dipengaruhi oleh budaya masak orang Arab, Persia bahkan India. Sepiring kari itu kaya akan aroma dari ketiga negara tadi, juga banyaknya bumbu rempah-rempah yang kita pakai sebenarnya pun awalnya tidak ada di negeri ini, misalnya jinten, ketumbar dan kapulaga. Di zaman kejayaan perdagangan rempah-rempah, negeri ini hanya dikenal dengan 2 rempah utama, yaitu pala dan cengkeh.

V

Rahung menggunakan traveling sebagai cara untuk mengumpulkan segala info, mulai dari footage sampai makanan. Seberapa penting peran traveling bagi Rahung?

R

Ada banyak cara untuk mengumpulkan informasi, salah satunya dengan membaca. Tetapi kalau hanya membaca ilmu pengetahuan yang kita dapatkan bukan dari pengalaman langsung, seperti saat kita melakukan perjalanan atau berinteraksi dengan masyarakat setempat. Saya pikir traveling adalah cara yang praktis, selain kita jadi bisa mengenal tempatnya, kita juga bisa belajar tentang manusianya secara langsung. Juga, melalui traveling, selain menambah wawasan seperti ketika membaca buku, seakan memberikan roh pada informasi yang kita dapatkan itu.

Misalnya seperti makanan, bagaimana kita bisa membayangkan masakan Minang, Toraja, Menado, atau Batak kalau kita tidak pernah tau bagaimana cita rasa awalnya? Bisa saja kita merasakannya di rumah makan Sederhana atau Lapo di Jakarta, tapi tentu akan lebih afdol jika kita mengetahui cita rasa masakan-masakan tersebut dari tanahnya masing-masing. Karena di sanalah, orang-orang masih menganggap bahwa memasak merupakan bagian dari tradisi yang dilakukan sehari-hari.

Berbeda dengan Jakarta, makanan yang kita cicipi di sini sudah semata-mata dibuat karena bisnis, kita tidak bisa mengakses dapurnya. Kalau di kampung-kampung, singgah di rumah tetua atau teman-teman, kita bisa mengaksesnya. Saya yakin kalau di kampung-kampung pun belum ada standarisasi. Setiap rumah memiliki resep dan keahlian memasak sendiri yang tidak bisa kita standarisasi seperti rumah makan Padang di Jakarta. Kalau kita pergi ke Minang, jangankan dari satu negeri ke negeri lain, rendang saja dari rumah ke rumah jenisnya bisa beragam dan unik. Kekayaan itu yang hanya bisa didapatkan lewat traveling. Tidak cukup hanya mencicipinya lewat rumah makan.

V

Lewat traveling pula, Rahung mencari rempah dan bicara soal realitas sosial masyarakat yang direpresi. Mengapa hal tersebut yang menjadi fokus Anda?

R

Mungkin ini akan sedikit terdengar beromantisme dengan sejarah. Namun bagaimana pun, tanpa adanya perdagangan rempah-rempah di abad yang lampau dan menandai sejarah modern dunia, mungkin kita sebagai bangsa tidak eksis.

Jika pada masa lampau, saudagar Arab, Cina, Gujarat atau Persia tidak datang ke Nusantara karena rempah-rempah, kekayaan makanan kita tidak akan seperti hari ini. Jadi saya pikir, rempah itu satu titik awal dimana kita bertemu dengan banyak akulturasi kebudayaan, juga tragedi-tragedi kemanusiaan dalam sejarah Nusantara. Dalam artian, lewat rempah-rempah juga terjadi kolonisasi terhadap tanah-tanah jajahan. Kita bisa melihat bagaimana dulu Columbus bermimpi tentang India, tetapi malah tersesat ke Bahama, dia pikir Amerika Selatan yang kita kenal sekarang sebagai tanah India. Awalnya tujuan dia hanya ingin menemukan darimana asal cengkeh dan pala itu datang, yang ketika itu jalur perdagangannya dikuasai oleh para pedagang Arab, Persia, India, Cina dan lainnya. Itulah sebenarnya jalur yang ingin ia dicapai.

Rempah juga juga yang menginspirasi orang-orang sebelum dan setelahnya atau “para penakluk-penakluk” seperti Marco Polo dan Vasco da Gama yang sampai keperairan Nusantara dan dari situlah kemudian juga sejarah panjang kolonisasi di Indonesia, dimana VOC kemudian menjadi rezim yang sangat berkuasa ketika mereka berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah setelah merebutnya dari Inggris, Portugis dan Spanyol. Dan kalau kita bicara soal keunikan makanan kita, sebenarnya ada yang unik selain rempah-rempah dan cerita tadi. Secara general bumbu masakan kita sebenarnya semua sama, baik dari Sumatera, Jawa sampai ke Kalimantan, yang terkenal ya bumbu standar, yaitu bumbu kuning, merah atau putih. Tetapi yang unik adalah ada juga makanan-makanan tertentu yang tidak menggunakan rempah-rempah seperti yang dipakai di satu daerah lainnya. Misalnya masakan Batak, mereka punya rempah andaliman yang tidak dipakai jadi bumbu masakan daerah lainnya.

V

Lewat pencarian rempah tersebut, Rahung dikenal dengan passionnya. Apakah rasa hidangan dari tiap pelosok Indonesia mampu memperkenalkan budaya kita kepada rakyat maupun wisatawan?

R

Masalahnya kalau saya pikir bukan mampu atau tidak, tapi berhasil tidak kita mengkapitalisasi kekayaan yang luar biasa ini sebagai ilmu pengetahuan dan menjadi milik kita bersama? Kalau kita bicara soal masakan Indonesia, saya sepakat dengan Om William Wongso (pakar kuliner Indonesia), sulit mengkategorisasi apakah ada makanan Indonesia. Kalau ada, artinya harus bisa diterima oleh lidah siapapun khususnya orang Indonesia. Menurut saya yang bisa mewakili itu hanya ada 2 atau 3.

Pertama masakan Minang (yang secara salah kaprah kaprah kita sebut masakan Padang) Kedua adalah masakan warteg. Dan ketiga Indomie, itulah makanan Indonesia. Kalau saya bicara soal masakan Batak, apakah orang Jawa, Menado atau Lombok mengenali itu? Begitu pula dengan makanan Manado, Lombok atau Bali, apakah orang Batak mengenali dan akrab dengan lidah mereka? Namanya saja tidak tahu, bagaimana saya bisa mengatakan bahwa masakan Bali adalah masakan Indonesia?

Kalau kita melihat makanan Barat, cukup jelas. Italia misalnya, dia punya makanan dari Tengah, Utara dan Selatan. Begitu juga Perancis atau Spanyol makanan Catalonia, Andalusia, Mediterania dan saya yakin lidah orang Spanyol akrab dengan makanan-makan dari daerah tersebut. Kalau kita, contohnya, Sie Reuboh kalau yang bukan orang Aceh, mungkin akan bingung ini jenis masakan apa? Atau kalau saya bilang Naniura, Natinombur tidak akan ada yang tahu selain orang Batak. Jadi bagaimana bisa kita bilang, makanan-makanan tersebut merupakan makanan Indonesia, sementara kita sendiri sebagai masyarakat tidak tahu. Jadi masih banyak sekali PR kita sebelum menanyakan “mampu atau tidak”, bisa atau tidaknya dulu kita mengkapitalisasi masakan tersebut menjadi makanan Indonesia. Karena faktanya, tidak ada makanan Indonesia, kalau pun ada tadi adalah masakan Minang, warteg dan Indomie, karena makanan tersebut nyaris ada di semua daerah dan orang-orang juga bisa menerimanya.

V

Awal tahun lalu Rahung merilis sebuah film dokumenter berjudul “Pulau Buru Tanah Air Beta.” Mengapa di antara banyak pulau di Indonesia, Anda memilih untuk mengangkat Pulau Buru?

R

Sebenarnya saya tidak secara khusus mengangkat Pulau Buru ya, saya bertutur tentang pulau ini karena memang ada tema penting di sini selain pulaunya yang menarik untuk dibahas, yaitu terjadinya peristiwa yang luar biasa dalam sejarah kita dulu, tragedi kemanusiaan. Peristiwa 65, itulah persekusi paling biadab yang pernah terjadi di negeri ini. Penghakiman, teror, brutalisme, ketika orang-orang yang dituduh secara politik berafiliasi dengan partai komunis Indonesia, atau memang simpatisan lalu menjadi korban kemanusiaan tanpa proses pengadilan. Pulau Buru menjadi salah satu kamp. konsentrasi di mana 12.000 lebih tahanan politik dibawa ke sana di antara tahun ‘67-’69. Tempat itu menjadi penting untuk diangkat karena sudah menjadi monumen anti kemanusiaan, karena tragedi politik tadi.

V

Film tersebut pada akhirnya dicekal pemutaran perdananya oleh ormas dan aparat. Pada akhirnya, Indonesia seakan mencoret Pulau Buru dari bagian Indonesia. Tapi apakah memungkinkan suatu saat Pulau Buru mampu menjadi tujuan wisata sejarah menarik?

R

Kalau kita berani dan jujur terhadap sejarah kita, dan melakukan satu proses rekonsiliasi yang entah bagaimana bentuknya, saya pikir tempat itu harus menjadi seperti yang saya sebutkan tadi menjadi monumen anti kemanusiaan. Artinya, kita bisa memulai suatu proses pembelajaran yang baru agar tragedi semacam itu jangan terulang kembali, bukan berarti melupakan peristiwa itu dan dengan serta-merta kita menutupi aib kita. Justru dengan berbesar hati kita harus membuka aib kita agar kita bisa melakukan penerimaan, itu tantangan kita ke depan. Itu menjadi tanggung jawab siapapun.

Saya dan teman-teman berkomitmen saat mengerjakan dokumenter ini, karena bagaimana pun kita yang hidup hari ini punya hutang pada generasi sebelumnya. Saya mencoba melunasi hutang itu dengan hal-hal kecil seperti ini. Mencoba mengingatkan generasi saya bahwa peristiwa ini tidak seharusnya dilupakan tapi adalah satu cara untuk membuka jalan baru agar kita tidak mengikuti jalan yang penuh dengan tumpah darah, sangat menakutkan. Di saat kita berbeda ideologi politik, harus saling membunuh. Tidak akan ada masa depan di dalam politik yang seperti itu.

Seharusnya kita mulai membuka diri, terutama anak-anak muda, bahwa ada orang yang dicap dalam sejarah ini dengan tinta hitam dengan tanpa proses pengadilan politik dan hukum yang adil, orang-orang ini dijebloskan ke dalam penjara dan “dosa orang tua” mereka ditanggung oleh anak cucunya padahal tidak ada sangkut pautnya. Sembari berdoa semoga saja tidak terulang lagi tragedi seperti itu.

Kalau soal menjadi tempat wisata, agak ironi sebenarnya ya. Tapi di sisi lain, bisa saja karena kita lihat dengan konteks seperti genosida yang terjadi di Jerman, bagaimana partai Nazi kalah kemudian di sana ada banyak monumen-monumen peristiwa. Monumen tersebut sengaja dibuat agar orang-orang punya ingatan, dalam artian “Ini lho, harusnya masa lalu seperti ini tidak akan terulang lagi”. Orang-orang bisa berkunjung ke sana, memberikan bunga sebagai simbolis, melihat dan juga belajar dan menjadikannya sebagai wisata sejarah, penting itu.

V

Bicara pangan yang juga jadi fokus Rahung, Anda pernah menekankan mindset sebagai alasan kenapa kuliner Indonesia tidak mendunia dan mengapa belum banyak rakyat Indonesia yang mengenal atau mulai mengolah sagu sebagai pengganti nasi. Apa hal yang menjadi rintangan dibalik pencapaian mindset ideal ini?

R

32 tahun kita berada dalam rezim yang sangat diktator dengan konsep-konsep pembangunan yang pondasinya sangat salah kaprah. Kalau kita melihat sektor pertanian, pertanyaannya mengapa kita bergantung dengan beras? Saya tidak anti beras ya, karena saya juga makan beras, orang tua saya pun bersawah. Tapi program Repelita yang dicanangkan Orde Baru dengan konsep swasembada pangan dalam artian beras, hal tersebut berdampak luar biasa terhadap model pertanian kita. Dampaknya adalah, di daerah yang banyak memiliki sumber-sumber pangan selain beras, katakanlah di Indonesia Timur, di mana ada banyak jenis umbi-umbian yang jumlahnya lebih dari seratus, juga sagu, potensi-potensi ini tidak gali.

Kita kemudian menganggap yang tidak makan beras, tidak modern atau ketinggalan zaman. Kalau kita cek tahun 80-an misalnya, jika ada kasus-kasus kelaparan, agak konyol ketika begitu banyak sumber-sumber pangan lainnya. Seandainya beras menjadi sebagai satu jawaban mutlak untuk persoalan krisis pangan di negeri ini, yang harus kita siapkan adalah infrastrukturnya. Selama 32 tahun, yang terjadi adalah begitu banyak sumber-sumber sungai untuk irigasi, tetapi kita tidak melihat perkembangannya secara signifikan kan? Konon di zaman Orde Baru yang namanya swasembada pangan beras itu hanya bagaikan “pepesan kosong”.

Buktinya banyak terjadi di daerah Jawa misalnya kita lihat daerah sekitar Kerawang dan Solo tempat-tempat lumbung beras, yang terjadi justru alih fungsi lahan kok. Coba tengok kawasan Bekasi, Tambun isinya pabrik semua. Jadi kalau ditekankan pada sektor beras pun, seharusnya ahli fungsi lahan tidak terjadi, justru malah harusnya ada perluasan. Tapi faktanya yang terjadi akibat kecerobohan seperti itu, hari ini kita tergantung dengan beras, beras kita datangkan dari Vietnam dan Thailand.

Persoalan yang kedua, sumber-sumber pangan lainnya yang berpotensi ini tidak digali sehingga tertanamlah mindset orang Indonesia bahwa beras itu adalah segalanya. Fakta lainnya, seperti sagu misalnya merupakan salah satu jenis karbohidrat yang paling bagus di negeri ini tidak banyak dikembangkan, kemudian ada sukun yang juga dianggap murahan. Jika kita bicara soal karbohidrat, sagu dan sukun jauh lebih baik dari pada beras karena rendah gula. Potensi-potensi inilah yang seharusnya kita pikirkan, agak miris juga jika rezim yang sekarang kita anggap membawa harapan malah meniru pola-pola Orde Baru lagi.

Jadi rintangannya kembali pada kebijakan negara, karena akan berususan dengan pola tanam, irigasi, subsidi benih dan penyediaan lahan. Kalau bicara soal inisiatif saya bisa saja berkebun sendiri, tapi dampaknya hanya bisa dirasakan oleh saya sendiri, sedangkan sekarang permasalahannya ada di setiap lapisan masyarakat. Kebijakan pertaniannya inilah yang menurut saya harus ditinjau kembali. Yang paling fatal adalah kita selalu merasa bahwa Indonesia adalah negeri maritim, coba deh kalian bikin survei berapa persen kah masyarakat Indonesia yang berani berenang di laut? Bahkan mereka saja takut dengan matahari karena takut hitam kulitnya. Bagaimana bisa kita sebut Indonesia negeri maritim? Kita ini adalah negara kepulauan yang tidak hidup dengan budaya maritim. Coba pergi ke pulau-pulau, hanya orang pesisir saja yang memanfaatkan laut, itu pun secara tragis, ketika ikan-ikan kita sudah dicuri orang semua, di mana nelayan-nelayan kita? Mereka kalah dengan industri-industri penangkapan ikan yang dikuasai oleh konglomerat dari Jakarta juga kapal-kapal asing dari Thailand, Taiwan dan Filipina. Jadi, kita menyia-nyiakan potensi ini.

V

Apa upaya riil yang bisa kita lakukan untuk mencapai pola pikir yang ideal tersebut?

R

Saya rasa agak berat jika saya membahas soal solusi. Sebagai individidu, kembali pada kesadaran masing-masing sebenarnya. Intinya adalah, kembali pada kebijakan-kebijakan dan regulasi yang berhubungan dengan pertanian, kelautan, taman nasional, hak fungsi dan guna lahan, karena ini seharusnya semuanya saling terintegerasi. Maaf saja, saya ingin mengatakan bahwa kita punya negara sekaya ini, mulai dari budaya, keragaman hayati, tradisi hingga suku bangsa, malah terlihat seakan masyarakat adatlah yang bersedekah kepada Indonesia. Di mana kemudian setelah bersedekah masyarakat adat justru disingkirkan oleh negara.

Kemudian lihatlah, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, berapa ratus ribu hektar lahan hutan hujan sebagai paru-paru dunia yang dialihfungsikan untuk perkebunan kelapa sawit dan usaha milik tambang asing. Masyarakat adat yang sub sukunya ada ratusan, kehilangan semuanya, ya tanahnya, rumahnya, hutannya, supermarketnya, juga kehilangan kepercayaan leluhurnya dan bahasanya. Mereka sudah bersedekah dengan ikhlas, tetapi malah kita rampas semua tanpa sisa. Itulah yang harus dicarikan solusi. Karena negeri ini urusannya adalah soal distribusi lahan, pengetahuan dan akses kepada hidup yang layak. Tiga hal ini seharusnya menjadi acuan kebijakan dan regulasi. Jadi, jika saya ditanyakan soal solusi, saya harus bilang bahwa ini harus kita pikirkan bersama, saya tidak punya solusi, saya lebih banyak miris.

V

Jika dikaitkan dengan travel, mengapa mindset rakyat Indonesia tentang travel masih sekadar berlibur dan mengeksplorasi tempat eksotis?

R

Ini adalah dampak dari globalisasi. Semakin banyak uang dan akses, dibarengi juga dengan keinginan untuk mencari kenikmatan. Bagi saya hal seperti itu turisme, beda artiannya dengan pelancong atau perantau. Sebenarnya kalau kita melihat dari beberapa budaya di Indonesia, seperti Minang, Batak dan Bugis mereka adalah perantau. Pergi ke tempat-tempat yang jauh, mulai bergabung, menyatu dan tinggal dengan tempat yang baru, itulah para pelancong. Tapi kalau kita bicara soal turisme, sangat jauh berbeda, mereka hanya mencari kenikmatan dan sering kali tidak peduli dengan konteks sosialnya, jadi itu merupakan 2 hal yang berbeda.

Tapi tidak bisa disalahkan juga para turis ini, karena bisa saja itu merupakan awal lebih tertarik dengan budayanya, makanannya, atau orang-orangnya. Konon tempat yang sangat indah seperti Raja Ampat, banyak persoalan yang sebenarnya bisa kita lihat kalau mau melihatnya dengan mata yang lebih polos dan nurani yang lebih terbuka. Karena, kita bisa melihat persoalan orang Papua di sana, dimana di tempat mereka sendiri, mereka justru dikucilkan, resort-resort yang ada juga tidak ditujukan untuk pelancong seperti saya, tapi buat wisatawan-wisatawan yang mempunyai materi lebih. Kalau saya punya kesempatan untuk mengunjungi Raja Ampat, saya inginnya pergi ke tempat-tempat seperti kampung-kampung – karena dengan modal yang cekak juga.

Keinginan untuk mendapatkan kenikmatan di tempat-tempat baru juga seharusnya dibarengi dengan keingintahuan kita terhadap budaya dan persoalan yang ada di sana. Itulah yang saya lihat sebagai perbedaan antara orang yang hanya mencari kenikmatan seperti turis tadi dan traveler sebgai pelancong.

V

Lewat traveling, sesungguhnya kita dapat menemukan kekayaan sumber daya – alam maupun manusia. Namun mindset publik dalam maupun luar negeri masih terbatas pada konsumerisme yang pada akhirnya justru mengeksploitasi sumber daya. Menurut Rahung apakah Indonesia bisa menerapkan sustainable travel?

R

Kalau dimulai dengan skala kecil sebenarnya bisa saja, seperti melalui komunitas. Tapi kalau tidak ada insiatif dari para pembuat kebijakan akan susah. Kalau Bali dijadikan pilot project untuk seluruh daerah wisata, katakanlah Kementerian Pariwisata hari ini mencanangkan 10 daerah tujuan wisata tahun ini, dan Bali adalah modelnya? Bali memang bisa memberikan kenikmatan dan kepuasan bagi turis-turis yang datang, tapi coba lihat lagi, orang Bali mulai krisis air sekarang, ada isu reklamasi yang sangat luar biasa responnya. Dulu saat Bali baru menjadi tempat wisata mungkin isu reklamasi tidak jadi persoalan, tapi hari ini sudah kelihatan dampaknya kenapa hingga ada gerakan tolak reklamasi, misalnya.

Kalau kita melihat sawah-sawah di Ubud, agak tragis sekarang ini, karena sudah banyak yang menjadi vila-vila, di mana kadang orang di tengah sawah hanya menjadi tontonan, agar sawahnya tetap hijau dan memanjakan mata para turis, itu pun sudah bukan miliki orang Bali lagi. Misalnya kita ke Ubud untuk melakukan pemetaan tanah-tanah di sana, apakah itu mau diterapkan di tempat lain? Masalahnya saya sudah bilang tadi, itu semua tergantung kebijakan pariwisatanya lagi. Kalau dalam skala komunitas mungkin, mereka bisa mengorganisir diri untuk mencari bentuk-bentuk alternatif, dimana wisata bisa terus berkelanjutan, banyak yang bisa dieksplorasi.

Itulah kenapa kita mesti melibatkan komunitas. Kalau komunitas tidak dilibatkan, kasusnya akan seperti Bali, Anda blok satu pantai yang sangat indah, kemudian dirikan resort, orang-orang jualan atau bahkan orang yang ingin nongkrong saja sudah tidak bisa lagi. Seharusnya pantai-pantai yang indah itu adalah akses publik, bukan milik pribadi. Nah kalau Bali adalah contohnya, tidak akan bisa, malah akan berantakan jadinya. Tapi kalau coba dicari bentuk-bentuk alternatif, wisata komunitas atau melibatkan komunitas dengan kebijakan yang sangat sustainable, dimana kita tidak hanya sekadar menerima masuknya kapital, tapi juga melibatkan masyarakat untuk bisa juga tawar-menawar.

V

Upaya apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk mempraktekkan sustainable travel?

R

Kalau bicara orang Indonesia, berarti bukan hanya saya dan Anda. Intinya kita berharap ada manusia yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ini, punya nurani dan melihat persoalan yang terjadi. Kalau saya bilang, 600 manusia duduk di parlemen tetapi tidak tahu persoalan apapun yang terjadi di daerah, misalnya mereka anggap bahwa pabrik semen itu bagus buat Kendeng, atau danau Toba itu butuh kasino, yang terjadi seperti itu tidak akan terjadi, sustainable itu tidak ada. Karena mindset kita, ketika kita melihat laut dan darat adalah potensi alam untuk eksploitasi. Kalau konsepnya sudah seperti itu sama saja seperti menghancurkan, bagaimana bisa bilang kalau itu sustainable? Kembali ke cara pikirnya aja dulu, mau tidak melihat laut dan darat harus sustainable, artinya kita harus bisa hidup dari situ dan berkelanjutan.

Yang kita perluas adalah kebijakan untuk menjadikan lautan perkebunan sawit di Sumatra dan Kalimantan. Apakah saya makan sawit? Kalau malah diberikan izin untuk para kapal-kapal asing menangkap ikan dengan pukat-pukat harimau, mereka merajalela mencuri atau bahkan sampai ada yang bekerja sama dengan mereka, bagaimana bisa kita menyalahkan nelayan-nelayan kecil di pesisir pantai ketika mereka membom terumbu karang? Ketika terumbu karang habis, laut tidak akan sustainable lagi, begitu juga ikan. Sepuluh tahun yang lalu, orang pergi ke laut setengah hari berlayar bawa tangkapan banyak, sekarang 3 hari pergi tetap susah mendapatkan hasil tangkapannya, sudah dihabisi oleh pukat harimau. Jadi ini semua kembali ke mindset-nya saja, apakah laut dan darat itu untuk dieksploitasi? Kalau tetap begitu kebijakannya, sustainable tidak akan pernah terjadi, hanya akan jadi utopia saja.

V

Apa proyek yang sedang Rahung kerjakan?

R

Saya masih masak-memasak bersama teman-teman, karena memang itu yang saya sukai. Tapi kalau pekerjaan yang sedang saya lakukan sekarang adalah mempersiapkan satu dokumenter tentang Dayak Iban yang saya namai Meganthropus Paleojavanicus (Iban Last Shaman). Kenapa saya sebut proyek ini demikian? Paleojavanicus itu adalah manusia purba dari Jawa. Dahulu kepulauan Nusantara yang lebih dikenal Kepulauan Sunda, tapi kemudian semua konsentrasi kekuasaan, politik dan budaya dilihat dari cara pandang orang Jawa. Nah, ini dimulai ketika para ilmuwan menemukan fosil manusia purba di sekitar Trinil dan Solo. Transformasi-transformasi sosial yang terjadi di kepulauan Nusantara pada zaman kolonial, kekuasaan terpusat di Jawa. Setelah kita merdeka, kita meniru hal yang sama. Kita melihat dan mendikte semuanya dari kacamata kekuasaan yang berpusat di Jawa. Di luar cara tersebut adalah peradaban primitif.

Hari ini sering kali kita beranggapan Dayak, Orang Rimba (Suku Anak Dalam) sebagai kaum terbelakang. Padahal di masa lampau tanah Dayak merupakan pusat kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Jadi Dayak itu tidak serta-merta seperti yang kita pikirkan, bahwa mereka adalah suku bangsa yang terisolasi, tapi mereka punya sumber pengetahuan, pola hidup, cara pandang, bahkan agama leluhur, tapi potensi dan fakta ini justru kita abaikan, bahkan direpresi. Kemudian Dayak kita anggap ketinggalan zaman, terbelakang dan tanahnya kita rampas. Intinya proyek di Kalimantan ini, saya namai dengan Meganthropus Paleojavanicus, ini adalah dokumenter tentang kehidupan para ketua adat terakhir. Saya sebut terakhir dalam artian saya yakin, setelah tetua adat ini tiada dalam 10 atau 20 tahun ke depan Dayak sebagai sebuah peradaban, perlahan-lahan akan mengalami kepunahan. Orang-orang tua yang saya ikuti ini adalah orang-orang terakhir yang masih menerapkan keyakinan leluhurnya sebagai agama dan sebagai tata kelola masyarakatnya untuk hutan mereka yang tersisa di antara ratusan hektar lahan sawit, mereka menjadi oase kecil di tengah lautan perkebunan sawit.

Proyek selanjutnya adalah kolaborasi dengan Goethe-Institute dan Hamburg Film School German, kita 5 orang filmmaker dari Indonesia sedang mengerjakan satu dokumenter pendek tentang 5 desa di Jerman dan 5 filmmaker dari Jerman juga telah membuat dokumenter dari 5 desa di 5 pulau Indonesia.whiteboardjournal, logo