Ismael Basbeth Berbicara Peran Film Dalam Konteks Sosial

Film
14.03.18

Ismael Basbeth Berbicara Peran Film Dalam Konteks Sosial

Soni Triantoro (S) berbincang dengan Ismail Basbeth (I).

by Ghina Sabrina

 

S

Bagaimana awal ketertarikan Anda pada wilayah sinema?

M

Saya jaga rental DVD, main musik, ngeband sama teman-teman SMA saya. Lalu waktu saya pindah ke Yogya dan salah satu teman SMA saya sudah sekolah duluan di Ilmu Komunikasi – pacarnya punya rental DVD bajakan dan aktivis komunitas. Sambil ngeband, saya jaga rental DVD itu dari 2004 sampai 2006. Selama saya jaga rental, datanglah tamu-tamu dia sesama aktivis, salah satunya Faozan Rizal yang sekarang ternyata direktur fotografi besar. Ada juga Lulu Ratna, aktivis film pendek.

Waktu tahun 2005 terjadi gempa di Yogya saat Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) digelar pertama kalinya oleh Garin Nugroho, Budi Irawanto dan Ifa Isfansyah. Ketika saya mengurus program JAFF, di situlah saya bertemu dan dikenali dengan Ifa Isfansyah. Walau waktu itu bayarannya sedikit, tapi saya dibebaskan untuk menonton film dan menggunakan komputer. Karena saya mahasiswa baru dan tidak ada duit maupun komputer, lewat JAFF saya jadi bisa numpang mengerjakan tugas di sana (tertawa).

S

Apakah pengaryaan film pendek memang jalur yang ideal bagi seorang sineas sebelum menggarap film panjang?

M

Pertanyaan itu sulit dijawab. Karena dalam kacamata industri, industri film itu memang dihitung dari industri film panjang. Tapi bukan berarti film pendek melulu dijadikan lompatan menuju film panjang, banyak juga kawan-kawan saya di industri film internasional yang sampai sekarang memang bikin film pendek saja. Mereka memang tidak tertarik membuat film panjang. Artinya kemudian pada perkembangannya secara ilmu, film pendek itu film pendek, film panjang itu film panjang. Jadi tidak bisa film pendek di panjang-panjangin, film panjang di pendek-pendekin. Logikanya berbeda, cara menulisnya beda. Di kasus saya, waktu saya belajar film, saya bukan belajar film panjang, saya belajar membuat film pendek. Tapi saya menonton film panjang. Aneh kan? Karena kenyataannya banyak orang seperti itu.

Baru sejak saya aktif di JAFF, saya terkoneksi dengan sekian banyak komunitas film di Yogya, maupun di Indonesia. Baru saya sadar bahwa, “Oh film pendek ini punya dunianya sendiri, film panjang punya dunianya sendiri, begitu juga film dokumenter.” Baru kemudian saya belajar secara menyeluruh, apalagi waktu itu saya punya tanggungan sebagai orang program, saya harus tahu logika semua jenis film, harus tahu arti semuanya, harus belajar semuanya. Itu terpakai sampai sekarang. Jadi di kasus saya, justru belajar filmmaking dan programming. Baru setelah aktif di JAFF selama 2 tahun, saya memutuskan untuk jadi pembuat film di mana pada tahun 2008, saya membuat film pendek pertama.

Sepanjang 2004-2008 saya membuat karya-karya video, tapi lebih karya video art, bukan film. Kenapa? Karena saya main sama videografer, Ipung. Ipung dekat dengan anak-anak MES 56 saya jadi kenal Wimo Ambala Bayang yang memang berkutat pada video art, bukan film. Ya saya mengikuti mereka, namanya juga belajar. Saya dekat sama Elida Tamalagi dan diajarin kalau di dalam film, hal sejenis itu disebutnya film eksperimental, tapi kalau di seni rupa disebutnya video art. Tapi ini sebenarnya barang yang sama. Makanya film saya cenderung eksperimental karena saya ‘nyebrang’nya begitu.

Jadi saya melihat sekitar saja,dan saya tidak ragu untuk meniru. Ya namanya orang belajar. Makanya saya anggap, fase 2004-2008, itu fase saya kelas 0. Saya belajar film dari sekeliling saya saja, saya tidak benar-benar membuat film karena saya sutradara (tertawa). Lalu mulai 2008-2013, saya menganggap fase itu sebagai S1 filmmaking. Saya mencoba mencari, menelusuri berbagai macam bentuk film melalui film pendek. Makanya film saya beda-beda semua sampai 2013, film terakhir saya “400 Words” dan “Setan Siang Bolong” di mana saya mencoba berbagai macam pola eksperimen dan eksplorasi.

Lalu sekolah S2 saya membuat “Another Trip to the Moon”, “Mencari Hilal”, dan “Talak 3” dan “Mobil Bekas dan Kisah Kisah dalam Putaran” itu film kelulusan saya. Makanya ngawur (tertawa). Tidak boleh ada script, dan sebagainya. Semua saya langgar di “Mobil Bekas dan Kisah Kisah dalam Putaran”. Kalau “Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat” itu film profesional pertama, makanya saya hire semua teman-teman yang selama ini bekerja bareng tapi saya mengontaknya dengan menanyakan, “Kamu mau dibayar berapa?”

Lalu PT-nya pun sudah jadi, namanya Matta Cinema, PT kami sendiri. Kalau di wilayah pengetahuan, kami punya yayasan namanya Bosan Berisik Lab. Film “Mobil Bekas dan Kisah Kisah dalam Putaran”, Another Trip to the Moon” yang sifatnya bersinggungan dengan karya seni lain selain seni film itu masuknya Bosan Berisik Lab. Tapi yang benar-benar film itu masuknya Matta Cinema, berbasis penonton, berbasis market, atau berbasis cerita. Buat saya, perjalanan saya sekarang itu baru dimulai, bukan kemarin, sekarang mulainya. Setelah “Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat”, baru the real deal dijalankan.

S

Dari beberapa pengalaman menggarap sejumlah film arthouse, seberapa jauh Anda mempertimbangkan penyampaian pesan maupun kesan pada penonton?

M

Yang penting buat saya, film “Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat” itu punya tujuan. Tujuan kenapa dibuat, tujuan sendiri, tujuan kelompok dan tujuan film itu sendiri. Misalnya tujuan ceritanya. Menuntut apa sih ceritanya? Atau mau penonton menyadari apa? Di setiap film itu saya punya tujuan sendiri. Tujuan saya pribadi itu sekolah. Tapi di dalam filmnya itu sendiri dia kan punya tujuan-tujuan sendiri. Kalau buat saya, semuanya diukur. Itu kenapa buat kami penting bagi film untuk didistribusikan sesuai filmnya.

Misalnya “Another Trip to the Moon”, “Mobil Bekas” sampai sekarang itu tidak masuk bioskop. Orang merasa saya itu tidak mau memasukkan film ke bioskop, padahal buat saya film yang harus masuk bioskop itu memang film yang seharusnya ada di bioskop. Karena bioskop Indonesia itu kan penontonnya remaja, elitis dan tidak ramah terhadap temuan-temuan baru. Sementara ruang alternatif kita adanya di kafe, dan sebagainya. Kalau saya membuat film alternatif, terus saya putar di bioskop, kira-kira penontonnya akan jutaan tidak? Kan tidak mungkin. Itu namanya saya bertarung di kandang yang salah. Jadi saya mencoba memahami setelah filmnya jadi, atau sebelumnya. Memahami film ini butuh ditempatkan di mana, etalasenya – ya kita carikan etalase yang sesuai. Sesederhana itu.

Maka untuk menjawab pertanyaan Anda, apakah kesan atau pesan ke penonton dipikirkan, ya pasti, wong kami tahu dari awal kok. Paling tidak, kalau tidak berbasis data, berbasis pengalaman atau asumsi sementara. Pasti kami sebagai pembuat film punya asumsi sementara. Meskipun kenyataannya kadang asumsi kami dengan faktanya bisa jadi berbeda. Itu yang kami jadikan pengalaman.

S

Seberapa jauh sineas memiliki ruang untuk mengontrol resepsi penonton terhadap karyanya?

M

Kalau sineas itu luas sekali ya. Agak susah itu pertanyaannya, karena memang di satu sisi saya percaya, ketika film jadi dan dilepas ke publik, dia itu milik publik. Saya sudah tidak boleh mengontrol. Karena apa yang dilihat publik, apa yang diresapi, apa yang dipelajari dari film itu bisa jadi sama sekali kebalikannya dari maksud kami – dan itu sah. Jadi setelah sampai ke persoalan etalase tadi, saya letakkan di etalase yang tepat, terus ada respon publik. Responnya apapun, saya terima, saya tidak akan kontrol, karena tugas kami itu bukan menyampaikan pesan maupun gagasan, melainkan memberikan pengalaman yang lain.

Pembuat film itu kan menciptakan pengalaman sinematik. Di dalamnya ada cerita, pesan, dan banyak sekali elemen, bahkan termasuk produk-produk jualan. Tidak apa-apa, tapi pengalaman sinematik itu sendiri itu utuh dan itu milik kita semua. Dan buat saya, itu yang lebih penting daripada tersampaikan atau tidaknya sebuah pesan, paham atau tidaknya penonton terhadap gagasan kami. Buat saya kemudian, cara paling gampang mengukurnya ketika saya merilis sebuah film, dibicarakan atau tidak. Kalau film saya tidak dibicarakan berarti dia tidak menyentuh apapun di luar sana.

Selama dia dibicarakan, mau buruk, mau baik, mau ada orang yang marah, mau ada yang memuji-muji – itu urusan mereka. Urusan saya adalah meletakkan suatu produk pengetahuan, dari saya, dari kelompok, yang punya resonansi. Resonansi ini dilihat dari respon orang-orang itu membicarakan atau tidak. Kalau tidak ada yang membicarakan berarti senimannya gagal, berarti mungkin tidak memakai hati atau tidak memakai otak. Lalu dia membuat film buat siapa? Kalau untuk dirinya sendiri jangan dilepas ke publik.

Selama kami memikirkan ke mana etalase filmnya, selama ruangnya kami pikirkan, misalnya karya-karya film saya seperti “Another Trip to the Moon”, “Mobil Bekas dan Kisah Kisah dalam Putaran”, saya tahu filmnya susah untuk jualan, karena memang filmnya bukan buat itu. Pertama, jangankan di Indonesia, di dunia saja, film eksperimental ruang jalannya itu sedikit. Kedua, saya bukan siapa-siapa. Anda bisa bilang sekarang seolah-olah saya seseorang sosok penting di Indonesia. Pada waktu saya memulai ini, saya itu bukan siapa-siapa. Anda tidak mungkin mengajak saya ngobrol, zaman saya dulu memulainya, tapi kemudian saya bisa masuk ke festival internasional dan mendapat perhatian publik. Memang prosesnya kadang lama, tapi itu harus dijalani supaya ketika kita memulai film baru lagi, akan ada pergerakan maju. Sabar saja.

S

Anda beberapa kali sempat mengatakan bahwa beberapa film digarap tanpa naskah sebelumnya. Bagaimana prosesnya?

M

Sejak memutuskan untuk jadi sutradara, saya harus mengakui diri sendiri karena sebelum diakui orang lain, harus mengakui diri sendiri. Saya tahu kalau saya mengaku sebagai sutradara, yang diperlukan selain saya mengakui sutradara adalah karya itu sendiri. Dari sebuah karya satu menuju karya yang lain, saya akan belajar caranya untuk menjadi semakin baik. Sampai selesainya film “Talak 3”, saya itu sekolah S1, S2 film, selesai film tersebut, saya saya menulis beberapa film naratif. Enaknya ujian tulisan, itu kan tidak harus syuting, yang penting kan ada tulisannya saja.

Kemudian sekolah dan ujian sebagai sutradara selesai, saya menguji diri sebagai penulis dan selesai dalam 6 bulan. Saya menguji diri sebagai produser dengan memproduksi karya-karya yang ceritanya dari sekitar saya saja. Karena film yang berbasis isu, seperti isu tahun 1965 dan 1998 itu sudah banyak yang memikirkannya, tapi yang saat ini justru menurun.

Ujian producing kan harus mengurus orang lain, tidak hanya saya sendiri. Akhirnya saya ajak Suryo Wiyogo, Eden Junjung, dan saya mengajak diri saya sendiri. Tiga film ini judulnya “Joko”, “Happy Family”, dan “Mobil Bekas dan Kisah Kisah dalam Putaran” dan ketiga film ini diproduksi oleh tim yang berbeda, desain produksi beda, desain cerita beda hingga sumber uang beda. Kalau Anda mau ujian sebagai produser, caranya filmnya harus jadi harus punya impact, padahal beda semua.

Tadinya saya juga mau membuat film pendek. Tapi pas saya mengerjakan “Mobil Bekas dan Kisah Kisah dalam Putaran”, saya merasa kalau sutradaranya tidak ada orang lain, berarti harus saya. Wah bisa panjang. Lalu saya bilang ke teman-teman, ‘Dulu waktu saya mau membuat “Another Trip to the Moon” itu tidak boleh ada script<?em> – sekarang kalian memaksa saya membuat script’. Terus saya dulu mau membuat omnibus, gagal terus menerus. Saya coba sekarang. Saya menyelesaikan hutang saya sendiri sama masa lalu saya.

Saya membuat “Mobil Bekas dan Kisah Kisah dalam Putaran” dengan tidak ada persiapan, tidak ada uang, tidak ada ceritanya, tidak ada waktu untuk mengerjakan. Bagaimana caranya semua mitos dalam industri itu saya lakukan untuk mengecek di dalam tubuh saya itu ada sinema atau belum. Makanya kami sebut ini film kelulusan. Setelah seluruh ujian ini selesai, ketika Anda merayakan kelulusan, Anda ingin bersenang- senang kan? Saya sudah tidak mau membuat aturan untuk diri saya sendiri lagi karena saya terlalu serius orangnya. Dan saya sudah selesai semua ujian ini, saya mau pesta.

S

Anda pernah membuat film berorientasi jumlah penonton, film yang komunikatif soal isu, dan film arthouse. Apakah sineas perlu melewati tiga fase itu untuk menemukan perspektif lebih baik dalam berkarya?

M

Tidak perlu. Di kasus saya, nomor satu itu ilmunya bukan filmnya. Kalau saya perlu, orang lain mungkin tidak perlu. Saya tidak bisa berpihak pada satu ideologi atau sikap, kalau saya belum melihat semuanya. Buat saya, ilmu film itu sama seperti memilih baju. Saya mau membuat film untuk siapa? Untuk saya, kelompok saya, untuk kepentingan siapa, itu harus jelas dari awal. Jika jelas, selayaknya orang yang belajar film dari awal, meskipun tidak melalui jalur akademis, kita akan beneran belajar, seperti saya yang belajar S1 atau S2.

Kalau Anda sudah S2 di film, dan waktu disuruh membedakan film arthouse sama komersil tidak tahu, itu gimana? Itu namanya selfish bastard (tertawa). Kalau belajar film di sekolah kan dipelajari semua, di mata pengetahuan sah-sah aja Anda ingin membuat film komersil atau film arthouse. Yang jadi masalah adalah ketika Anda membuat arthouse, lalu merasa bahwa arthouse adalah segalanya. Itu namanya radikal. Memaksakan kehendak itu tidak baik. Kalau seniman modalnya dituntun pakai hati bekerja pakai otak.

S

Jika dilihat linimasanya, maka Anda menempuh tiga fase itu tidak secara linear, melainkan bergantian (termasuk dari film panjang komersial balik ke film arthouse lagi). Apakah ini bisa memunculkan kesulitan dalam menjaga fokus kebutuhan pengaryaan?

M

Pasti sulit. Pertama, saya tidak punya uang. Kedua, saya tidak punya nama. Ketiga, saya modal dengkul saja dengan cita-cita. Pasti sulit. Tapi bukankah semua orang yang bekerja untuk mimpinya kesulitan? Jadi saya tidak perlu mengglorfikasi kesulitan saya. Sulit wajar saja. Itu sama seperti waktu Anda belajar – pasti pusing. Kalau Anda tidak pusing, berarti sudah tahu – tidak belajar namanya (tertawa).

S

Dalam proyek film “Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat,” Anda menggeser set Jakarta ke Yogya. Apa saja batasan sineas mengubah unsur cerita dalam lingkup proyek film remake?

M

Terus terang, saya tidak tahu batasan. Tapi kenapa saya pindah ke Yogya, karena film “Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat” ini kan tentang perempuan, ditulis 30 tahun yang lalu oleh Mira W. yang menulis tentang perempuan bermasa lalu chaos, jatuh cinta sama anak muda, tapi terhalang oleh society karena tabu, beda usia yang terlalu jauh. Yang menarik, kita tarik itu 30 tahun kemudian di Indonesia di Jakarta, tabu tidak? Tidak kan. Kalau di Yogya tabu tidak? (tertawa) Jangan lupa itu. Indonesia itu punya konteks sosial yang berubah di setiap teritorinya. Saya menarik cerita ini ke Yogya, karena di Yogya itu tabu. Bercandaan tante-tante dengan ‘berondong’ di Jakarta itu sudah candaan sehari-hari. Anda ngomong itu di Yogya tidak ada yang paham.

Lalu, jika dilihat, perempuan seperti Sri Mulyani itu orang deso, orang Bandar Lampung, terus Bu Susi orang desa juga. Menarik sekali, karena orang-orang desa ini bisa menjadi menteri. Bahkan di kasus Bu Susi, dia tidak tamat sekolah. Ukuran society itu tak jelas. Ketika saya memfilmkan “Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat”, ada tokoh-tokoh Indonesia yang seperti itu, terus saya bilang, “Posisi perempuan Indonesia jadi susah.” Lalu saya bingung, susah dari mana? Jangan-jangan masalahnya adalah perempuan Indonesia itu bermasalah dengan keluarganya. Nah, saya memfokuskannya ke arah itu. Jangan-jangan yang tidak menerima perempuan-perempuan kuat itu keluarganya sendiri, bukan society itu sendiri. Keluarga itu apa? Keluarga itu pasti lingkaran paling dekat. Pertama misalnya keluarga inti, kedua pertemanan, baru kota.

Tapi di Jakarta, diterima. Kalau saya cerita soal “Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat” di Jakarta lagi, tidak relevan. Bayangkan kalau ini saya tarik ke desa, ke kota yang lebih kecil. Seharusnya ini saya ingin lebih desa lagi, sayangnya tidak boleh (tertawa) biiar lebih kontekstual sama zaman sekarang.

S

Apakah tren film remake belakangan punya potensi dikritisi? Misal terkait kemungkinan surutnya semangat membuat narasi orisinil?

M

Kritik itu biasa, biarin saja. Kritik itu ilmu yang lain. Kalau film Anda dikritik, harusnya bersyukur. Adanya orang setelah menonton, pulang ke rumah, ingat karya kita, menuliskan gagasannya, kemudian mempublikasikan ulang, itu buat saya paling penting. Mau dia setuju atau tidak dengan filmnya, mau bilang filmnya bagus apa tidak, itu urusan yang lain lagi. Tapi dia tidak boleh minta izin saya, sama seperti saya tidak meminta izin dia ketika membuat film tersebut.

S

Menilik perhatian dan apresiasi yang diraih oleh film, sineas, serta festival film dari Yogya belakangan, bahkan kotanya sendiri yang mulai sangat kerap dijadikan set pengambilan gambar. Apakah kiblat perfilman Indonesia bisa dikatakan sudah bergeser ke Yogya?

M

Kalau saya harapannya Jakarta sadar bahwa dia bukan satu-satunya, itu penting sekali karena pusat media, pusat uang ada di Jakarta. Penting untuk teman-teman di Jakarta sadar kalau kota itu bukan satu-satunya. Sekarang adalah zaman internet. Sudah beda sekali dengan dulu yang tidak ada internet. Semenjak sekarang sudah ada internet, orang seperti saya yang bukan orang Jakarta, anak pedagang mebel dari satu kota kecil di Wonosobo, sekarang duduk di Jakarta diinterview kalian karena membuat film. Itu kan tidak masuk akal sebenarnya. Itu memungkinkan karena sekarang sudah era internet, maksud saya adalah kita harus siap.

Jangan berbicara soal Jakarta, Yogya, Bandung, itu adalah masalah yang sudah lama. Itu biasanya menjadi sumber perpecahan. Kalau sekarang kita berbicara soal ilmu dan masyarakat, masyarakat itu bisa Indonesia sebagai sebuah negara atau persoalan dunia, jangan sampai kita menjadi sebuah negara masih sibuk membicarakan tentang selangkangan seperti para politikus, atau korupsi sejak zaman VOC, atau benar salah yang sejak dulu tidak terbukti juga siapa yang benar dan salah. Kenapa tidak kita membicarakan tentang ilmu dan manfaatnya. Manfaatnya untuk siapa? Pertama untuk diri kita sendiri, misalnya dulu saya tidak pede mengatakan saya seorang sutradara, sekarang saya pede karena ada karyanya. Itu kan ada manfaat. Dulu saya tidak bisa menghidupi keluarga saya dari film, sekarang bisa, berarti ada manfaatnya. Dulu teman-teman saya susah, sekarang bisa bareng-bareng sampai ke tahap profesional bareng, ada manfaatnya. Itu saja yang dilihat dulu. Syukur-syukur nanti jika semua orang berpikir seperti itu, harapan saya kemudian ada terobosan-terobosan baru.

S

Melihat adanya inisiatif seperti Film Musik Makan yang menawarkan ekosistem film alternatif, apakah Anda optimis dengan perkembangan dan produktivitas dalam skena film alternatif di Indonesia?

M

Saya percaya dan positif karena perhatian publik terus melonjak. Apalagi melihat teman-teman pembuat film independen bisa masuk ke bioskop dan penontonnya semakin banyak. Bahkan penonton film komersil kalau melihat industrinya pun semakin gila-gilaan. Dengan ini saya optimis. Justru ini momentumnya, ini kesempatan kita untuk mendesak masuk, untuk dapat public awareness. Sama seperti penikmat film alternatif, tapi kan kita tidak melulu nonton film alternatif juga, saya juga nonton dan menikmati film “Dilan 1990”. Karena kita juga tidak perlu munafik, tidak perlu merasa paling betul karena yang paling penting usaha kita semua sebagai seorang manusia atau seniman adalah untuk menyediakan perspektif yang lain. Itu adalah tugas kita.

Jika sebuah perspektif yang lain tidak ditemukan dalam sebuah karya, itu menyeramkan. Natural jika seorang seniman memberikan perspektif kepada publik, tapi industri seringkali melihatnya seperti angka, sedangkan seniman melihat nilai. Jadi jangan sampai perfilman Indonesia itu dipaksa hanya mengakui bahwa yang namanya film itu cuma yang komersil – itu masalah besar. Yang saya lakukan bersama teman-teman saya adalah membuktikan pada diri sendiri bahwa berjalan di kedua wilayah itu secara bersamaan itu tidak apa apa. Coexist kan tidak ada masalah, selama kamu tahu ilmunya. Yang jadi masalah itu jika kamu tidak tahu ilmunya. Misalnya saya datang ke Pak Raam Punjabi, mempresentasikan film “Another Trip to the Moon”, kira-kira siapa yang salah? Kan saya yang salah. Berarti bila beliau menolak, bukan berarti beliau yang salah.

Ada orang yang mempunyai sumber ilmunya masing-masing. Ini yang disebut ekosistem. Saya percaya bahwa atas kerja keras kita semua di wilayah seni maupun yang lain, pada akhirnya kita harus melayani manusia itu sendiri. Jika kita adalah bagian dari manusia itu sendiri, ya kita juga harus ikut dilayani. Ilmu seharusnya senetral itu. Nanti cara memakainya bagaimana sesuai kebutuhan. Misalnya film Anda penontonnya 6 juta, film saya penontonnya 20 ribu, belum tentu film saya lebih rendah daripada punya Anda. Kalau dilihat secara angka pasti menang, kalau dilihat secara nilai, kita berdua tahu bahwa film kita masing-masing perlu ada di ekosistem. Itu yang saya perjuangkan. Itu kenapa saya terlibat kolektif, agar publik di luar sana paham bahwa ada perspektif lain. Mau berubah atau tidak situasinya, kita lihat nanti bersama.

S

Apa proyek terbaru Anda ke depan?

M

Saya ada proyek-proyek terbaru. Saya sedang mempersiapkan film Bosan Berisik Lab selanjutnya. Setelah “Another Trip to the Moon” dan “Mobil Bekas dan Kisah Kisah dalam Putaran”, saya akan membuat film lanjutannya yang ketiga. Saya sedang mempersiapkan film produksi pertamanya Matta Cinema yang ceritanya adalah cerita asli yang saya tulis pertama, karena selama ini saya ikut menulis script di film-film naratif seperti “Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat” dan “Mencari Hilal” yang idenya sebetulnya sudah ada. Saya merasa ini sudah saatnya saya menulis cerita sendiri. Masing-masing baru sampai process treatment belum ke screen. Saya ingin itu menjadi produksi pertamanya Matta Cinema yang main Cornelius Sunny, yang produksi pun dia. Itu coba kami jalankan.whiteboardjournal, logo