Sastra Baru bersama Dea Anugrah

08.03.17

Sastra Baru bersama Dea Anugrah

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Dea Anugrah (D)

by Muhammad Hilmi

 

H

Apa yang mendorong Dea untuk mulai nulis? Apa yang sebenarnya Dea dapatkan dari aktivitas menulis, tentang sastra terutama?

D

Dalam wawancara dengan Avi dari Post dan Alex dari Nylon, saya bilang saya menulis buat kali pertama setelah mengobrol dengan salah satu guru bahasa Indonesia di SMA. Tapi minat di belakangnya tentu tidak muncul tiba-tiba. Ada pengaruh bacaan dan lain-lain. Sebelumnya, waktu SMP, saya pernah kepingin jadi wartawan video game gara-gara membaca majalah Hot Game milik teman. Kayaknya asyik betul: mencoba game-game terbaru, meliput E3 dan Tokyo Game Show, dan lain-lain.

Pengetahuan, teman-teman, dan pekerjaan saya sekarang hampir seluruhnya berhubungan dengan kegiatan tulis-menulis. Kalau saya tidak membaca dan menulis sastra, mungkin saya akan punya lebih banyak pengetahuan yang bersifat praktis; cara membetulkan sepeda motor atau menangkap kepiting, misalnya.

H

Bagaimana kondisi skena sastra? Apakah ada senioritas di skena sastra dan bagaimana menghadapi dinamikanya?

D

Mungkin ada, tapi saya pikir saya beruntung. Sebagian besar teman penulis yang saya kenal berumur lebih tua, beberapa bahkan umurnya dua kali lipat umur saya, dan punya lebih banyak pengalaman, tetapi mereka tidak memperlakukan saya seperti anak kecil dan saya tidak memperlakukan mereka seperti uwak saya. Saya punya paman yang gila, yang agak gila, dan yang gila agama. Setiap kali saya pulang ke Bangka dan kami ketemu, saya harus mencium tangan mereka.

H

Belajar di Jogja dan kini menetap di Jakarta, bagaimana Dea melihat tulisan yang muncul di dua kota tersebut, apakah Dea melihat ada karakter masing-masing?

D

Baik di Jogja maupun Jakarta, ada penulis-penulis yang menulis tentang kotanya dan ada yang tidak. Ada yang menampilkan vibe atau, katakanlah, “semangat” kotanya dalam tulisan-tulisan mereka (serta bisa dijadikan bukti bahwa tempat membentuk manusia) dan ada yang tidak.

Saya pikir cerita pendek Ratri Ninditya, “B 217 AN”, hanya bisa ditulis oleh orang yang punya pengetahuan mendalam tentang kehidupan di Jakarta. Dan semangat Jogja bukan cuma ketuaan atau kelambanan atau jerat gang-gang kecilnya yang seperti labirin, tetapi juga situasinya sebagai tempat singgah. Kalau Bung tinggal di Jogja, Bung akan terbiasa menyambut dan melepas orang, dan menyadari bahwa suatu saat mungkin Bung sendirilah yang akan pergi—karena UMR Jogja terlalu kecil. Semangat Jogja sebagai tempat singgah itu terasa betul dalam puisi-puisi Y Thendra BP dalam bukunya Manusia Utama.

H

Bagaimana Dea melihat cerpen sebagai medium penceritaan? Apakah ini sesuai dengan metode konsumsi sastra di era yang serba cepat?

D

Apa itu “metode konsumsi sastra di era yang serba cepat”? Jauh sebelum internet dan media sosial diciptakan, Yasunari Kawabata sudah menulis “Cerita-cerita Telapak Tangan” yang ringkas. Sebaliknya, penulis-penulis kontemporer tidak melepas tradisi menulis karya-karya panjang. Saya pikir, novel-novel tebal dan rumit akan terus terbit dan dibaca sampai kapan pun, secepat apa pun manusia harus bergerak.

H

Selain menulis prosa, Dea juga menulis puisi, bagaimana Dea menerapkan pendekatan pada dua gaya ini?

D

Saya menulis puisi seperti puisi-puisi yang saya senang membacanya dan menulis prosa seperti prosa-prosa yang saya senang membacanya. Pembaca yang saya bayangkan saat saya menulis adalah saya sendiri. Ia menyebalkan karena tuntutannya macam-macam dan seleranya sering berubah.

H

Dalam penulisan karya sastra, penulis memiliki gaya dan cara sendiri dalam menyampaikan makna, meski kadang gaya ini kadang membuat pembaca bingung dan susah memahami apa sebenarnya maksud yang ingin disampaikan penulis, bagaimana Dea memaknai esensi makna dan gaya dalam karya sastra?

D

Bung pernah baca Exercises in Style karangan Raymond Quenau? Dalam buku itu, Quenau menyampaikan satu cerita sangat pendek dalam 99 gaya, mulai dari yang umum seperti gaya surat-menyurat sampai yang ajaib seperti persamaan matematis.

Penulis-penulis terampil memilih gaya, termasuk gaya yang rumit, dengan kesadaran bahwa gaya itu akan ikut menentukan makna ceritanya. Mereka berhitung. Di sisi lain, penulis-penulis buruk bekerja mengandalkan kebetulan. Kalau hasilnya bagus, kebetulan. Kalau buruk, ya, sudah semestinya begitu. Dan tidak semua bacaan yang membingungkan itu rumit. Sebagian cuma berantakan, sebab penulisnya tidak paham apa yang ia kerjakan.

H

Karya sastra kini makin populer, dengan nama-nama penyair (salah satunya Neruda) yang sering muncul di timeline, tapi tak jarang mereka hanya seperti majalah kinfolk di foto instagram yang jadinya cuma tempelan, bagaimana Dea melihat fenomena demikian?

D

Cuek saja, sih. Syukur kalau karya penyair-penyair itu memang mereka baca. Tapi kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Toh sastra tidak lebih penting ketimbang air ledeng atau deodoran, dan tidak membuat orang-orang yang membacanya jadi lebih diminati ketimbang anak Aburizal Bakrie atau cucu Ibnu Sutowo.

H

Bagaimana melihat musikalisasi puisi yang kini semakin menjamur dilakukan?

D

Saya suka “Buat Gadis Rasid” yang dibawakan Deugalih & Folks. Mereka menerjemahkan gagasan dan suasana dalam puisi Chairil Anwar itu dengan cara yang menarik. Yang terpenting dalam alih wahana itu kan tafsir.

H

Sebagai penulis muda, bagaimana Dea melihat kegelisahan generasi sekarang jika dibandingkan dengan penulis era Seno Gumira misalnya? Apakah Dea punya kritik untuk penulis generasi sebelumnya?

D

Budi Darma sering memakai istilah “obsesi pengarang”, saya pakai itu saja, ya.

Selain minat personal, obsesi setiap penulis juga dibentuk oleh situasi kesusastraan dan situasi umum yang melingkupinya. Penyair-penyair Pujangga Baru bereaksi terhadap puisi-puisi Melayu lama, Chairil Anwar dan kawan-kawan bereaksi terhadap Pujangga Baru, dan seterusnya. Dan mengenai situasi umum, saya kira cerita pendek “Menggambar Ayah” karya AS Laksana, misalnya, dapat dibaca sebagai acuan kepada pengalaman hidup di bawah kekuasaan Orde Baru. Penis-penis yang digambar oleh tokoh utama cerita itu adalah simbol “kekuasaan yang sebenarnya”, yang tak dimiliki oleh ibu yang selalu menindas dia.

Sekarang agaknya yang melingkupi kita terutama bukan lagi rasa takut kepada bayang-bayang negara, melainkan kebingungan memisahkan “yang benar” dari “yang palsu”, “yang penting” dari “yang cuma kelihatan penting”, dan sebagainya—seperti mencari buku yang dapat dibaca di Perpustakaan Babel. Situasi itu memperbesar minat saya kepada fabulasi. Beberapa penulis seumuran saya, salah satunya Sabda Armandio, saya pikir juga punya obsesi serupa.

Kritik akan saya sampaikan kapan-kapan. Sekarang pesan pendek saja buat penulis-penulis Indonesia dari generasi mana pun: Tolong, dong, berhenti menulis cerita seperti ini dan ini.

H

Sebagai penulis yang menerbitkan bukunya di jalur independen, bagaimana melihat industri penerbitan lokal?

D

Grup Kompas-Gramedia, dengan perusahaan-perusahaannya yang menguasai hulu sampai hilir industri buku, mulai dari pabrik kertas PT Graha Cemerlang Paper Utama hingga jaringan toko buku Gramedia, dan kekuasaannya atas penerbit-penerbit lain (dengar-dengar, kalau ada penerbit yang hendak mendirikan toko, Gramedia tidak akan menerima buku-bukunya lagi), terhitung melakukan monopoli, tidak, sih? Kalau ya, mbok ada yang memperkarakan.

H

Sebagai sosok yang digadang-gadang menjadi penulis masa depan lokal, bagaimana Dea melihat perkembangan penulis lokal di era mendatang?

D

Saya membayangkan penulis-penulis Indonesia di masa depan akan lebih pintar dan mahir ketimbang saya dan teman-teman saat ini, juga penulis-penulis yang pundaknya kami injak. Saya tidak percaya hari kiamat. Semakin lama dunia akan semakin baik.

H

Dea juga terlibat dalam aktivitas alih bahasa, sebagai penulis dan sekaligus petugas alih bahasa, bagaimana melihat relasi diantara dua posisi ini? Terutama pada posisi seperti apa yang harusnya diambil oleh seorang translator puisi karena diksi sangat berpengaruh disini?

D

Penerjemah semestinya tak hanya memahami bahasa asal karya, tetapi juga konteks waktu ketika karya itu diciptakan (kata virtual dalam puisi “The Prelude” karya William Wordsworth, misalnya, berarti kuat, bukan maya), visi sang penulis, dan lain-lain.

Lebih dari itu, penerjemah bukan orang yang kerasukan hantu pengarang dan meminjamkan mulutnya buat hantu itu bicara. Ia menafsir, dan pada tafsir ada penciptaan kembali. Bagaimana ia harus menciptakan kembali satu desa di Amerika Serikat bagian selatan pada awal abad ke-19 dalam bahasa Indonesia tanpa membuatnya seolah-olah ada di Temanggung dan tetap terpahami? Bagaimana menerjemahkan gambaran yang kompleks dalam sebuah haiku tanpa menjadikannya bertele-tele? Pendeknya, menerjemahkan sama sulitnya dengan menulis. Tetapi saya bukan penerjemah profesional dan cuma melakukannya sesekali buat belajar. Jadi, saya bisa lebih relaks.

H

Apa rencana Dea ke depan?

D

Menulis novel.whiteboardjournal, logo