Wanita dan Sastra bersama Rain Chudori

16.12.15

Wanita dan Sastra bersama Rain Chudori

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan Rain Chudori (R).

by Ken Jenie

 

H

Buku apa yang pertama membuat Rain tertarik kepada sastra?

R

Sejujurnya tidak ada satu buku spesifik yang membuat saya tertarik kepada sastra waktu saya kecil. Ibu saya sangat menggemari karya James Joyce dan J.D. Salinger – beliau sangat menggemari penulis-penulis maskulin. Bapak saya senang tulisan yang lebih gentle dan subtle seperti karya Raymond Carver, Patrick Modiano, dan Anton Chekhov. Banyak selera saya yang terpengaruhi oleh selera orang tua saya.

Buku “berat” pertama yang saya pernah baca adalah Anna Karenina oleh Leo Tolstoy. Buku ini terasa berat dari sudut konten dan panjangnya, dan membuat saya berpikir bahwa seorang penulis bisa mengarang sebuah dunia di dalam pikirannya.

H

Di karya-karya Rain yang saya baca, tulisannya terasa lebih berhubungan dengan kejadian sehari-hari. Bagaimana Rain menentukan topik yang ingin di tulis? Karena referensi Rain ternyata tidak ke arah ini.

R

Saya tidak ingin mengarang dunia yang surreal dan super-fantastis, saya lebih suka memakai kota dan situasi sehari-hari. Saya tidak pernah menulis bahwa setting tulisan saya adalah Jakarta karena saya ingin tulisan saya terasa sudut fiksionalnya, dan tidak ingin mengundang komentar-komentar bahwa “Jakarta tidak begini, Jakarta tidak begitu.” Saya memakai kota Jakarta sebagai sebuah denah dasar, tetapi dunianya masih fiksional dengan karakter-karakter fiktif yang terinspirasi oleh orang-orang di sekitar saya. Banyak sekali keindahan di liku-liku kehidupan kita sehari-hari, dan menurut saya penting bagi kita untuk merekamnya.

H

Sebagai penulis yang terinspirasi oleh kejadian sehari-hari, bagaimana Rain meletakkan sisi personal penulis dalam karyanya? Apakah perlu jarak antara kehidupan personal dan karya tulisan atau bisa bercampur saja?

R

Menurut saya, seorang penulis akan membawa konteks kehidupan sehari-hari ke dalam karyanya, dan setelah pembaca mendapatkan bukunya mereka akan membawa konteks personal mereka juga. Saya tidak punya hak untuk mengintervensi interpretasi seorang pembaca. Saya sangat senang jika pembaca menemukan sesuatu dalam karyanya yang saya sendiri tidak sadari. Saya sangat cinta saat-saat seperti ini – kita seakan-akan membagi hak untuk mendefinisikan karya kita dengan pembaca.

H

Di proses penulisan, apakah Rain melakukan sebuah riset?

R

Di tulisan saya dulu, saya lebih sering tidak memakai latar belakang sejarah, tetapi ada beberapa tulisan dimana saya melakukan riset. Salah satunya adalah Monsoon Tiger – untuk cerita ini saya meriset Kebun Binatang Surabaya. Saya sedang rencana menulis dua novel, salah satunya settingnya Amsterdam jadi saya harus melakukan riset, dan satu lagi Jakarta dalam konteks tahun 1990an. Saya menulis mengenai era 1990an ke atas karena era ini saya sudah lahir dan mengalaminya.

H

Kalau Rain sendiri melihat penulis muda di Indonesia sekarang ini seperti apa? Sepengetahuan saya, sekarang ini sedang banyak tumbuh penulis-penulis baru.

R

Saya ingin melihat lebih banyak penulis perempuan. Saya baru sadar bahwa kebanyakan penulis Indonesia yang menulis fiksi dalam bahasa Inggris adalah wanita seperti Maggie Tiojakin, Laksmi Pamuntjak, Dwiputri Pertiwi, Dinda, dan saya sendiri. Saya rasa masih kurang banyak platform untuk penulis perempuan.

Banyak juga yang mengangkat isu pemakaian bahasa Inggris oleh penulis Indonesia – apakah kami penulis Indonesia jika memakai bahasa Inggris? Bagi saya, bahasa hanya sebuah medium. Selama kami bisa menerjemahkan karya kami, selama kami memiliki platform, dan selama kami masih memiliki pembaca saya rasa masalah bahasa bukanlah sebuah isu.

H

Mengenai pemakaian bahasa Inggris dalam menulis, apakah ini simbolisasi akan apresiasi anak muda terhadap tulisan internasional dibanding tulisan Indonesia?

R

Menurut saya banyak dari kami yang mengambil referensi penulis dari luar negeri, dan seharusnya ada distribusi yang lebih baik untuk sastra Indonesia – baik di dalam atau di luar negeri. Sayang sekali bahwa banyak penulis Indonesia yang dikenal oleh kalangan tertentu – tidak semua orang membaca tulisan dari Indonesia. Saya kecewa saat mendengar orang berkata “untuk apa saya baca mengenai topik ini dalam bahasa Indonesia jika ada yang membahas topik ini dari sudut pandang luar negeri” – mestinya orang-orang sadar bahwa kita semua memiliki perspektif yang berbeda-beda.

H

Apakah pemakaian bahasa Inggris juga menandakan bahwa anak jaman sekarang goalnya lebih luas daripada pasar Indonesia ataukah ini sebenarnya adalah representasi dari penggunaan bahasa Inggris dalam aktivitas mereka sehari-hari?

R

Berdasarkan pengamatan saya terhadap teman-teman saya, banyak dari generasi saya yang mendapatkan edukasi di luar negeri, dan banyak yang sekolah di institusi yang memakai bahasa Inggris di Indonesia. Kami memakai bahasa Inggris bersama teman-teman dan keluarga kami – kita telah mengadopsi bahasa Inggris dalam hidup keseharian kita. Menurut saya ini bukan sesuatu yang buruk. Fakta bahwa saya menulis dalam bahasa Inggris bukan berarti saya melupakan bahasa Indonesia.

H

Jadi bisa dibilang pemakaian bahasa Indonesia adalah simbol semangat generasi sekarang.

R

Betul, kami adalah generasi baru.

H

Rain sempat berkata bahwa sekarang sudah mulai banyak penulis muda, tetapi masih butuh ruang untuk berkembang. Apakah ini tujuan membentuk media The Murmur House?

R

Betul. Murmur House adalah inisiatif yang kami bentuk untuk mendukung penulis-penulis muda, khususnya penulis perempuan yang menulis dalam bahasa Inggris – tetapi kami menyambut penulis muda dari latar belakang apa pun yang senang menulis, membaca, dan ingin mengekspresikan diri. Planning to propose with all your friends and family? https://proposal007.com/how-to-propose-with-the-family/ – get the best planning tips and inspiration from the world’s leading marriage proposal website!

H

Sejauh ini afiliasi Murmur House lebih di Jakarta. Apakah di masa depan Murmur House akan menjaring jaringan yang lebih besar?

R

Semoga di masa mendatang di saat kami punya waktu luang kami akan tur ke Bandung, Jogjakarta, Surabaya dan Bali. Kami ingin membuat workshop dan event-event lain.

H

Agenda tahunan Murmur House seperti apa?

R

Salah satu visi kami adalah melakukan penerbitan dua kali setahun. Di Januari 2016 kami akan menerbit jurnal kami yang ketiga.

H

Rain sebagai penulis melihat atmosfir pembaca muda di Indonesia seperti apa?

R

Menurut saya sekarang kami memiliki akses yang lebih besar untuk mendapatkan buku. Ada tempat-tempat seperti Kinokuniya, Aksara, Pos Santa, Blok M dan Taman Ismail Marzuki. Di Indonesia skena distribusi buku belum se-komplit seperti di luar negeri dan budaya membaca belum sekuat di luar, tetapi sudah cukup banyak inisiatif disini.

H

Kalau berbicara mengenai penulis perempuan di Indonesia. Mengapa jumlah penulis perempuan lebih sedikit? Apakah sastra adalah seni yang didominasi oleh pria?

R

Secara umum, di banyak negara, sastra adalah seni yang didominasi oleh pria. Saya sering bertanya kepada banyak orang untuk menyebutkan penulis-penulis perempuan Indonesia sebanyak-banyaknya, lalu menyebutkan penulis-penulis pria – pasti lebih banyak nama pria yang muncul.

Mungkin kita sudah terbiasa berpikir bahwa perempuan hanya bisa beraktifitas di bagian-bagian masyarakat tertentu. Lalu ada kompetisi di dalam dunia sastra… banyak sekali alasannya.

Ada juga sebuah kecenderungan untuk menanganggap rendah karya tulisan oleh perempuan. Jika perempuan menulis mengenai seks, ini adalah hal yang vulgar dan penuh dosa. Apakah kita pernah menggunakan alasan yang sama untuk penulis pria? Saya belum pernah mendengar orang berkata hal-hal seperti “Chuck Palahniuk, apakah kamu bisa berhenti menulis mengenai kekerasan?”

Kenapa ada double standard di saat perempuan menulis? Apapun tema yang kita tulis pasti salah – kalau kita tulis mengenai cinta kita menye-menye, kalau kita tulis tentang seks kita vulgar, kalau kita menulis tentang keluarga dianggap alami karena kita adalah pabrik pembuat bayi – kita seperti dibungkam.

H

Apa yang perlu dilakukan supaya bisa meluruskan keadaan yang demikian?

R

Kita perlu membuat lebih banyak platform yang memprioritaskan perempuan, membuat acara seperti panel dan workshop untuk perempuan yang ingin menulis dan tentang perempuan yang menulis.

Kalau mengenai masyarakat secara keseluruhan, kita perlu membedah karya perempuan dengan konteks susahnya perempuan untuk menulis, belum lagi untuk mempublish karyanya.

Kita harus berhenti membungkam perempuan. Kita tidak hidup di masyarakat yang sederajat dan kita tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama, makanya dari itu kita perlu membuat ruang yang mewadahi kebutuhan minoritas seperti perempuan.

H

Seperti apa opini Rain mengenai tempat-tempat seperti Kineruku dan Pos Santa dalam perkembangan sastra lokal?

R

Tempat-tempat alternatif seperti Kineruku dan Pos Santa yang paling sering mendukung penulis-penulis muda. Saya beruntung telah di dukung oleh publisher yang besar dan bisa masuk Gramedia, tetapi saya mengerti betapa susahnya mendistribusi tulisan melalui jalur alternatif.

H

Apakah penulis-penulis masih perlu masuk ke toko besar seperti Gramedia, atau lebih baik mereka self-distribute?

R

Masalah yang sering dialami penulis saat mendistribusi sendiri adalah funding. Ada yang mendapatkan funding, tetapi juga banyak yang memakai modal sendiri. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana kita harus belajar untuk membagi uang kita untuk idealisme kita.

Saya memiliki distribusi yang besar yang saya bagikan ke proyek idealis saya yaitu Murmur House. Saya rasa keberadaan dan pengertian dalam dua spektrum distribusi ini penting sekali.

H

Sepulang dari Frankfurt Book Fair. Apakah yang bisa Rain ceritakan mengenai posisi sastra Indonesia di acara itu?

R

Pengalamannya cukup menakjubkan karena orang-orang yang menghadiri Frankfurt Book Fair sangat mengapresiasi sastra. Ketika orang datang ke book reading, mereka mendengarkan dengan sangat fokus, mereka menunjukkan antusiasme dan pengertian materinya dalam berdiskusi – mungkin ini tidak terlalu mengagetkan karena mereka sudah memiliki budaya sastra yang berusia ratusan tahun.

H

Apakah Frankfurt Book Fair membuka mata Internasional terhadap sastra Indonesia? Jika benar demikian, apakah ini bisa dilihat sebagai momentum untuk sastra Indonesia untuk berkembang lebih jauh?

R

Iya, menurut saya begitu. Di Frankfurt Book Fair penulis-penulis senior Indonesia melakukan beberapa panel, dan aktifitas mereka diliput setiap hari di koran Jerman, Belanda, dan lain-lainnya.

H

Bagaimana penulis-penulis muda di Indonesia bisa memakai momentum ini untuk memperkembangkan sastra Indonesia?

R

Di saat ini kita perlu memakai fasilitas-fasilitas alternatif yang sudah ada secara maksimal dan kita perlu berkolaborasi. Hampir setiap akhir pekan Pos Santa mengadakan acara dengan penulis-penulis – Kineruku juga begitu. Saya rasa kita perlu lebih banyak tempat alternatif yang mendukung sastra, dan funding – kita perlu funding.

H

Kebanyakan funding datang dari institusi yang sudah established dan diberi kepada penulis-penulis yang sudah established juga, dan ini menutup kesempatan untuk yang muda.

R

Dalam satu sisi saya percaya bahwa kita penulis muda harus “pay our dues” dalam membentuk karir kita secara DIY dan mencari funding. Mengenai funding… nanti kalau saya sudah mahir dalam mencari funding saya akan jawab pertanyaan Hilmi secara keseluruhan (tertawa).

H

Proses apa yang harus dilalui seorang penulis muda untuk bisa masuk ke dalam dunia sastra Indonesia?

R

Yang pertama penulis harus menulis (tertawa), setelah itu kumpulkan kontak media dan network sebanyak mungkin. Penulis tidak bisa hanya mengirim sebuah naskah ke media dan menunggu jawaban – penting sekali bagi penulis untuk mengerti dan mengenal channel-channel distribusi. Jika penulis ingin menghubungi seorang publisher mereka perlu mengumpulkan dan mengkurasi kontennya dengan baik. Selain itu – kita harus sabar menunggu (tertawa).

Tidak ada pola yang bisa ditiru dalam proses ini, untuk berkarya di dunia sastra, harus banyak menulis, submit tulisan, dan menunggu.

H

Di beberapa tahun terakhir Rain main beberapa film. Apakah di waktu akan datang Rain akan lebih banyak bermain di dalam film?

R

Film adalah karir yang kebetulan. Saya berteman dengan Anggun Priambodo sejak saya SMA. Pertama kali saya terlibat dalam film karena Anggun sedang membuat “Sekasur.” Satu tahun kemudian Anggun bercerita bahwa dia ingin membuat feature film (Rocket Rain) dan salah satu karakternya terinspirasi oleh saya. Setelah Rocket Rain saya tidak berpikir untuk bermain di film lagi – saya melakukannya sebagai kolaborasi dengan Anggun. Ternyata setelah itu saya mendapatkan tawaran dari Mba Monica dan Mas Lucky… ya sudah saya jalanin saja.

Akting itu menarik. Bagi saya akting menciptakan katarsis. Bagi saya menulis adalah aktifitas yang menguras emosi, sementara akting adalah aktifitas yang menyenangkan saja – it’s fun.

H

Apakah Rain ada rencana melanjutkan karir di film? Mungkin sebagai sutradara, atau salah satu tulisan Rain menjadi film?

R

Saya ingin sekali menulis untuk film, atau salah satu cerita saya menjadi sebuah film – ini adalah salah satu impian terbesar saya.

H

Mengenai Monsoon Tiger yang akan dirilis segera, apa yang ingin Rain sampaikan mengenai buku ini?

R

Buku Monsoon Tiger disusun secara kronologis, semua protagonis di buku ini perempuan. Karakter yang paling muda berumur 8-9 tahun dan yang paling berumur 35-an. Saya ingin bercerita kepada dunia bagaimana rasanya hidup sebagai perempuan, dan proses pendewasaan dari seorang gadis menjadi perempuan.

H

Proyek yang akan datang dari Rain apa saja?

R

Saya akan menulis novel – saya sudah ada book deal bersama KPG lagi. Di novel ini saya ingin menulis ulang cerita “The Little Match Girl” dalam konteks modern. Saya juga ingin mengambil kuliah S2.whiteboardjournal, logo