Bebal Pemikiran Kategoris

Column
11.05.17

Bebal Pemikiran Kategoris

Karena Buta, Menjadi Prahara

by Whiteboard Journal

 

Pada hakikatnya, masyarakat selalu mengajarkan manusia lainnya untuk berpikir kategoris. Membagi-bagi unsur-unsur, hal-hal, pribadi-pribadi, dan lain-lain, ke dalam tatanan tertentu. Semuanya dipisah ke dalam bagian-bagian tertentu. Semisal: yang kaya dengan yang miskin, yang pandai dengan yang bodoh, yang suci dengan yang kafir, dan lain sebagainya. Bahkan dalam melihat kompleksitas masyarakat satu dengan lainnya, kita menyebut diri sendiri sebagai aku atau saya, dan pribadi orang lain sebagai kamu, anda, dengan atribut-atribut yang ditempelkan ke pribadi tersebut. Berawal dari pemikiran, meresap ke dalam perasaan, lalu disalurkan melalui tindakan.

Immanuel Kant menegaskan hal tersebut dari bukunya yang berjudul “Critique of Pure Reason”, bahwa apa yang disebut kenyataan merupakan kenyataan sebagaimana dibentuk oleh kategori-kategori yang ada dalam pikiran kita. Pada buku “Enigma Wajah Orang Lain” yang ditulis oleh Thomas Hidya Tjaya, Emmanuel Levinas juga berkata, “Penggunaan kategori-kategori pemikiran ini seringkali terasa lebih aman karena dengan demikian tidak perlu berhadapan langsung dengan orang tersebut.”

Yang dapat dipahami dari pernyataan tersebut adalah bahwa dalam memandang dan memperlakukan orang lain, kita lebih sering menggunakan kategori-kategori yang sudah ada dalam benak kita: mereka berasal dari suku A, menganut agama B, memiliki latar belakang C, dan lain-lain. Hal ini berakibat pada tertutupnya diri kita dalam memandang suatu kemungkinan dan hal-hal lain yang tersingkap dalam diri orang lain, apalagi penyingkapan yang apa adanya dari orang lain tersebut. Kategori-kategori ini ada dan melekat secara langsung, dengan begitu cenderung tak melihat orang lain sebagai “manusia yang sama”, ini membuat kita gagal memperlakukan orang lain sebagai manusia. Fatalnya, tak jarang timbul kekerasan karena ketidakmampuan individu dalam menerima realitas orang lain secara apa adanya.

Pada dasarnya semua manusia telah memasuki koridor di atas. Apalagi ketika masyarakat sosial menerima pikiran orang lain yang jauh lebih buruk, yaitu menganggap dirinya sebagai yang superior dan yang lainnya sebagai yang inferior. Pikiran ini terjadi begitu saja dan diterima secara cuma-cuma. Terjadilah naturalisasi, dan kita lantas menganggap bahwa hal ini adalah hal yang alami, biasa saja, dapat diterima oleh semua. Asupan-asupan yang demikian itu disalurkan melalui beberapa medium, seperti lingkungan sosial, media massa, bahkan negara. Cara berpikir yang seperti inilah yang melahirkan identitas-identitas pada segala sesuatu yang sebenarnya memiliki entitas (keunikan baik secara fisik maupun nonfisik).

Dalam hal yang seperti ini, sudah menjadi suatu yang dimaklumi bagi kita melihat masyarakat yang melakukan pembenaran atas apa yang ia yakini. Tentang meyakinkan kebenaran dan membenarkan keyakinan. Banyak orang hanya membenarkan keyakinannya dan lebih banyak orang yang terhasut akan keyakinan orang tadi, tanpa benar-benar berpikir lebih dalam dan bahkan tanpa merasakannya sendiri. Mereka hanya mendengar, hanya tahu dari orang lain. Sudah itu saja. Sangat sederhana. “Bila saya benar, maka kamu salah!” adalah hal yang sering kita jumpai, tanpa berpikir holistik, dengan mempertimbangkan seluruh aspek hingga seseorang mampu berucap demikian.

Paradigma yang telah diterima tersebut terkesan dangkal malah untuk dengan mudahnya konflik tercipta. Terlalu banyak orang-orang yang munafik, partisan, yang menyebut dirinya teramat benar. Hipokrit dan ironis memang. “Memanusiakan manusia” memang terdengar abstrak, namun secara umum bisa dimengerti bila kita mampu menguak enigma seseorang, mampu menjadi dirinya pula, melihat “wajah” orang lain. Dan lagi, menurut Emmanuel Levinas, “wajah” merupakan sesuatu yang lebih abstrak namun sangat dalam, yakni keseluruhan orang lain dalam memperlihatkan dirinya pada kita.

Interaksi dan penalaran antara kita dengan manusia lainnya, serta dengan realitas pada masyarakat, seharusnya menjadi lentera kita untuk mampu menjelajah misteri “wajah” (wajah di sini dapat diartikan sebagai apa-apa saja yang muncul pada dirinya, bisa berarti: sikap, kebiasaan, sifat, dll) lawan bicara dan semesta lebih dalam. Tetapi, terjadinya interaksi sarat dilatarbelakangi dengan adanya cara pandang dan hanya mengacu pada hal-hal yang kita perlukan saja. Salah satu contohnya, interaksi yang dilakukan pembeli dan penjual: Ketika pembeli melakukan tawar-menawar, biasanya yang dipikirkan adalah sejauh mana harga yang semurah-murahnya dapat ia capai tanpa memikirkan kondisi hati dari sang penjual.

Banyak orang yang hanya melihat dirinya sebagai yang superior, karena mengaitkan lawan bicara dengan skala-skala normalitas yang ditetapkan si superior. Alhasil, manusia yang memang kodratnya saling berhubungan, malah menciderai kodratnya sendiri dengan skala-skala yang dibuatnya. Manusia merasa memiliki hak prerogatif, hak istimewa untuk menjatuhkan manusia lainnya. Padahal, kita adalah warga semesta, kita tidak lebih tinggi maupun lebih rendah dari manusia dan makhluk lainnya. Yang ada hanyalah persepsi tentang kategori-kategori yang disematkan pada orang-orang lain, dan melatarbelakangi “hak-hak istimewa” tersebut.

Pemikiran yang demikian adalah prahara yang membutakan dan akar sebuah penderitaan. Segalanya memang tak sama, namun pikirkan lebih dalam. Singkirkan dahulu skala-skala yang membatasi ruang gerak pikir manusia. Pikirkan keseluruhannya melampaui batas-batas agama, ras, kebudayaan, strata sosial & ekonomi. Semua ini sebenarnya sama. Semua ini sebenarnya satu. Perbedaan dan pisah-memisah ini sebenarnya hanyalah satu kenampakan indera-indera kita belaka. Tidaklah nyata, semua rapuh dan lemah. Pada dunia yang dinamis ini, dengan berbagai problematika dan seiring berjalannya kehidupan, skala-skala tersebut sebenarnya tidak lebih besar dari apapun. Pemikiran seperti ini yang sebenarnya melahirkan sebuah dehumanisasi. Orang-orang non-kompromistis dan kolot akan sensitif untuk menjaga sesuatu yang abstrak (pemikirannya), sesuatu yang tak tampak dan berbahaya pada awalnya, namun bisa sangat destruktif di akhirannya.

“Bebal Pemikiran Kategoris” ditulis oleh:

Noor Adha Satrio 
Mahasiswa ilmu komunikasi di Universitas Diponegoro Semarang, cukup aktif menulis tentang realita sosial dan latar belakang yang hidup di sekitarnya.whiteboardjournal, logo