Dari Sumba ke Jakarta, Alur Bunyi Menghadirkan Ata Ratu dan Anton Toba Lenda

Music
13.09.19

Dari Sumba ke Jakarta, Alur Bunyi Menghadirkan Ata Ratu dan Anton Toba Lenda

Membawa musik tradisional dan mengawinkannya dengan musik elektronik dari Duto Hardono.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Muhammad Agung
Foto: Muhammad Agung & Goethe Institute Indonesia

Goethe Institute Indonesia kembali menggelar konser bulanannya, Alur Bunyi. Jika sebelumnya GURU, sebuah band situasional yang terdiri dari Mira Rizki, Bayu Pratama, Fahma Rosmansyah, dan Gazza Ryandika dari Bandung sukses tampil bulan lalu, kini giliran dua musisi dari Sumba Timur yang berkesempatan hadir, yakni Ata Ratu dan multi-instrumentalis Anton Toba Lenda bersama seniman interdisiplin Duto Hardono.

Masih dikuratori oleh Harsya Wahono, gelaran bulan ini turut menawarkan eksperimentasi dengan hibriditas. Berangkat dari perkembangan teknologi, kreativitas dalam menciptakan suara dari alat musik tidak umum pun bermunculan, salah satunya dari Duto Hardono, Seniman asal Bandung yang kerap menampilkan kolase bunyi yang diciptakan khusus bagi setiap kesempatannya.

Atas dasar itu, pada episode kali ini, paduan antara Ata Ratu, Anton Toba Lenda dan Duto Hardono memberikan suasana magis lewat suguhan musik eksperimental yang ia berikan secara improvisasi. Hadir dengan konsep unik, konser Alur Bunyi tahun ini berhasil membangunkan kesadaran akan karakter di balik pelaku seni yang akan tampil di rangkaian acara tahun ini.

Menyikapi apa yang didapat dari seniman yang tampil konser Alur Bunyi ini menyatakan bahwa setiap bunyi musik yang keluar dari instrumen itu adalah suatu wujud hidup dari beberapa kumpulan ilusi dan alunan suara/ nada berjiwa sehingga dapat menggerakkan isi hati sang pendengarnya.

Selain itu, lantunan musik anti-mainstream yang ditampilkan ini membuat para penonton yang hadir di GoetheHaus terkagum. Terlebih ketika Mama Ata Ratu dan Anton Toba Lenda ini menyuguhkan sebanyak tiga lagu dalam bahasa Kambera yang diiringi oleh sentuhan magis modular dan synthesizer milik Duto. Modular dan synthesizer miliknya itu menjadi salah satu media pembuka sebelum mereka berkolaborasi dalam waktu selama 2 jam – ini bisa dikatakan adalah konser musik yang jarang terjadi karena mempertemukan pelaku seni musik dari kontemporer dan tradisional jadi satu.

Konser Alur Bunyi inipun turut dihadiri penonton warga asli Sumba Timur yang menyempatkan diri hadir untuk ikut menikmati suguhan musik tradisional dan elektronik kontemporer. Tak hanya itu, terdengar pula teriak-teriakan berbahasa Timur yang terdengar dari arah bangku penonton yang kadang juga diselingi oleh gelak tawa dan sorak sorai, apalagi ketika mama Ata Ratu sedang berbicara dengan Anton Toba Lenda menggunakan Bahasa Sumba, terlihat Mama Ata Ratu merasa butuh menghela nafasnya untuk beberapa menit sebelum memasuki lagu ke 2 dan ke 3, maklum saja faktor umur beliau yang sudah tidak lagi muda.

Sebelum Ata Ratu dan Anton Toba Lenda naik ke panggung, Duto lebih dulu naik panggung dengan memberikan intro intro yang dikeluarkan dari modular dan synthesizer miliknya ditambah dengan tampilan visualisasi bernuansa psikadelia yang apik mengikuti alur ritme musik darinya dan cukup mencuri perhatian para penonton.

Menghadirkan makna akan budaya dari Sumba, pesan moral dan eksperimentasi, Alur Bunyi dan Wahono selaku kurator kali ini sukses memantik diskusi tentang leburnya batas musik dalam meninjau potensi dan konteks dalam bermusik. whiteboardjournal, logo