Gerilya Musikal
Melihat Kembali Esensi Tur sebagai Medium Pembangun Eksistensi
Music itself is going to become like running water or electricity. So it’s like, just take advantage of these last few years because none of this is ever going to happen again. You’d better be prepared for doing a lot of touring because that’s really the only unique situation that’s going to be left. – David Bowie
Semakin hari, perubahan berlangsung semakin cepat, peralihan terjadi diantara kita tanpa kita sadari. Beberapa diantaranya sering tiba-tiba saja terjadi, tanpa aba-aba. Hampir setiap hari, ada hal baru, merevisi versi lama yang lalu usang lekang oleh deru zaman. Jika dulu sebuah tren bisa bertahan dalam tempo yang cukup lama, kini semuanya bermutasi dalam tempo yang semakin singkat. Terhitung, setelah memasuki milenia kedua, pacu perputarannya semakin bergas.
Jika dahulu sebuah pola, terutamanya yang merupakan rangkuman fenomena sosial, bisa berlaku untuk cakupan tempo yang panjang. Sekarang, sebuah pola atau prinsip sosial memiliki masa kadaluarsa yang lebih sempit. Hal ini bisa dilihat pada bagaimana hampir setiap catur bulan akan selalu muncul konsep-konsep baru. Terutamanya bisa dilihat pada prinsip marketing yang selalu mengalami pergeseran pada jangka waktu tertentu. Pola konsumsi yang terus beralih seiring waktu memaksa para pakar untuk mengikuti perubahan tersebut. Satu-satunya hal yang pasti pada era ini adalah perubahan yang akan terus konstan berjalan.
Gelagat yang sama juga terjadi pada scene musik, suka atau tidak, apa yang terjadi pada dunia marketing yang merupakan ikhtisar mengenai pola konsumsi masyarakat juga berdampak pada apa-apa yang berlangsung di scene musik. Tak peduli se-underground atau se-independen apapun scene musik tersebut. Jika di era awal dua ribuan format CD digandrungi, tak lama setelah itu demam piringan hitam mewabah, dan selang sekian tahun dari situ, format kaset kembali dicari. Dalam kurang dari dua dekade, telah terjadi tiga kali pergeseran tren dari bagaimana musik dikonsumsi.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk terus bertahan dalam arus perubahan yang terus bergejolak ini? Belum ada jawaban pasti mengenai perihal ini sampai sekarang. Tapi selalu ada cara untuk bergeming dalam setiap keadaan. Salah satunya adalah dengan melihat kembali esensi-esensi utama dari apa yang dilakukan. Dalam konteks musik, tur adalah salah satu elemen utama yang bisa dilihat sebagai salah satu aktivitas kunci yang mampu membantu musisi untuk membangun eksistensi.
Ada berbagai hal dari aktivitas tur yang bisa membantu musisi untuk mempromosikan musik mereka kepada publik. Penampilan live, sebagai agenda utama dari aktivitas tur adalah kesempatan bagi musisi untuk membawakan karya mereka kepada publik secara langsung. Dari situ, selain musisi akan memiliki peluang untuk menjaring pendengar baru di luar area domisili asli sang musisi, tur juga merupakan sebuah pertanggungjawaban karya pada khalayak. Selain itu, melalui tur, musisi juga berkesempatan untuk menjalin hubungan dengan penggemar, sekaligus networking pada komunitas di berbagai daerah secara langsung, sebuah hal yang semakin mahal nilainya pada era social media ini. Dengan interaksi yang nyata tersebut, akan terbangun hubungan yang lebih lestari antara pihak-pihak di dalamnya. Karena jelas, relasi yang dibangun melalui aktivitas di dunia nyata jelas akan lebih berarti daripada hubungan sebatas pertemanan sosial media saja.
Pada scope yang lebih luas, aktivitas tur masih menjadi salah satu aktivitas utama yang dijalani oleh musisi di belahan dunia manapun. Berbagai nama mulai dari band paling berisik hingga diva bersuara merdu seperti Taylor Swift, atau Katy Perry pun menjadikan tur sebagai agenda pasti mereka setiap tahunnya. Intensitas tur akan semakin bertambah ketika musisi terkait dalam masa promo album yang baru saja dikeluarkan. Bisa dibilang, tur adalah salah satu dari tiga aktivitas utama musisi selain membuat lagu dan rekaman.
Tapi entah kenapa, budaya tur tak terlalu populer di scene musik Indonesia. Mungkin hanya musisi dari scene hardcore-punk yang masih cukup intens dalam menjadikan tur sebagai aktivitas wajib. Di genre lain, cukup jarang ada band/grup musik yang berkenan untuk menjalankan kegiatan gerilya musikal tersebut. Ada berbagai alasan yang mendasari minimnya tur ini. Alasan seperti kesibukan, dailyjob, hingga minimnya venue konser di daerah-daerah di Indonesia adalah beberapa reasoning yang mendasari sepinya kegiatan tur musik.
‘Easy’ is not a word I would ever use to describe touring. – Rivers Cuomo
Padahal, jika memang ada niat yang kuat, selalu ada cara untuk menjalaninya. Toh, kita tidak sedang membicarakan tur dengan level Yeezy tour atau Prismatic Tournya Katy Perry yang super kompleks. Dalam kerangka tur untuk band independen, segalanya bisa dilakukan dengan lebih sederhana. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari teman-teman dari scene hardcore-punk yang selalu taktis dalam merancang sebuah tur. Salah satunya adalah untuk memanfaatkan kafe, basement kampus atau bahkan studio-gigs yang bisa diadaptasi untuk menyiasati minimnya venue musik di beberapa daerah. Dengan begitu, tur bisa dilakukan pada cakupan kota yang lebih luas, tak hanya melulu pada kota-kota besar.
Yang menarik dari fenomena tur musik di Indonesia adalah bahwa kebanyakan inisiatif untuk menggagas tur justru muncul dari nama-nama lama. Dalam sekian tahun ke belakang, tur musik di luar genre hardcore punk kebanyakan diisi oleh band-band yang tak terlalu muda, inisiatornya pun pada umumnya adalah manajer band atau unit independen seperti teman-teman dari zine wastedrockers atau record label tertentu yang telah cukup lama malang melintang di scene musik lokal (termasuk salah satunya tur RuRu Radio yang berjalan pada awal September ini).
Fenomena ini menarik karena hal ini menunjukkan kepada kita fakta bahwa tur musik di Indonesia justru dilakukan oleh individu-individu dengan usia matang yang harusnya secara teori lebih tidak rasional untuk melakukan tur ketimbang band-band baru. Hal ini juga menunjukkan bahwa kesibukan, tanggung jawab sehari-hari dan segala macam masalah diantaranya sebenarnya bukan merupakan alasan bagi musisi untuk tidak melakukan tur. Jika selama ini hanya nama-nama lama yang dianggap mampu melakukan tur dengan alasan bahwa nama-nama lama tersebut telah memiliki jaringan dengan teman-teman di berbagai kota tujuan tur, sebenarnya premis ini juga tak sepenuhnya valid. Di era sekarang ini, koneksi jelas bukan merupakan masalah besar, dengan pendekatan yang tepat, relasi bisa dibangun (toh jika memang membutuhkan koneksi, saya yakin, “orang-orang lama” tadi pasti akan dengan senang hati membaginya pada kolektif baru yang membutuhkannya).
Ke depan, akan sangat menarik bila musisi, utamanya unit-unit baru, mulai kembali melihat tur sebagai salah satu aktivitas esensial bagi karir mereka. Diharapkan dengan demikain, akan muncul nama-nama baru yang mampu memunculkan karya-karya yang lebih menarik dari yang pernah ada. Dan dengan jaringan musikal yang semakin luas, siapa tahu nantinya persebaran musik tak akan melulu terpaku pada geng Jakarta dan Bandung saja. Yaa.. Siapa tahu.