Keajaiban Lain di Pasar Senen

Column
09.03.17

Keajaiban Lain di Pasar Senen

Masa Lalu dan Masa Depan.

by Whiteboard Journal

 

Ada satu pameo tentang Pasar Senen yang khas di kalangan masyarakat urban, “paling barang lu ada di Senen”. Pameo itu merujuk pada hilangnya barang kepemilikan seseorang. Sedangkan, Senen sendiri mengarah pada Pasar Senen, tempat segala macam barang ada atau palugada (apa lu mau, gua ada), dengan harga yang jauh di bawah rata-rata. Mulai dari pakaian import, kaca mata Rayban, jaket Adidas, sampai jasa memasak merk-merk terkenal dunia tersedia di Pasar Senen.

Berdasarkan sejarahnya, Pasar Senen berdiri sejak tahun 1735 dan hanya dibuka pada hari Senin. Karena menjadi daya tarik banyak orang, sejak 1776 Pasar Senen dibuka untuk hari-hari lain. tidak tanggung-tanggung, sekelas Soekarno dan Hatta dikabarkan pernah mengunjungi Pasar Senen untuk mengadakan pertemuan(1). Sebab, pada zaman kemerdekaan, Pasar Senen dianggap sebagai tempat berkumpulnya intelektual-intelektual bangsa karena lokasinya berdekatan dengan Stovia.

Pasca era kemerdekaan, Senen menjadi tempat berkumpulnya seniman, seperti Si Binatang Jalang. Tak jauh dari Pasar Senen memang terletak tempat pementasan satu-satunya kala itu, gedung keseninan Pasar Baru, dan studio film Golden Arrow. Seniman yang berkumpul di sini disebut Anak Senen. Sebuah sebutan bagi seniman yang erat kaitannya dengan pakaian yang compang-camping, rambut acak-adul, bahkan disebut sebagai seniman jadi-jadian. Tapi, Senen adalah batu pertama munculnya seniman-seniman besar. Senen ibaratkan busur yang melatih anak panah (seniman muda) yang baru meniti karir, baik sebagai pemain teater/film, penulis naskah, seperti Sukarno M. Noor dan Misbach Yusa Biran.

Misbach Yusa Biran dalam bukunya Keajaiban di Pasar Senen menyiratkan bahwa seniman Senen bukanlah seniman biasa. Anak Senen adalah orang-orang dengan urat malu yang sudah putus. Hal-hal seperti pementasan tanpa modal, mendirikan majalah, sampai sandiwara monolog dilakukan dengan modal keberanian saja. Orang-orang itu meyakini bahwa setiap yang masih bernyawa tentu masih ada rezekinya(2).

**

Semasa sekolah, saya beberapa kali mengunjungi Pasar Senen. Alasannya sederhana, barang-barang yang dijual cukup murah dan banyak pilihan. Barang-barang seperti pakaian, kaset, dan buku diobral dengan harga murah. Soal kualitas, bukan hal yang harus diutamakan sebab sebagaimana prinsip belanja di pasar, teliti adalah kunci. Kita bisa saja dapat barang bagus serupa beli di pasar swalayan atau bisa saja mendapat barang dengan penuh kecacatan. Tapi, sepanjang saya ke sana, pengunjung yang datang tidak direpotkan dengan kualitas A ataupun kualitas B, mereka lebih memilih barang yang pada dasarnya mereka cari, sekalinya cocok, beli.

Di Pasar Senen saya bisa mendapatkan banyak barang dengan modal tidak banyak. Sekali waktu saya pergi ke sana membeli tiga buah buku dan satu jaket, tidak lebih dari seratus ribu rupiah. Jika saya bisa piawai menawar, mungkin saya bisa dapat dengan harga yang lebih murah lagi. proses tawar menawar yang terjadi di pasar menjadi arena debat kecil yang menarik bagi saya.

Satu waktu saya pernah menawar barang di salah satu kios pakaian, “berapa ini, bang?” sambil mengangkat baju yang saya pilih.

Sambil menghitung uang di tangannya, ia menjawab “tujuh puluh ribu, mas”.

Angka yang ditawarkan terlalu tinggi, saya mencoba menawar, “dua puluh ribu, deh, bang” ia berhenti menghitung uangnya

“astagfirullah, mas” nafasnya dikeluarkan panjang.

Mereka yang enggan menawar, akan pasrah dengan harga yang diberikan. Sedangkan, mereka yang melakukan berbagai cara untuk menawar harus berhadapan dengan argumen penjual yang mempertahankan harganya. semisal, pembeli merasa barang yang dipilihnya cocok dan mencoba menawar dengan harga yang murah. Penjual menginginkan barangnya laku, tetapi juga ingin untung yang tidak sedikit. Saya tidak akan membahas siapa yang mesti mengalah atau siapa yang harus menang. Tapi, Interaksi dalam proses tawar menawar menjadi arena debat kecil yang memperlihatkan kondisi di luar dalam skup yang lebih luas.

Dalam blognya(3), Marco Kusumawijaya pernah menuliskan bahwa kota memang berhulu pasar, dan pasar berhilir kota. Artinya, kota terbentuk atas dasar adanya cikal bakal pasar dan pasar mendorong terbentuknya kota. Pasar adalah diorama sebuah kota. Di pasar, setidaknya menunjukkan bagaimana kota dihidupi, sebuah kota dibentuk, atau selintas memperlihatkan masa depan. sifat kota tampil dengan jujur di pasar. Yang terjadi dengan pasar adalah cerminan dari yang terjadi di sebuah kota.

Saya melihat dari kejauhan gumpalan asap hitam menuju ke atas. Sirine mobil pemadam kebakaran bekejar-kejaran menuju bangunan tersebut. Kebetulan arah saya sejalan, saya mengikuti di belakang. orang-orang nampak berkurumun sambil memandangi ke arah bangunan yang terbakar itu seolah apinya bagai sirkus yang layak untuk dinikmati. Tak jauh dari lokasi kejadian, saya baru sadar, Pasar Senen kembali terbakar.

Saya ingat, Pasar Senen bukan kali pertama kebakaran. Bangunan itu setidaknya sudah lebih dari tiga kali terbakar. Ajaibnya, ia tetap ada sebagaimana Biran mengiaskan seniman-seniman Senen. Tapi, kini lain, bangunan yang catnya sudah banyak mengelupas itu diisukan akan dijadikan apartemen(4) atau dalam berita lain disebutkan akan terintegrasi dengan apartemen. Keduanya, bagi saya sama saja.

Potret kebakaran pasar secara tiba-tiba kerap terjadi di beberapa daerah. Asumsi-asumsi yang berkeliaran tentang mendadaknya sebuah pasar kebakaran bukanlah tanpa sebab. Sebut saja, Pasar Turi, Surabaya, sebelumnya pernah terjadi kebakaran. Beberapa waktu kemudian dibangun kembali dan pedagang harus menanggung biaya sewa yang tinggi. Yang terjadi dengan Pasar Senen kurang lebih sama. Apartemen malah ikut tumbuh, sementara nasib pasarnya belum jelas.

Pembangunan apartemen di samping Pasar Senen menguatkan jarak jukstaposisi di antara kedua bangunan tersebut. Pasar Senen yang dikenal dengan pasar rakyat inipun harus berdampingan dengan bangunan mayoritas kaca-kaca besar yang berkilau begitu sinar matahari tiba seperti menunjukkan kemajuan sebuah kota. Sementara, dengan kondisi yang belum jelas, Pasar Senen harus mengimbanginya.

Saya melihat paradoks sebuah kota dari bangunan-bangunan yang tumbuh. Kota kerap getol membangun pusat belanja atau hunian kelas menengah seolah tanpa bangunan itu belum afdol disebut kota. Kota kemudian menjadi arena homo homini lupus (manusia sebagai serigala bagi lainnya) ditandai dengan bangunan-bangunan tersebut. makna pusat kota lantas berubah menjadi pusat komersial semata.

Dengan keterlibatan pihak ketiga, pembangunan properti menjadi arena kompetisi bukan lagi interaksi. Etalase-etalase bangunan kemudian menjadi gap kaum elit dengan realitas yang ada. Jakarta menjadi asing dengan segala bentuk bangunannya. pada posisi itu, Jakarta gagal menciptakan kondisi homo homini socious (manusia yang bersahabat dengan yang lain). arena pertarungan khas penjual dan pembeli yang menawar harga berubah menjadi arena pertarungan serigala satu dengan serigala lainnya. lantas, kota terejawantahkan dalam “aku dan dia”, bukan “kita”.

**

Penting menghadirkan pasar di kota. Di pasar kita bisa menemukan interaksi yang tak pernah putus antara penjual dan pembeli. Ia bukan lagi dilihat sebagai pion-pion perkotaan. Seharusnya, Pasar Senen dilihat sebagai sebuah ruang publik bersama yang pembangunannya diutamakan, seperti halnya taman atau kampung. Perubahan pada ruang-ruang tersebut akan menentukan bagaimana sebuah kota dibentuk di masa depan. apakah kota menjadi lebih baik atau buruk akan terlihat ketika mengurusi ruang-ruang bersama itu.

Boleh jadi apa yang dituliskan Biran tentang Anak Senen ada benarnya. Seniman Senen bukanlah orang-orang yang datang dengan sengaja menduduki satu tempat lalu membuat kelompok-kelompok kecil. di Senen, mereka kumpul tanpa kesengajaan. Bermula dari kumpul di warung makan kecil-kecilan sampai membuat kegiatan seni.

Begitupun mereka yang kini datang ke Senen. Dengan segala kepentingannya, memainkan sandiwara-sandiwara kecil dengan keberanian juga modal. Kisah yang kemudian menceritakan Senen kembali terbakar, lalu muncul dengan narasi-narasi baru yang menjadi ancaman bagi hak-hak pedagang. Tapi, ini bukan hal yang aneh. Biran juga menuliskan kalau di Senen juga kumpul tukang catut dan pencoleng. Mereka duduk bersama seniman di tempat-tempat makan. Barangkali itu salah satu keajaiban yang terjadi di Pasar Senen.

Pameo tentang Pasar Senen mencuat diingatan saya. Lalu, jika pedagang tak lagi punya lapak, akan ke mana pameo itu tertuju? Entahlah.

(1) Sumber https://www.merdeka.com/peristiwa/pasar-senen-dulu-tempat-tongkrongan-preman-hingga-seniman.html diakses pada tanggal 20 Februari 2017
(2) Biran, Yusa Misbach. 1971. Keajaiban di Pasar Senen. Pustaka Jaya: Jakarta
(3) http://mkusumawijaya.wordpress.com
(4) http://bisnis.liputan6.com/read/2863238/pasar-senen-bakal-dibangun-apartemen-ini-kata-pedagang

“Keajaiban Lain di Pasar Senen” ditulis oleh:

Rivanlee Anandar 
Bekerja sebagai staff divisi advokasi hak ekonomi dan sosial, KontraS, penikmat kopi di waktu luang, dan biasa menulis di blog pribadi.whiteboardjournal, logo