Lirik, Lagu dan Sebagainya

Column
08.10.15

Lirik, Lagu dan Sebagainya

Menulis lagu dan Bahasa Indonesia.

by Ken Jenie

 

Seperti yang bisa dibaca pada halaman Focus kami, RRRec Fest in the Valley tahun ini adalah sebuah festival yang sukses dari berbagai macam sudut pandang. Meskipun acara ini mengutamakan musik sebagai daya tariknya, konten acara RRRec Fest lebih luas jangkauannya dari sekedar pertunjukan musisi-musisi di lingkungan lembah Tanakita, Sukabumi. Di antara alunan musik dari berbagai macam musisi dan seleksi lagu dari para disc jockey yang memeriahkan festival RRRec Fest in the Valley, panitia menggelar berbagai workshop yang memberi nilai tambah kepada acara alam dan musik ini. Dari topik mengenai festival di Asia Tenggara, perubahan iklim, hingga menanggapi toleransi dan intoleransi di kehidupan sehari-hari, konten yang bertujuan untuk memperkaya perspektif peserta, setara esensinya dengan rekan pertunjukan musiknya yang menghibur.

Salah satu workshop yang paling menarik bagi saya adalah “Lirik-Lirikan.” Sebuah loka karya yang menampilkan Jimi Multhazam, Harlan Boer dan Cholil Mahmud sebagai pembicara dan dimoderasi oleh Keke Tumbuan ini membahas penulisan lirik, khususnya mengenai lirik dalam bahasa Indonesia. Deskripsi “Lirik-Lirikan” di katalog RRRec Fest seperti berikut:

“Ada begitu banyak musisi atau band sekarang, dan ini membuat cukup sulit bagi musisi untuk terus eksis atau membangun karir dalam jangka panjang. Tapi lirik yang baik dapat membuat perbedaan.”

Saya sangat setuju dengan statement bahwa lirik yang baik, seperti konten musikal yang baik, bisa membuat perbedaan dalam membangun karir berjangka panjang. Yang dibilang baik tentunya tergantung kepada persetujuan kolektif masyarakat luas, dan bukan berarti bahwa lagu yang baik tidak bisa memiliki konten sekaligus lirik yang dianggap ‘dangkal.’ Tetapi entitas pencipta musik yang memiliki kapabilitas menulis lagu dengan kriteria-kriteria yang dianggap sebagai ‘baik’, akan memiliki sumber/kekayaan yang bisa dikembangkan dalam jangka panjang karir penulisan lagu-lagu – dan, salah satu aspek konten ini adalah lirik.

Sebagai penulis lagu, saya terbiasa menulis lirik dengan Bahasa Inggris yang memang saya pakai di mayoritas kehidupan saya. Tetapi semenjak berdomisili di Jakarta, menulis lirik dalam Bahasa Indonesia menjadi sebuah keinginan baru yang belum bisa terwujud hingga sekarang. Alasan menggunakan sebuah bahasa, tentunya tidak lepas dari fungsi komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak hanya menyampaikan ide dalam bentuk kalimat layaknya dari A ke B, bahasa, setidaknya bagi saya, juga mengandung dimensi collective memory – baik melalui kata dan kalimat yang bereferensi kepada pengalaman yang dirasakan bersama, maupun pelafalan juga suara yang menimbulkan perasaan yang terikat kepada budaya tertentu.

Dalam penulisan lirik, pelafalan pun bisa memiliki ritme yang bernilai musikal. Saya sering menyamakan lafal dengan ritme perkusi, apalagi untuk musik seperti hip hop yang dimana penyampaian lirik lebih menyerupai percakapan dan membaca puisi daripada nyanyian. Kadang di musik seperti hip hop, kombinasi kata-kata dalam sebuah kalimat bisa secara alami menentukan bunyi ‘flow-nya,’ dan untuk penulisan lirik secara umum, ini hal yang sangat menarik karena kata-kata yang dipilih bisa menjadi nadi bagi sebuah lagu.

Menghadiri workshop “Lirik-Lirikan” adalah salah satu upaya saya untuk membawa pulang sedikit ilmu yang membuat Jimi, Harlan, dan Cholil menjadi lirikus-lirikus yang hebat. Saat berusaha menulis lirik dalam Bahasa Indonesia, saya menghadapi masalah-masalah dalam ruang lingkup yang saya bahas di atas, dan saya berusaha mencari jawaban dari permasalahan tersebut pada diskusi ini.

Jimi Multhazam menjelaskan kata-kata yang dia nyanyikan di band-bandnya, Morfem dan The Upstairs, dengan anekdot pengalaman-pengalaman yang dia hadapi. Salah satu yang menarik adalah ketika Jimi menjadikan perjalanan hidup Reza ‘Asung’ Afisina, teman dekatnya, untuk menjadi seorang seniman dalam lagu “Rayakan Pemenang.” Jimi juga sempat bercerita mengenai metodenya saat membuat lagu di studio latihan, Jimi akan bernyanyi dalam bahasa broken dan kemudian akan mengisi dan memperbaiki dengan liriknya di hari yang lain.

Harlan Boer, mantan vokalis band C’Mon Lennon yang sekarang beralih menjadi musisi solo, memberi penjelasan mengenai penulisan lagu, dimana sebuah narasi fiktif bisa beresonansi dengan benak pendengar karena alur cerita dan situasi yang mampu membangkitkan kenyataan/memori bagi pendengarnya. Saat Harlan menulis lirik lagu “Aku Cinta J.A.K.A.R.T.A” dia bercerita bahwa dia mencari suasana yang bisa mendeskripsikan keriuhan pertandingan sepak bola Jakarta dengan mengingat pengalaman dia menonton pertandingan di Surabaya.

Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca kemudian menjelaskan peran lirik dalam penulisan lagu. Dalam membuat lagu Efek Rumah Kaca, Cholil menganggap lirik sebagai elemen lagu yang bisa diubah setelah musik sudah ditentukan, jadi proses pembentukan konten lirik terjadi setelah instrumentasi dan melodi vokal sudah ditentukan. Dia juga bercerita mengenai bagaimana kebiasaannya untuk membaca koran sejak kecil mempengaruhi gaya tulisan liriknya.

Meskipun dalam sesi ini Cholil menjelaskan mengenai caranya untuk dalam penulisan lirik, sesi diskusi “Lirik-Lirikan” cenderung mengarah pada bahasan mengenai asal dan pengolahan konten lirik berdasarkan pengalaman dan cara pandang masing masing pembicara. Poin-poin yang Jimi, Harlan, dan Cholil utarakan sangat menarik, khususnya bagi saya, karena memang pada akhirnya pengamatan mengenai lirik akan dimulai dengan ide dan pesan yg ditemukan di dalam lirik itu sendiri. Sesederhana dan sejelas hal ini, cara saya untuk menghadapi menulis lirik berbahasa Indonesia tertera pada poin-poin mengenai pelafalan dan hubungannya dengan musikalitas sebuah bahasa sendiri. Bisa dibilang dalam hal ini, saya terlalu mementingkan medium komunikasi sehingga ide yang ingin disampaikan justru terabaikan. Tentunya, sebuah tulisan bisa beranjak dari dan kemudian bermain dengan parameter suatu bahasa (yang mungkin kita bisa bahas di artikel Column mendatang), tetapi untuk amatir seperti saya, mungkin yang paling penting adalah untuk mulai dari menyampaikan sebuah ide – dan ini yang saya dapat dari workshop “lirik-lirikan.”

Dalam proses menjelaskan sebuah topik, penulis akan menghadapi pilihan-pilihan gaya penyampaiannya, dan seringkali gaya ini akan muncul alami dari penulis itu sendiri. Seperti yang sempat saya tulis di “Music, Mood, and So What,” musik mampu menyajikan suasana, dan gaya bahasa secara terus terang, maupun secara puitis atau abstrak, adalah sebagian dari penyampaian suasana itu sendiri. Di dalam cara penyampaian suasana ini, kemahiran bahasa penulis lirik akan teruji.

Lirik sebuah lagu adalah elemen yang bisa mengangkat dan memberi arti lebih kepada musik. Tidak lepas dari sifat sebuah instrument, tata kata dan pelafalan sebuah bahasa memiliki musikalitas dan bisa membangun sebuah suasana. Juga harus diingat bahwa bahasa adalah medium komunikasi sebuah ide, dan ide ini, bersama dengan dengan kemahiran gaya berbahasa musisi ini yang akan menentukan kualitas konten lirik di dalam sebuah lagu.

Terima kasih untuk penyadaran ini.whiteboardjournal, logo