Menghidupkan Kembali “Chungking Express”

Column
08.03.18

Menghidupkan Kembali “Chungking Express”

Napak Tilas Wong Kar-wai Di Antara Gedung Pencakar Langit

by Whiteboard Journal

 

Sore itu saya meneguk teh hangat sembari menatap layar laptop dengan tatapan heran. Saya baru saja membeli tiket pesawat menuju Hong Kong untuk tiga malam. Kali ini motifnya bukan hanya sekadar liburan, melainkan sebuah misi yang saya ciptakan sendiri. Awalnya didorong oleh ketidaksengajaan saya menemukan salah satu film terbaik Wong Kar-wai, yaitu “Chungking Express”. Film itu tidak hanya menyampaikan dilema seseorang dalam mencinta, tetapi sebuah off-screen dilemma. Tetapi tentunya, kisah-kisah tersebut tidak akan terwakilkan dengan baik tanpa dukungan latar tempat.

Saya kemudian memutuskan untuk menyusuri langsung beberapa tempat pengambilan gambar dari film “Chungking Express”. Walaupun bukan tempat ikonik seperti Hard Rock Cafe atau Victoria Peak, kesederhanaan lokasi shooting seperti California Restaurant pun bisa menjadi sesuatu yang menarik berkat sinematografinya. Di sekitarnya, terdapat panorama gedung pencakar langit yang sudah menjadi ciri khas kota Hong Kong. Beberapa latar tempat dari film tersebut sudah rata dengan tanah. Ini agak mengejutkan namun pada saat yang sama, membuat penasaran. Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan New York Times, Kar-wai mengaku bahwa latar tempat patut diabadikan sebagai nilai sejarah yang orisinil. Apalagi beberapa di antaranya telah memberikan kesan pribadi untuknya selama ini. “Things change so fast in Hong Kong. I know it will all be gone soon,” ujarnya. Berdasarkan hal tersebut, siapa sangka saya malah menemukan kemiripan dilema eksistensi manusia dengan pergedungan di Hong Kong dalam perjalanan saya kali ini?

Rasa kejut masih di dada saat mendapati kondisi California Restaurant dan Midnight Express yang sudah beralih fungsi. Masing-masing telah disulap menjadi sebuah restoran dan sebuah kedai minimarket 7/11. Sepulangnya, saya melakukan riset berbuah sebuah teaching kit yang disusun oleh beberapa peneliti dari University of Hong Kong yang berjudul “Hong Kong Today: Conservation Policy in Hong Kong”. Pada satu bagian dari buklet tersebut; tepatnya pada halaman 11, terdapat beberapa pertanyaan yang memberikan publik sebuah ruang untuk mempertanyakan alasan kelayakan sebuah gedung untuk diruntuhkan.

Dari yang saya amati, gedung-gedung di Hong Kong banyak sekali yang terlihat tua, tetapi masih berdiri kokoh walau tak beroperasi. Kebanyakan di antaranya merupakan saksi bisu berbagai peristiwa penting di Hong Kong – seperti demonstrasi yang dilakukan penganut sayap kiri, Hong Kong 1967 Leftist Riots. Jika dikaitkan dengan kehidupan modern, dan jika gedung-gedung ini memiliki perasaan, mereka bisa diibaratkan sebagai manusia yang merasa belum menemukan arti atau tujuan yang pasti dalam hidupnya. Istilahnya – mati segan, hidup pun tak mau. Lantas, berbagai pertanyaan pada halaman itu pun malah balik membuat saya bercermin.

“Is there already a lot of traffic?”

Hong Kong memang selalu menjadi sebuah kota yang menjadi pendengar setia dari perbincangan antara dua masa; masa lampau dan masa kini – dalam membahas kelayakan eksistensi mereka. Tanpa saya sadari, perbincangan itu malah bertanya balik kepada saya. “Would you do any good to the people around you?”

Saat itu saya sedang menyusuri gang pasar Graham Street – salah satu lokasi shooting “Chungking Express” ketika Faye secara ‘tidak sengaja’ bertemu Cop 663 yang sedang menyantap makan siang. Tempat ini sepertinya memang selalu penuh, bahkan kumuh. Pastinya juga menimbulkan macet. Tetapi tempat ini masih menjadi destinasi paling dituju oleh turis karena nilai sejarahnya yang tak terhingga. Dengan antusiasme para pengunjung, sepertinya pemerintah memutuskan untuk memperbaharui wajah salah satu landmark terkenal di Hong Kong ini. Salah satunya, dengan memberikan graffiti berwarna pada tembok-temboknya.

Benak saya pun terusik oleh besarnya apresiasi yang ditujukan pada tempat ini. Jika pasar ini diibaratkan sebagai manusia, pastilah ia seseorang yang mampu mengalihkan dunia banyak orang. Bukan, bukan iri. Saya hanya terpikir secara objektif, apakah akan ada yang mengenali dan menghargai potensi diri saya sebesar itu? Apakah yang saya miliki cukup menarik? Karena, kerumunan manusia tidak akan berkumpul dan berpusat pada satu tempat, sesuatu atau seseorang jika apa yang mereka kerumuni tidak menarik, bukan?

“What are the neighbouring buildings like?”

Pertanyaan tersebut malah berbisik dan kembali bertanya pada saya. Bunyinya mirip seperti, “Orang-orang seperti apa yang berada di dalam kehidupan Anda?” – seakan memaksa saya untuk kembali ke masa kecil dan mengurutkan daftar orang yang pernah hadir di dalam hidup saya. Dipikir-pikir, lucu juga. Dulu orang tua sering bilang sambil melambaikan tangannya ketika saya hendak berangkat ke sekolah, “Kalau main, nggak boleh pilih-pilih, ya!”. Tetapi ketika saya beranjak dewasa, wejangan itu berubah menjadi, “Kalau kenalan sama orang, dipilih-pilih dulu, ya.”

Kalau saja gedung-gedung ini dapat berbicara, mungkin mereka akan mencari teman se-per-gedung-an sesuai pilihan masing-masing. Ketetapannya berpijak pada sebuah posisi bagi para gedung ini adalah mutlak, stagnan. Dan pada kenyataannya, mereka tetap merupakan benda mati yang tidak memiliki hak apapun atas hidupnya. Berbeda dengan kehidupan manusia yang lebih kompleks. Setiap pertemuan rasanya memang hampir selalu di luar kendali manusia. Mereka tidak dapat memilih urutan manusia lain yang akan mereka temui setiap saatnya. Walaupun mungkin, manusia mungkin masih diberi sedikit kelonggaran dalam menyesuaikan lingkungan sekitarnya sesuka hati. Dan terkadang, tidak semuanya ditakdirkan untuk menetap. Maka prinsip “pilih-memilih” itu rasanya invalid. Sebuah perpindahan dalam kehidupan manusia merupakan sebuah hal yang pasti – tanpa rencana atau peringatan sebelumnya. Di balik setiap pertemuan akan muncul sebuah perpisahan. Siklus itu tampaknya tidak akan berhenti.

“Do you notice anything special in the area?”

Perpindahan. Salah satu daya tarik utama dari gedung-gedung di Hong Kong. Tanpa disadari, keberadaan mereka selalu berdampingan dengan kehidupan manusia – bahkan terkadang beberapa di antaranya mampu memberikan kesan personal. Warisan, khususnya, sudah menjadi tolak ukur eksistensi keduanya. Mengingat soal gedung-gedung yang saya kunjungi, masing-masing telah diruntuhkan dan dialihfungsikan. Wong Kar-wai beruntung sempat mengabadikan tampilan retro dua lokasi tersebut dan memuatnya ke dalam “Chungking Express” – sehingga mampu memberikan cerminan keadaan hidup di Hong Kong pada masa itu. Keberadaannya memang tak lagi kasat mata, tetapi itulah daya pikatnya – walau hanya dianggap menarik oleh segelintir orang.

Begitu pula dengan manusia. Terkadang manusia mengharap tanggapan orang lain dalam memberikan validitas terhadap tujuan hidupnya. Seakan selalu ingin orang lain mengingat segala bentuk kontribusi yang ia berikan. Baik untuk dirinya sendiri, maupun orang lain. Memikirkan kelebihan dan kekurangan masing-masing, mengkategorikan setiap individu yang hadir berdasarkan dampak yang mereka berikan – berharap agar identitas serta tujuan hidupnya konsisten. Bahkan tak jarang, mereka pula yang pada akhirnya menciptakan kehidupan yang penuh pretensi. Hal inilah yang sering memicu timbulnya krisis eksistensialisme seseorang.

Kalau dipikir-pikir, cukup aneh. Bahwa film “Chungking Express” mampu menimbulkan berbagai pertanyaan tentang eksistensi manusia kepada orang-orang yang memang mau terjun langsung ke lapangan. Setiap tempat memiliki ceritanya masing-masing. Bedanya, gedung-gedung itu tidak memiliki kemampuan untuk memberikan solusi pada krisis eksistensialisme yang mereka alami, sedangkan manusia dapat mengubahnya 180 derajat jika mereka mau. Gedung-gedung yang tampak hadir pada film ini pun tidak hanya memberikan intensitas terhadap kisah para tokohnya, namun juga mempengaruhi cara pikir manusia yang seringkali lupa akan potensi diri yang mereka miliki dalam menentukan arah hidupnya.

“Menghidupkan Kembali ‘Chungking Express'” ditulis oleh:

Anindita Salsabila
Mahasiswi University of Melbourne dengan jurusan yang namanya sulit diingat. Memiliki kerinduan yang mendalam terhadap ayam goreng dan sambal matah di sela-sela waktu kuliahnya.whiteboardjournal, logo