Belajar Dari Para Punakawan

Column
31.03.16

Belajar Dari Para Punakawan

Tokoh Perwayangan dan Keseharian kita.

by Whiteboard Journal

 

Alkisah, Gareng sedang kebingungan. Menjelang Lebaran, ia belum sempat membelikan pakaian ataupun sepatu baru pada anaknya. Ia pun menceritakan masalah ini pada Bagong.

“Anakku minta sepatu sandal. Ukurannya 37.”

“Ya sudah, gampang. Beli saja sama saya.”

“Berapa?”

“150 ribu.”

Tak berpikir lama, Gareng segera menyerahkan uangnya pada Bagong. Lalu, Bagong pergi sesaat mengambil sepatu sandal, memasukkannya ke dalam bungkusan, dan menyerahkannya pada Gareng.

Sejurus kemudian, Gareng segera pulang ke rumah. Ia buka bungkusan dari Bagong dan hendak memanggil anaknya. Namun, Gareng terkejut bukan main. Setelah dibuka, ternyata isinya adalah sebuah sepatu dan sebuah sandal. Yang sepatu berukuran 7, sedangkan sandalnya berukuran 3.

Gareng pun cuma bisa garuk-garuk kepala.

Kisah antara Gareng dan Bagong di atas adalah adaptasi versi ringkas dari kisah aslinya di sini. Tak ayal, kedua tokoh itu memang kerap mengocok perut kita dengan berbagai kekonyolannya. Belum lagi bila ditambah dengan Petruk dan Semar, maka lengkaplah sudah empat punakawan golongan kesatria yang kerap hadir dalam kisah pewayangan Jawa Tengah.

Secara etimologis, punakawan berasal dari kata “puna” yang berarti terang, dan “kawan” yang berarti teman. Karena itu, bisa dikatakan bahwa punakawan adalah teman hidup yang senantiasa mendampingi kita menuju jalan terang. Walau begitu, ada beragam versi tafsir berbeda atas pemaknaan secara etimologis tersebut.

Dalam kisah pewayangan, Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, digambarkan sangat setia mengawal kesatria yang menjadi tuannya – umumnya kesatria itu adalah Arjuna. Masing-masing memiliki karakternya sendiri yang unik hingga mampu memancing gelak tawa penonton, pun memberikan pesan moral dengan makna mendalam. Biasanya, kisah wayang ini bersumber dari naskah Mahabharata dan Ramayana asal India. Walau begitu, sesungguhnya empat tokoh punakawan tidak ada dalam naskah asli kedua cerita tersebut.

Konon, mereka adalah tokoh ciptaan Sunan Kalijaga pada akhir abad ke-15. Saat itu memang Hindu adalah agama utama di Pulau Jawa. Pertunjukan wayang pun jadi salah satu sarana penyampaian nilai-nilai dan ajaran Hindu di tengah masyarakat. Karena itu, Sunan Kalijaga menciptakan tokoh punakawan dengan akal, akhlak, dan adab Islam untuk menarik minat rakyat untuk mengenal lebih jauh serta meyakini ajaran Islam.

Menurut cerita yang beredar, nama Semar diambil dari kata “samara” dalam bahasa Arab yang berarti bergegas. Semar sendiri digambarkan sebagai kakek tua gemuk yang bijaksana dan begitu dihormati. Ia selalu berlaku jujur, rendah hati, dan mengayomi sesama. Karena itu ia kerap diminta jadi penasihat para kesatria.

Lalu nama Gareng, anak pertama Semar, diambil dari kata “khair” yang berarti kebaikan. Ia tak pandai bicara sehingga kerap bersikap serba salah. Selain itu, ia digambarkan memiliki cacat fisik, tepatnya di kaki, tangan, dan mata.

Sedangkan Petruk, anak kedua Semar, namanya berasal dari kata “fat ruk” yang berarti tinggalkanlah. Ia merupakan tokoh yang nakal, tapi cerdas dan pandai bicara. Karena itu ia sering menyindir ketidakbenaran dengan kata-katanya yang tajam. Sosoknya tinggi, kurus, serta berhidung dan berlengan panjang.

Sementara itu nama Bagong, sang anak bungsu, berasal dari kata “ba gho ya” yang berarti perkara buruk atau kejelekan. Ia berbadan gemuk dan bulat mirip Semar. Namun sifatnya lancang dan suka berlagak bodoh. Ia kerap bercanda dalam situasi segenting apa pun.

Maka, bila tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong disusun secara berurutan, nama mereka bisa diartikan secara harfiah jadi “bergegas menuju kebaikan, tinggalkanlah kejelekan”. Kehadiran mereka pun jadi penting dalam kisah pewayangan Jawa. Masing-masing saling melengkapi satu sama lain.

Tak hanya dalam kisah pewayangan, punakawan juga kerap hadir dalam berbagai pentas teater, entah sebagai sosok penasihat, ataupun memberi sindiran pada para penontonnya. Misalnya dalam lakon Semar Mendem oleh kelompok Indonesia Kita pada 7-8 November 2014 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Di sana diceritakan soal sosok Semar yang gerah melihat konstelasi politik di Indonesia. Karena itu, ia bermaksud turun tangan memperbaiki keadaan dengan cara menitiskan diri. Namun mendadak hadir pula Semar yang lain. Keduanya mengklaim sebagai Semar sejati. Tak ada yang tahu mana yang benar dan salah, mana yang asli dan palsu. Di sini, Semar Mendem seakan menyindir para pemimpin yang mengaku sebagai titisan Semar, perwujudan dari kebijaksanaan itu sendiri. Padahal seharusnya kita tahu, walau punya kebijaksanaan tinggi, Semar lebih memilih hidup bersama rakyat. Ia tidak menjelma atau menjadi.

Tak hanya itu, Teater Koma pun pernah melakukan hal serupa. Pada April-Mei 2001 mereka membawakan Republik Bagong untuk “menyambut” naiknya Abdurrahman Wahid (almarhum) sebagai presiden. Mereka juga mementaskan Republik Togog (Juli-Agustus 2004) dan Republik Petruk (Januari 2009) sebagai refleksi dan kritik atas kondisi sosial politik saat itu. Lalu yang terakhir, mereka memainkan Republik Cangik (November 2014) sebagai parodi permainan politik dalam Pemilihan Umum Presiden 2014.

Alhasil, Semar dan tiga anaknya memang selalu hadir dalam keseharian kita. Dengan setia, mereka akan menunjukkan jalan terang yang penuh tawa.

“Belajar Dari Para Punakawan” ditulis oleh:

Ahmad Bijakharisman (Aby Zubir) 
Menulis apa saja yang ingin ditulis, memiliki ketertarikan terhadap seni teater, musik, seni kontemporer, dan politik. Seorang mahasiswa jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara. Aktif berperan di komunitas Teater Katak.whiteboardjournal, logo