Musik dan Spiritualitas

Column
07.07.16

Musik dan Spiritualitas

Melihat Lebih Dalam Posisi Spiritualisme dalam Musik

by Whiteboard Journal

 

Selama berabad-abad musik telah menjadi medium untuk mengenal alam dan tuhan – yang oleh filsuf Plato disebut sebagai “mimesis”. Sepanjang sejarah peradaban-peradaban besar di dunia, musik memiliki peranan penting sebagai bagian dari ritual masyarakat. Khazanah warisan Bangsa Assyiria disebutkan bahwa musik yang ditampilkan dalam berbagai upacara adalah perlambang kemuliaan upacara itu. Alunan nada musik juga merupakan perlambang kebahagiaan, jika dimainkan pada hari-hari besar yang diperingati. Semua sesembahan dipuji dan disucikan dengan lagu-lagu, semua sesembahan dimuliakan dengan alunan nada-nada indah. Semua senandung merdu yang dipanjatkan di altar-altar persembahan seakan sama dengan sembahyang di kuil-kuil, seakan sama dengan dupa-dupa yang dibakar, yang melambangkan kekuatan Tuhan.

Bangsa Yunani dan Romawi mengganggap musik sebagai Dewa Agung yang mereka sembah. Mereka mendirikan kuil-kuil, altar-altar yang indah, sebagai tempat persembahan berbagai pengorbanan yang terindah. Mereka mengatakan bahwa suara senar dawai Dewa Apollo memantul pada suara alam. Suara yang melambangkan duka cita itu terpantul dari kicau-kicau burung, gemericik air, desah angin dan desiran lembut dahan-dahan pepohonan. Bagi mereka, suara dawai Apollo adalah gema suara alam.

Dalam dongeng Bangsa Yunani, diceritakan seorang ahli musik bernama Orpheus. Saat Orpheus memetik senar dawainya, seluruh alam terpesona. Saat Orpheus kehilangan kekasihnya, maka ia pun meratap dengan memetik dawai hingga lagu sedihnya memenuhi hutan. Alam ikut menangisi kesedihannya. Bahkan para dewa merasa kasihan kepadanya sehingga membukakan pintu keabadian untuknya agar dapat bertemu sang kekasih di alam ruh. Kemudian para penghuni hutan yang merasa terganggu dengan suara musik itu, membunuh Orpheus. Mereka melemparkan kepalanya serta alat musiknya ke laut. Kepala dan alat musik itu terapung di atas gelombang hingga akhirnya sampai ke sebuah pulau. Orang Yunani menyebutnya Pulau Nyanyian. Masih menurut dongeng itu, gelombang yang mengawal kepala Orpheus dan alat musiknya ikut meratapi dan merintih hingga suaranya memenuhi cakrawala, terdengar sampai ke telinga para pelaut.

Peradaban Islam pun mengenal musik sebagai sarana untuk mengenal tuhan. Musik Persia adalah salah satu bentuk seni Islam yang sangat kental dengan pola dan praktik tasawuf. Sebagai dimensi spiritualitas Islam tasawuf mengadopsi musik Persia dan bentuk musik lainnya untuk menjadi sarana mencapai tujuan-tujuan spiritual, yaitu pengaksesan menuju Tuhan.

Spiritualitas pada umumnya merupakan kata yang memiliki asosiasi dengan hal yang berkaitan dengan religi, mistis, paranormal, dan acapkali dikaitkan dengan sesuatu yang tidak kasat mata, tidak terukur, atau ghaib. Pengertian spiritualitas adalah suatu hal yang kompleks seperti yang diungkapkan Mohammed Arkoun: “the concept of spirituality is loaded with complex and different meanings; it is used loosely in context as different as religion, architecture, music, painting, literature, philosophy and alchemy, as well as in spiritualism, astrology, esoteric knowledge, et ce tera”.

Dari pengertian Arkoun di atas, bahwa spiritualitas memiliki tafsiran dan interpretasi yang sangat luas dan sangat kompleks. Arkoun melihat bahwa ada hubungan antara spiritualitas dengan hampir semua hal yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk musik. Hubungan erat antara musik dan spiritualitas telah berlangsung berabad-abad dan dipraktikkan oleh orang-orang pada peradaban besar di masa lalu.
Jacques Attali membagi periodisasi musik dalam bukunya Noise: The Political Economy of Music (2009) ke dalam empat bagian yaitu (1) Ritual/Sacrificing, (2) Representasi/Representing, (3) Penggandaan/Repeating, dan (4) Pencampurbauran/ Composing.

Pada awal peradaban, musik merupakan bagian dari suatu upacara dan ritual khusus (sacrificing), sebelum kemudian masuk zaman modern yang memunculkan musik-musik seperti Mozart dan Beethoven yang “mereduksi” musik sebagai bagian dari modernitas kaum borjuis pada masa itu (representing). Kemudian setelah revolusi industri dan merebaknya kapitalisme maka musik tak ubahnya menjadi perpanjangan tangan ideologi kapitalisme dan mulai kehilangan “aura” dan “otentisitasnya” melalui kehadiran berbagai teknologi rekaman seperti CD, kaset, atau piringan hitam (repeating dan composing). Kini musik sebagai bagian dari industri budaya tak bisa lepas dari keseharian kita. Musik (seni) pada masa kapitalisme inilah yang dikritik oleh kritikus budaya seperti Walter Benjamin dan Theodor Adorno.

Hubungan musik – atau musikus- terhadap spiritualitas memang tidak hanya berhenti pada masa lalu saja ketika peradaban besar mengganggap musik sebagai medium ritual/sacrificing. Kebangkitan spiritualitas dalam musik juga mulai bangkit di era kapitalisme sekarang ini. Pertengahan 1960-an misalnya kita menemukan bagaimana musikus-musikus pop dunia (dan penggemarnya) menggilai dunia spiritualitas timur (kita misalnya bisa menemukan dalam musik-musik The Beatles). Kaum yang disebut sebagai “hippies” ini menganuti Zen (Buddhisme) dan Hindusme. Mereka menggilai dan mencari spiritualitas itu lewat obat bius dan musik-musik yang mencampurkan unsur spiritualitas timur sebagai bentuk pemberontakan mereka terhadap kemapanan dan spiritualitas ala Barat.

Beberapa tahun terakhir juga muncul kebangkitan-kebangkitan musik yang berkaitan dengan spiritualitas. Di Amerika sendiri kita mengenal istilah Taqwacore, sebuah semangat pemberontakan yang mengawinkan musik punk hardcore dengan nilai-nilai Islam. Atau, di Indonesia sendiri juga mulai muncul respons-respons serupa ketika mulai munculnya Komunitas Metal Satu Jari yang menjadikan musik metal sebagai medium dakwah.

Di era kapitalisme industri hiburan seperti sekarang, musik telah menjadi roda kapitalisme yang sudah sangat besar. Kita bisa melihat bagaimana geliat industri musik dalam menarik hasrat konsumerisme masyarakat, termasuk juga musik-musik Islam. Kita bisa melihat bagaimana ketika menginjak bulan Ramadhan, band-band pop tiba-tiba merilis single atau album bernuansa rohani. Tujuannya jelas, bukan dalam rangka menyebarkan nilai-nilai Islam akan tetapi meraup keuntungan. Musikus-musikus tersebut juga boleh jadi ikut terlelap dalam kapitalisme. Menemukan spiritualitas dalam musik sekarang ini memang bukanlah hal yang mudah – jika bukan disebut mustahil.

Hubungan musik dan spiritualitas, bagi saya memiliki dimensi yang sangat luas. Karena, menurut saya, apapun musiknya, memiliki dimensi “spiritualitasnya”. Boleh jadi dewasa ini musik hanya sebatas “spiritualitas sekuler” – musik hanya perkara bersenang-senang, berleha-leha, banal, dan tempat mencari materi. Musik sebagai suatu karya seni yang ada di tengah-tengah kita saat ini memang bukan hadir untuk mengingatkan kita kepada-Nya. Konteks hiburan dan populer lebih banyak mengisi dunia musik itu sendiri. Namun, tak lantas musik sebagai media komunikasi patut dipersalahkan. Menemukan “spiritualitas” dalam musik dewasa ini adalah persoalan pelik karena kita tertipu gemerlapnya hingar bingar kapitalisme. Kadang saya menemukan “spiritualitas” itu dalam tubuh-tubuh yang berbeda. Mereka yang masih percaya dan menghargai musik sebagai upaya untuk mengubah dan mengenali lingkungan dan kemanusiannya. Bisa dari mereka pengamen-pengamen yang menjadikan musik sebagai modal dia mencari nafkah, dari teman-teman musikus yang dengan integritasnya terus berkarya untuk melakukan kritik, atau dari musikus-musikus yang masih percaya musik sebagai sarana perubahan sosial untuk lingkungannya.

“Musik dan Spiritualitas” ditulis oleh:

Idhar Resmadi
His writings are most often focused on music and culture. He is also active as a researcher, speaker, moderator, and lecturer in various music and cultural forums. His publications include Music Indie Label Records (2008), Like This: Kumpulan Tulisan Pilihan 2009-2010 Jakartabeat (2011), NU-Substance Festival (2013) and Based on a True Story Pure Saturday (2013). He has written for numerous media outlets in Indonesia.whiteboardjournal, logo