Sang Penangkap Hantu

Column
21.09.17

Sang Penangkap Hantu

Menunggu Kita Untuk Mau Rekonsiliasi dengan Masa Lalu

by Whiteboard Journal

 

Bangunan itu berdiri megah dan tinggi di antara lapangan hijau dengan pepohonan rindang di beberapa bagian. Biksu-biksu terlihat sedang melakukan doa di dekat altar kecil tempat para tamu meletakkan bunga yang dijual di gerbang. Kebanyakan yang datang adalah turis dari berbagai negara dengan bis-bis rombongan. Saya dan istri bergerak mendekati bangunan tersebut dan melongok sedikit ke dalam, melihat ada apa di balik kaca yang menjadi fokus para wisatawan. Sedikit terperangah, di balik kaca besar itu terlihat deretan tengkorak manusia yang disusun rapi sampai tinggi menjulang ke langit-langit bangunan itu.

Apakah tempat ini berhantu? Saya tidak tahu, tapi mungkin saja begitu.

Tempat ini dikenal dengan nama Choeung Ek Killing Fields, terletak tak jauh dari ibukota Kamboja Phnom Penh. Ini merupakan salah satu lokasi pembantaian masal oleh rezim Khmer Merah dibawah komando Jenderal Pol Pot dengan dalih membawa Kamboja menjadi negara sosialis tercepat dan terbesar melebihi rezim Mao di Cina. Dengan slogan “Super Great Leap Forward”, Pol Pot memberangus semua lawan-lawan politiknya dan merombak tatanan masyarakat Kamboja serta memaksanya menjadi “masyarakat tanpa kelas sosial”, dimana rakyat diharuskan bekerja di sektor pertanian. Dokter, professor, kaum intelektual, seniman, serta banyak rakyat menjadi korban kekejaman rezim ini yang diperkirakan membunuh 1,7 hingga 2 juta manusia.

Setelah berkuasa selama 4 tahun, rezim Khmer Merah dipukul mundur oleh negara tetangganya, Vietnam seiring dengan masuknya negara itu ke Kamboja dan mengambil alih pemerintahan akibat perseteruan terus menerus antar kedua negara. Hal ini di satu sisi membuka tabir gelap pembunuhan masal oleh rezim Khmer Merah sekaligus momentum pembebasan para tahanan, dan di sisi lain juga menjadi awal penjajahan Vietnam atas Kamboja. (Selengkapnya mengenai sejarah pembunuhan masal di Kamboja bisa lihat di sini).

Tentu kita bertanya-tanya, mengapa pemerintah Kamboja memfasilitasi tur ke Choeung Ek Killing Fields yang kelam nan sadis ini? Apa tujuan mereka memperlihatkan kepada wisatawan sejarah tergelap negaranya sedangkan banyak destinasi lain di Kamboja yang bisa didatangi, seperti kuil Angkor Wat misalnya? Apa yang bisa kita ambil dari kunjungan ke tempat yang menyisakan trauma berkepanjangan ini?

Kata kuncinya adalah rekonsiliasi.

Ketika rezim pemerintahan di Kamboja kembali ke sistem Monarki dengan Raja Sihanouk sebagai tampuk pimpinan tertinggi, mereka menyadari bahwa untuk membangkitkan kembali tatanan masyarakat yang hancur, diperlukan rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang bermusuhan agar pembangunan bisa dilaksanakan. Selain itu, kesadaran kolektif masyarakat akan sejarah kelam yang membebani mereka harus disembuhkan dengan menyingkap tabir sejarah gelap tersebut agar masyarakat bisa “move on” dan tidak dihantui masa lalu demi menyambut kehidupan yang lebih baik. Hal ini tentunya bisa dilakukan karena rezim yang berkuasa merasakan kerugian besar oleh Khmer Merah. Semua rekonsiliasi dan penyingkapan tabir sejarah gelap serta ekskavasi tempat-tempat pembunuhan masal bisa dilakukan tanpa halangan bahkan didukung oleh rezim yang berkuasa.

Mengutip pepatah yang konon dikatakan oleh mantan Perdana Menteri Inggris era Perang Dunia kedua Winston Churchill, “Sejarah ditulis oleh pihak pemenang”.

Dalam konteks Indonesia, kita pun memiliki museum yang mirip dan sangat berhantu yang terletak di Jakarta. Tepatnya di daerah Lubang Buaya, Bekasi, yaitu Museum Pancasila Sakti. Yang membedakan museum ini dengan Choeung Ek di Phnom Penh adalah museum ini sangat fokus mengglorifikasi 7 pahlawan revolusi yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan Partai Komunis Indonesia, tanpa tidak sedikit pun menyinggung korban rakyat jelata yang sangat banyak jumlahnya. Bahkan narasi yang ada di museum ini sama sekali tidak menyebutkan mengenai pembunuhan masal yang terjadi di seantero nusantara meskipun banyak akademisi, jurnalis dan pihak-pihak kredibel yang sudah tahunan meneliti hal ini. Narasi komunisme ini ibarat hantu yang selalu mengintai dan siap keluar kapan pun dibutuhkan.

Mungkin hantu-hantu ini sengaja terus dipelihara dan berkeliaran bebas untuk kemudian ada saatnya ditangkap oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk membungkam diskusi-diskusi intelektual, atau membubarkan acara kesenian yang dianggap berbahaya, seperti kasus yang terjadi di kantor LBH Jakarta pada hari Minggu malam tanggal 17 September 2017 lalu misalnya?

Mungkin juga hantu ini efektif dilepas untuk kepentingan yang jauh lebih besar seperti saat pemilihan kepala desa, pemilihan gubernur, atau pemilihan presiden untuk menghasut dan memfitnah calon-calon pemimpin tersebut?

Mungkin ya, lagipula siapa yang bisa melihat apalagi menangkap hantu kecuali si pembuat hantu itu sendiri?

“Sang Penangkap Hantu” ditulis oleh:

Iman Putra Fattah
Musisi asal Jakarta, sedang menempuh pendidikan di UCLA extension jurusan Music Production.whiteboardjournal, logo