Seni Itu Fana, yang Abadi Tulisannya

Column
18.01.18

Seni Itu Fana, yang Abadi Tulisannya

Esensi Ekosistem Seni

by Whiteboard Journal

 

Hanya ada satu tujuan yang ada di kepala saat saya memilih seni sebagai jurusan, yakni untuk menjadi seorang seniman. Gairah muncul ketika SMP, dan sejak itu pula saya membuka jalan menuju ke sana. Awalnya dari belajar menggambar, kemudian tumbuh menjadi keinginan untuk mengembangkan hobi ini menjadi profesi. Jalan itu sepertinya semakin terbuka saat saya diterima masuk di kampus seni rupa. Meski kemudian di sana, saya justru menemukan bahwa seniman, rasanya bukan lagi tujuan yang ingin saya tuju.

Di awal-awal semester, saya menjalani perkuliahan dengan baik. Kampus memperkenalkan saya dengan seni grafis, performans, dan genre lain yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Dari situ saya lalu tahu, dunia seni itu wahana yang maha luas. Jauh lebih luas dari cita-cita saya untuk menjadi seorang seniman. Di dalamnya, terdapat dunia-dunia yang tak kalah menariknya. Dan, ternyata justru dunia di luar aktivitas seniman yang paling kuat menarik saya.

Perkenalan saya dengan dunia kajian dan manajemen seni, baik itu kritik, kuratorial, dan hal-hal di balik layar panggung seni, berawal ketika saya mengikuti lokakarya “Kritik Seni Rupa dan Kurator Muda Indonesia” pada 2014. Lokakarya ini diselenggarakan oleh ruangrupa dan Dewan Kesenian Jakarta yang bertujuan untuk memunculkan kritikus dan kurator baru. Ini jendela yang sepenuhnya baru bagi saya. Sepenuhnya baru. Sebelumnya, saya tidak pernah mengenal sosok-sosok itu – kritikus, kurator, manajer seni. Nama-namanya memang familiar, tapi lokakarya itu akhirnya menyadarkan saya tentang kerja sebuah infrastruktur seni di mana sosok-sosok selain seniman juga terlibat. Kurator, kritikus, bisa jauh lebih berperan melahirkan wacana daripada senimannya. Semenjak itu, saya melihat dunia seni melalui kacamata yang berbeda, dan inilah yang semakin mendorong saya untuk cenderung mendiskusikan wacana ketimbang menjadi seniman. Saya rasa, tak hanya seniman yang patut dimandikan lampu sorot.

Pengalaman bertambah saat saya terlibat di Festival Karya Mahasiswa yang diselenggarakan oleh Komplotan Jakarta 32 °C, sub-divisi ruangrupa yang khusus bergerak di lingkup kesenian mahasiswa. Bukan sebagai seniman, bukan pula sebagai mahasiswa yang menumpahkan keresahannya akan sistem pendidikan, melainkan penulis yang menceritakan semua proses yang ada. Saya membaca dan mengkaji wacana mahasiswa di kampus-kampus yang terlibat, lalu merangkainya menjadi paragraf-paragraf ulasan. Menyimak seniman-seniman seusia saya bergiat, sedangkan saya bertindak sebagai sosok yang justru membantunya mengembangkan gagasan, merupakan pengalaman yang luar biasa.

Saya mengalami suatu pola kerja dalam sebuah infrastruktur di mana masing-masing posisi sama pentingnya, dan di situ saya memiliki privilese untuk mengarsipkan segala hal yang ada melalui tulisan-tulisan saya. Semenjak itu, saya memilih untuk bergiat di manajemen yang mewadahi seniman-seniman generasi saya, dan fokus untuk menuliskannya. Karena sebenarnya, kalau dilihat, kita masih kekurangan dalam orang-orang selain seniman, seperti penulis, kurator hingga art handler. Seniman itu ada dan akan terus ada, dan yang kini dibutuhkan adalah tokoh-tokoh lain yang dapat mewadahi mereka dan menyeimbangkan infrastruktur seninya. Wacana akan kritik dan manajemen seni semakin marak, saya rasa kita tidak perlu heran, karena posisi-posisi ini kian dibutuhkan dan seharusnya disadari sejak dini.

Kini, mulai bermunculan kolektif yang tidak saja diisi oleh seniman, tapi juga manajer, desainer, kurator, sampai penulis. Hal ini saya rasa dilandaskan kesadaran para pelakunya untuk melihat praktik berkesenian secara utuh, tidak hanya berat sebelah di kesenimanannya saja, tapi juga bisa menjadi platform yang menciptakan wacana dan mewadahi pelaku-pelaku seni lainnya. Perkembangan-perkembangan ini sangat menarik untuk disimak dan saya senang untuk menuliskannya, bahwa dengan siasat jitu menghadapi ketidakpastian di dunia seni.

Saya masuk kuliah seni untuk menjadi seniman, bukan untuk menjadi penulis, apalagi penyelenggara pameran. Tapi kini saya justru lebih aktif menulis dan membantu penyelenggaraan pameran, mengambil jarak dengan apa yang saya cita-citakan. Saya bukan seniman, tapi, setidaknya sejauh ini, saya sangat bangga dan menikmati apa yang saya lakukan.

“Seni Itu Fana, yang Abadi Tulisannya” ditulis oleh:

Ibrahim Soetomo
Mahasiswa IKJ tingkat akhir asal Bogor yang juga aktif menjadi editor di Jakarta32.com.whiteboardjournal, logo