The Trophy Kids
Apakah Millennials Generasi Wirausaha yang Sebenarnya?
“Gue punya ide startup.”
“Kenapa nggak bikin app untuk….”
“Gimana kalo kita bisa nyelesein masalah X dengan dengan model bisnis Y terus bikin startup Z ?”
Apakah percakapan di atas familiar?
Buat saya pribadi, jawabannya adalah lumayan. Saat berkumpul dengan rekan seumuran, bahasan untuk memulai startup selalu muncul. Tak jarang, di antara ide yang mengemuka, ada ide brilian di antaranya. Bagi kita – generasi millennials – solusi atau setidaknya gagasan untuk masalah sosio-ekonomi tak jarang terwujud dalam bentuk digital ataupun startup. Dari sini lalu muncul pertanyaan baru, tentang apakah startup adalah jawaban dari generasi ini terhadap para gen-X yang menganggap para millennials yang tak punya etos kerja?
Belum ada konsensus antar ahli demografi, sosiologis dan para ahli dalam mendefinisikan spektrum umur millennials, tetapi menurut peneliti Neil Howe and William Strauss, bagi para generasi yang lahir di antara tahun 1982 – 2004, ini menjadi pebisnis dan berwirausaha adalah sebuah #lifegoal. Ini juga didukung oleh hasil laporan Affluence Collaborative bahwa 40% millennials sudah mempunyai bisnis sendiri atau sedang dalam tahap memulai bisnis.
Generasi ini pada umumnya skeptis dengan bekerja sebagai karyawan perusahaan. Dalam sebuah Op-Ed, CEO Deloitte Global Barry Salzberg mengatakan bahwa millennials cenderung berpikir bahwa kerja sebagai karyawan tetap di perusahaan sebagai “tragedy of wasted minds” — yang artinya mereka enggan untuk menguras otak dan menggunakan keahliannya untuk membantu perusahaan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa dampak sosial demi menapaki corporate ladder dan mencari stabilitas finansial. Sebaliknya, mereka menginginkan karir yang benar-benar mempunyai dampak sosial, menjunjung tinggi kebebasan berkreativitas, dan ingin berkontribusi untuk sebuah bisnis yang dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitarnya dan dunia. Singkatnya, mereka punya impian untuk menjadi global change-makers.
Millennials adalah generasi dengan keterbukaan informasi yang tinggi dengan tingkat pendidikan yang memadai. Jumlah jurusan dan kelas kewirausahaan di pendidikan formal telah meningkat pesat dibandingkan zaman generasi Baby Boomers dan Generation X yang masih ‘mendewakan’ jurusan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).
Faktor pendukung lain adalah terciptanya iklim dan lingkungan yang kondusif, yang dikondisikan oleh negara dan masyarakat mampu membangun sebuah budaya yang suportif terhadap ide, inovasi dan wirausaha. Co-working space dan creative space tersebar hampir di semua kota-kota besar di Indonesia. Ekosistem co-working space yang mendukung konsep remote working berbasis komunitas ini sangat dinikmati oleh millennials karena mereka mampu melemparkan ide-ide dan inovasi brilian tanpa risiko. Dan, Hubud adalah bagian dari movement ini.
Berdiri sebagai co-working space pertama di Bali, Hubud dibangun di Ubud pada tahun 2013. Di sana, saya bertemu ratusan sosok kreatif dan berbagai pengalaman baru. Salah satu pengalaman baru itu lahir dan terwujud dalam bentuk Startup Weekend. Startup Weekend adalah ajang untuk belajar merealisasikan ide dan pengalaman mendirikan sebuah startup pada akhir pekan hanya dalam waktu 54 jam. Program Startup Weekend telah diadakan secara global. Program ini merupakan wadah untuk mengajak siapapun yang mempunyai ide bisnis dan ingin merealisasikan idenya menjadi sebuah startup yang siap untuk dijalankan.
Tahun 2016 lalu, saya mempunyai ide bisnis yang sudah ada di kepala sejak lama. Akan menjadi penyesalan jika saya melewatkan kesempatan emas ini. Jadi, saya mendaftarkan diri dengan tujuan untuk belajar sebanyak-banyaknya dan berkenalan dengan para peserta sebanyak-banyaknya untuk networking. Saya sama sekali tidak bertujuan untuk menang, dan memang sudah diniatkan untuk mencari belajar.
Saya berhasil melemparkan ide bisnis saya ke 80 peserta dan mentor-mentor, yaitu sebuah platform bimbingan online berbasis mentorship untuk membantu fresh graduates dan early job seekers dengan program persiapan karir yang fokus pada soft skills. Saya mempunyai ide setelah menyadari rendahnya tingkat employability yang dihadapi oleh para pemuda di Indonesia, khususnya di daerah luar Jakarta yang utamanya disebabkan oleh kurangnya pengalaman dan soft skill. Jadi, ketika saya melihat sebuah kesempatan untuk menyampaikan gagasan ini dalam sebuah kompetisi global, saya mengambil kesempatan itu.
Ide saya berhasil dipilih oleh mayoritas peserta. Setelah terpilih dan masuk Top 10, saya membangun sebuah tim dan memimpin dan berkolaborasi dengan tim berisi lima orang untuk merealisasikan ide tersebut. Bersama-sama, kami dapat melewatkan berbagai macam masalah dan kami selamat dari drama dan perpecahan tim yang biasanya sering terjadi di Startup Weekend. Kami berhasil memvalidasi ide bisnis tersebut dan menyambar tiga penghargaan sekaligus, yaitu: First winner, Crowd’s Favourite Award, dan Most Engaging Pitch Award. Ketika sudah ada di dalam kompetisi, memang mustahil untuk menekan jiwa kompetitif. Namun saya mengingatkan diri saya lagi untuk kembali ke tujuan awal, yaitu untuk belajar mengembangkan ide saya menjadi sebuah bisnis yang potensial.
Dari pengalaman ikut Startup Weekend ini, saya banyak belajar bahwa sebuah ide brilian belum tentu selaras dengan keadaan di lapangan dan sesuai dengan pasar. Banyak hal yang dapat kamu temui dan bisa saja ide kamu berevolusi berdasarkan temuan di lapangan saat proses validasi ide.
Menurut saya, Startup Weekend bukanlah sebuah hackathon, di mana peserta tidak hanya harus validasi ide, tapi juga harus mempunyai prototype (website/app) yang potensial sebagai syarat untuk maju ke tahap selanjutnya, yaitu maju ke depan calon investor. Acara Startup Weekend berfokus pada mendidik individu yang ingin berwirausaha melalui pengalaman membangun sebuah startup dari awal. Sederhananya, acara Startup Weekend adalah tentang membangun dan memberdayakan entrepreneur daripada menekankan ke hasil akhir atau produk, coding, dan prototipe aplikasi. Tentu, setiap tim sangat dianjurkan untuk mengakhiri akhir pekan dengan suatu ide yang bisa dikembangkan menjadi prototipe, tapi kesuksesan dari acara Startup Weekend justru terletak pada nilai dan kedalaman pengalaman belajar bagi setiap peserta dan network yang dibangun selama akhir pekan. This isn’t something that you can get in normal classes or at work.
Saya berpendapat bahwa Startup Weekend bertujuan untuk memberi dampak positif dan membangun komunitas kewirausahaan dengan gagasan utama bahwa individu dan kerjasama tim merupakan aset paling berharga bagi ekosistem startup, bukan teknologi atau prototipe yang di coding sebagai hasil akhir.
Sebuah langkah maju yang jelas lebih berharga daripada hanya tenggelam dalam laluman melamun dan berangan-angan kapan bisa menjalankan ide yang ada di kepala. Menunggu modal numpuk? Forget that. You will never know until you pitch it and validate it. So what if you fuck up? Fuck up earlier! Fail faster, and better! Because being 50, 60, 70, 80, 90, and having regrets that you didn’t swing the bat is the worst of all.
Supaya tak lagi hanya ragu yang ada di kepala saat kita membicarakan generasi millennials, tetapi ada bukti nyata tentang apa karya yang bisa kita cipta. Because for #Millennials like us, it’s no longer only ‘Eat, Pray, Love’. it’s all about ‘Eat, Slay, Love’.
“The Trophy Kids” ditulis oleh:
Feby Ramadhani
A Social Impact Analyst at Kopernik – a Research & Development Lab for
Poverty Reduction based in Ubud, Bali. Her areas of interests are social innovation,
global development and human-centered design. She’s passionate about finding the root causes of socio-economic problems among low-resourced communities.