Yang Terbaik dari 2016

Column
03.11.16

Yang Terbaik dari 2016

Tahun yang Baik untuk Rilisan Musik

by Muhammad Hilmi

 

Sedari dekade pertama milenium kedua, setiap tahun terasa menyenangkan dengan berbagai rilisan musik bagus yang masuk ke telinga. Saking serunya, kadang agak sulit membayangkan bahwa akan muncul musik yang lebih bagus di tahun yang akan datang. Tapi setiap tahunnya khilaf pikir tersebut pupus, karena nyatanya selalu ada rekaman baru yang lebih menyenangkan dari sebelumnya.

That said, 2016 terasa sebagai tahun yang lebih spesial dari sebelumnya. Sejak Januari, ada banyak rilisan bagus, mulai dari berbagai bentuk baru aliran musik tatap sepatu, hingga hip-hop menyegarkan yang menutup akhir tahun. Oiya, konteks album musik disini adalah album rilisan luar. Jadi jangan mencari siapakah diantara Young Lex atau Rich Chigga yang lebih layak untuk masuk di list ini.

1

SHOEGAZE
Entah kenapa, representasi bentuk shoegaze terbaru muncul hampir beriringan di awal tahun ini. Diawali dengan rilisnya album baru Pinkshinyultrablast di Februari, Autolux di April, dan Nothing di bulan Mei, 2016 adalah masa yang menyenangkan bagi penggemar genre ini, namun juga sekaligus merupakan tahun yang menantang bagi konsepsi genre ini. Grandfeathered dari Pinkshinyultrablast adalah bukti bahwa shoegaze pun bisa groovy. Sebuah kejutan, mengingat mereka datang dari Rusia yang identik dengan hawa dingin dan kekakuan. Meskipun potensi mereka sebenarnya sudah terlihat sejak album Everything Else Matters yang juga tak kalah menarik. Semangat yang sama juga hidup pada Pussy’s Dead dari Autolux yang alih-alih bermain dengan distorsi dan kebisingan, memilih untuk memakai produser album Beyonce untuk menghadirkan angle baru yang penting. Bahwa tak apa meminjam referensi dari musik IDM/EDM untuk memperkaya perspektif genre ini. Angle baru ini juga menjadi garis bawah pada album Tired of Tomorrow dari Nothing yang terasa lebih ceria daripada debut mereka dengan nuansa pop yang lebih kentara, meski kalau mau lebih mendengar lirik yang mereka nyanyikan, anxiety tetap (atau justru lebih mengena) dari sebelumnya.

2

HIP-HOP
Melewati paruh kedua, 2016 seakan memberi jawaban pada tahun 2015 yang monumental dengan “To Pimp a Butterfly” dari Kendrick Lamar yang langsung menjadi salah satu album hip-hop penting sepanjang sejarah. Jawaban itu datang dari Atrocity Exhibition karya Danny Brown. Pada album ketiganya, Danny Brown seolah menyerap keliaran label barunya Warp Records, untuk mencuri dengan sekenanya sampling dari industrial hingga free jazz. Pendekatan tersebut, digabungkan dengan pelafalan khasnya yang kekanakan, membuat album ini menjadi gritty dan challenging, namun akan meninggalkan bekas yang tajam di kepala dan telinga, dan karena itulah album ini menjadi rilisan penting di tahun ini. Selain itu, ada pula album menarik dari dua pendatang baru. Yang pertama adalah Nat Love dari Kweku Collins, seorang rapper muda yang merangkak dari lembabnya angin musim panas Chicago. Mencampur berbagai pengaruh musik, mulai dari Sade, Black Sabbath, Electric Wizard hingga Tame Impala, Nat Love adalah album yang ada untuk berbagai suasana. Selain melafalkan rap, Collins juga sama baiknya saat menyanyi, membuatnya mungkin dibandingkan dengan The Weeknd. Sebuah kesalahan besar, mengingat Nat Love memiliki semua potensi yang bisa membuatnya melampaui si rambut kaktus. Talenta muda yang kedua juga datang dari Chicago. Kualitas Bucket List Project dari Saba bisa dilihat pada bagaimana ia dengan cerdas dan berani membuat album konsep di debutnya. Bertemakan “Bucket List” dimana setiap lagu bercerita mengenai harapan hidup berbagai sosok di kota kelahirannya, Saba terasa seperti meneruskan semangat dari Flying Lotus di album “You’re Dead” yang berbicara tentang kematian. Lebih dari itu, Bucket List Project memiliki segalanya menjadi salah satu yang terbaik di tahun ini, tema yang menarik, flow yang asik, juga musik yang menenangkan. Segala hal yang biasanya ditemukan di album Frank Ocean, ditambah kecerdasan ala Kendrick Lamar.

3

HARDCORE
Tak setiap hari kita bisa menemukan ulasan mengenai gigs hardcore di majalah stylish/parlente seperti GQ, namun tampaknya Turnstile, dengan gaya mereka sendiri, mampu memaksa editor majalah tersebut dengan pakaian rapi dan wangi untuk datang dan ikut terjun di moshpit penuh peluh di saat mereka bermain. Dan, jika menyimak Move Through Me dari Turnstile kita akan segera paham mengenai bagaimana anak-anak Baltimore ini melakukannya. Dikenal sebagai salah satu talenta besar di musik hardcore, Turnstile menyeruak melalui album penuh “Nonstop Feeling” yang dipuji sebagai album hardcore yang tak malu dengan referensi musik 90’an, namun tetap mampu memicu moshpit dengan energi luar biasa yang mereka miliki. Jika perlu ada titisan yang meneruskan spirit dari Bad Brains, Turnstile adalah calon terkuatnya.

Dan, tentang persilangan musik 90’s dengan musik hardcore, Rock The Fuck on Forever dari Angel Du$T adalah perwujudannya yang paling nyata. Diisi oleh beberapa personil Turnstile, tak heran bila Angel Du$t memiliki kualitas talenta yang sama cerahnya. Yang membuatnya berbeda, mungkin adalah di Angel Du$t, nuansa rock (dan sedikit pop) era 90’an dirayakan sebagai energi utama, dengan menyisakan hardcore sebagai ototnya. Akan seru untuk membayangkan pit jika Turnstile dan Angel Du$t tampil di Rossi suatu hari. Akan tetapi, highlight utama di tahun ini ada pada Stage Four dari Touche Amore. Bercerita tentang kematian ibu dari vokalis Jeremy Bolm karena kanker, album ini adalah salah satu album hardcore (atau post-hardcore) yang paling jujur, dan paling menyentuh hingga saat ini. Bayangkan jika sendu di “Putih” dari Efek Rumah Kaca digantikan dengan keputusasaan, dan dibuat menjadi 12 lagu, maka jadilah Stage Four ini. Jika kini semakin banyak band yang menempatkan sensitivitas kembali kepada genre ini, maka di album ini, Touche Amore menjadi yang terdepan dalam menaruh sincerity pada deru musik hardcore.

4

INDIE POP/ROCK
Dengan tren kebangkitan midwest emo beberapa tahun terakhir, album kedua American Football menjadi salah satu highly anticipated album sekaligus wishlist oleh semua penggemar genre ini. Meski ketika akhirnya dirilis, ternyata album ini tak terlalu memuaskan, anxiety yang dulu menjadi warna utama di album debut American Football kini hilang dan digantikan dengan complacency yang ternyata tak terlalu menarik untuk diikuti. Dirilis tanpa banyak ekspektasi, album solo vokalis American Football, King of Whys dari Owen justru memiliki kedalaman lebih secara bebunyian dan lirik. Album ini menunjukkan bahwa kegelisahan tak lantas usai seiring usia, dan langkah terbaik untuk menghadapinya adalah untuk jujur dan menertawakan diri saat kadang terjatuh dikala melawannya.

Bicara tentang usia, tak ada yang lebih baik dari You Want it Darker dari Leonard Cohen sebagai contohnya. Album ke empat belas dari Leonard Cohen ini akan dengan mudah menjadi salah satu yang terbaik di tahun 2016. Di lagu pembuka, ia bernyanyi tentang akhiran, sebuah tema yang semakin melekat pada usia senjanya, “If you are the dealer/I’m out of the game/If you are the healer, it means I’m broken and lame/If thine is the glory then mine must be the shame/You want it darker/We kill the flame”. Beriringan dengan Blackstar dari David Bowie, ini merupakan salah satu epilog terindah yang pernah ada. Bedanya mungkin, Leonard Cohen masih memiliki kesempatan untuk menyempurnakannya di masa yang akan datang. Dan tentang kesempurnaan, A Moon Shaped Pool dari Radiohead adalah album yang hidup diantara konsep tersebut. Adalah gegabah untuk menyebut album ini sebagai representasi terminologi kesempurnaan, tapi jika dilihat dari torehan sepanjang karirnya, bisa dibilang bahwa album ini adalah konsep paling paripurna dari apa yang telah dilakukan oleh Thom Yorke dkk di Radiohead era modern. Jika di album King Of Limbs mereka seperti tersesat di dunia elektronika yang mereka ciptakan sendiri, maka A Moon Shaped Pool adalah jalan keluarnya. Secara musikal, album ini terhitung sederhana, namun disitulah kekuatannya, semua isian (termasuk string section) tak berlebihan dan tepat guna. Sebuah album klasik untuk masa depan.

Simak juga beberapa album menarik berikut, Prima Donna dari Vince Staples (album hip-hop cerdas), Never Going Home dari Hazel English (indie pop yang ceria), Colicky dari Self Defense Family (arahan menyegarkan di post punk), A Seat At The Table dari Solange (kapan lagi Beyonce bisa dikalahkan, oleh sang adik pula), IV dari BadBadNotGood (representasi jazz kekinian), Tin dari Nearly Orotario (James Blake versi adolescent), Romantic dari Mannequin Pussy (punk rock dengan kegelisahan indie-rock), Treasure Pains dari Slow Mass (angst-ridden emo), Front Row Seat to Earth dari Weyes Blood (singer-songwriter gaya klasik, selera modern), Adult Contemporary dari Ablebody (70-80’s pop bentukan proyekan personil The Pains of Being Pure At Heart), Writing of Blues and Yellows dari Billie Marten (solois perempuan dengan pop indah), Going Out dari Strange Relations (bentuk muda Warpaint), Helvellyn dari Manatees (doom/noise kelam), The Truth in Our Bodies dari Earth Moves (post hardcore untuk penggemar Envy), Human Performance dari Parquet Courts (Pavement-wave revival!), Gold dari Whores (in your face sludge/noise rock), Kodama dari Alcest (blackgaze Perancis dengan pengaruh dari musik Jepang).

“Yang Terbaik dari 2016” ditulis oleh:

Muhammad Hilmi
Managing editor and ace journalist at Whiteboard Journal. His passion in music and the arts inspired him to be involved in multiple creative projects, including his own publication and record label.whiteboardjournal, logo