Kemanusiaan dalam Fiksi

06.03.17

Kemanusiaan dalam Fiksi

Film Musik Makan 2017

by Febrina Anindita

 

Setelah sukses menghadirkan episode-episode yang menuai decak kagum, tahun ini kolektif meningkatkan ekspektasi pengunjung dengan memutar 3 film panjang. Kemanusiaan menjadi highlight dalam seleksi film kali ini, karena melalui tiga film yang diputar, Film Musik Makan mengurai nilai dari hal-hal yang dianggap lumrah atau bahkan terlewatkan oleh mata kepala kita.

“Ziarah,” “Apprentice” dan “Turah” adalah judul-judul yang mengisi layar auditorium Goethe Institut sedari siang pada tanggal 4 Maret 2017. Keberhasilan film-film tersebut bisa dilihat pada bagaimana Film Musik Makan tahun ini penuh dengan diskusi yang berkelanjutan usai pemutaran. Melalui penuturan ceritanya, pengunjung diajak untuk melihat dan merespon ulah dirinya dan sesamanya. Dengan setting Indonesia (Ziarah, Turah) dan Singapura (Apprentice) Film Musik Makan seolah bercerita mengenai kondisi negeri di Asia Tenggara serta kota-kota di dalamnya yang dinamis, dalam artian memiliki banyak lapisan masyarakat. Dan dengan itu pula, memiliki banyak cerita, perjuangan dan segala hal yang membentuk cerita kehidupan.

huawesmall
https://jaff-filmfest.org/ziarah-perjalanan-berdamai-dengan-sejarah/

Ziarah
Menghadirkan shot yang mengingatkan akan film-film Apichatpong Weerasethakul, kematian di sini menjadi sebuah inti cerita menegangkan namun juga sakral. Film karya BW Purba Negara inipun berhasil memenangi Best Asian Feature dari Salamindanaw Asian Film Festival 2016. Jika biasanya kemanusiaan diidentikkan dengan keadaan di realita lengkap dengan relasi antara sesama serta problema yang timbul di dalamnya, “Ziarah” justru mengajak penonton untuk diam sejenak dan memikirkan apa jadinya jika seseorang hidup dicekam ketidakpastiaan.

Bercerita tentang perjalanan seorang nenek (Sri) dalam mencari kuburan suaminya yang telah lama hilang sejak ikut agresi militer ke-2 di tahun 1948, dengan satu tujuan, yakni beristirahat dengan tenang di sebelah kuburan suaminya, sang sutradara memoles cerita dengan begitu apik dan mengaduk emosi. Dengan aktor berumur lebih 90 tahun, film ini mampu menggambarkan ketegangan bahkan tanpa diromantisir musik atau gestur berlebih. Walau hadir dengan narasi minim, keluwesan para aktor dalam film ini membuat penonton seakan berasa tepat di dalam frame dan melihat langsung keseharian serta merasakan kekosongan yang dialami Sri.

Ada sesuatu yang menggetarkan jiwa ketika melihat seorang manusia memiliki keteguhan hati begitu besar untuk menyelesaikan misi hanya dengan dasar kasih sayang. Berbekal informasi seadanya dan tentu fisik yang sudah tidak lagi bugar, perjalanan Sri untuk menemukan kuburan tanpa nama milik suaminya melahirkan beberapa dialog sarat makna. Dengan mengawinkan cinta dan kematian dalam siklus kehidupan, film ini berhasil menyentuh relung terdalam.

Apprentice
Film kedua hari itu diisi oleh Boo Junfeng dengan judul “Apprentice” yang telah meraih “Official Selection Un Certain Regard” dari Cannes Film Festival 2016. Mengangkat isu tentang kekerasan terhadap manusia; tepatnya hukuman mati, Junfeng memperlihatkan sisi kemanusiaan yang tersita ketika seseorang berada dalam dilema.

Seorang petugas muda dihadapkan dengan deretan sel berisi terdakwa tindakan kejahatan, kewajibannya adalah untuk menjaga agar mereka tidak berulah. Namun dikarenakan ia berkenalan dan diangkat menjadi asisten sang “algojo” di sana, batinnya seketika terbentur dengan moralitas untuk menyikapi relasi antarmanusia di dalam penjara.

Sampai sekarang, telah banyak diskusi tentang aspek moralitas dari hukuman mati. Namun, terkadang kita lupa bagaimana menyikapi hal tersebut dalam konteks yang tepat. Junfeng mencoba untuk meletakkan isu ini pada tempat lahirnya, di penjara, di antara mereka yang telah melakukan hal begitu kejam terhadap sesamanya. Dibumbui dengan drama, tepat rasanya untuk menobatkannya sebagai salah satu film yang mampu menghadirkan pertanyaan di dalam maupun di luar teater.

Turah
Film Musik Makan menjadi tempat pertama kali film ini diputar. Wicaksono Wisnu Legowo selaku sutradara, sebelumnya aktif dalam beberapa produksi film bersama Ifa Isfansyah serta Mira Lesmana. Jadi, tidak heran jika naskah yang ditulis mampu ditranslasikan secara apik ke layar perak. Terinspirasi dari sebuah kampung di pinggiran kota Tegal, Wisnu menulis “Turah” untuk menunjukkan bahwa ada kesederhanaan yang luput dari mata kita.

Menceritakan Kampung Tirang yang dibiayai oleh salah satu pengusaha kota Tegal, terdapat beberapa tokoh dengan polarisasi sifat yang kental. Terkucilkan dari hal urban, meski hanya tinggal beberapa dayung dari tanah perkotaan, sebuah masyarakat kemudian hidup dalam kenyamanan yang sebenarnya dibangun di atas ketidakadilan. Dibangun dari kisah nyata, Wisnu bersama aktornya berhasil membangun kembali kisah ini dalam bentuk fiksi yang nyata.

Terdapat elemen sosial yang terpampang jelas dalam film ini dan Wisnu berhasil menampilkan renungan akan perekonomian dan kesenjangan yang tercipta atas suatu kuasa. Persaingan antarmanusia menjadi landasan narasi film, dengan menciptakan plot cerita begitu subtle, penonton mendapati premis akan sebuah siklus kehidupan di “kota” yang diisi oleh orang-orang pesimis, optimis serta licik. Dibalut dengan hasrat untuk bebas dari jeratan kekuasaan, “Turah” menekankan konsekuensi yang harus dihadapi seseorang – mereka yang terbuang – untuk mendapati apa yang ia inginkan, hidup bahagia.

Dengan kualitas yang konsisten dijaga, Film Musik Makan sekali lagi membuktikan diri mengenai kualitasnya sebagai tujuan utama bagi mereka yang tak hanya mencari hiburan dari pengalaman menonton sinema. Sajian makanan yang juga selalu menarik, pula pertunjukan musik yang melengkapi menjadi alasan utama dari bagaimana setiap Film Musik Makan kini dan nanti wajib dihadiri.whiteboardjournal, logo

Tags