Pameran Seni Dunia Venice Biennale ke-59 untuk Pertama Kalinya Didominasi oleh Seniman Perempuan

Art
30.04.22

Pameran Seni Dunia Venice Biennale ke-59 untuk Pertama Kalinya Didominasi oleh Seniman Perempuan

Pameran seni dua tahunan, Venice Biennale hadir tahun ini didominasi telak oleh seniman perempuan, hadirkan ragam penampilan dan instalasi dari segala penjuru dunia.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Inaya Pananto
Foto: Andrea Avezzù/La Biennale di Venezia

Sebuah acara pameran seni, salah satu yang paling ikonik dan prestis di dunia, hadir dua tahun sekali di kota terapung Italia, Venisia. Pameran seni yang disebut “Venice Biennale”  atau “La Biennale di Venezia” ditemukan pertama pada tahun 1895 oleh International Exhibition of Art of the City of Venice untuk mempromosikan kegiatan bernilai kemuliaan luhur dari spirit modern tanpa pembedaan negara. 

Venice Biennale ke-59 tahun ini dikurasi oleh Cecilia Alemani di bawah tajuk utama “The Milk of Dreams”. Menghadirkan seniman-seniman dari 80 negara yang terbagi dalam pavilion-pavilion khusus per negara. Di bawah tema pilihan Cecilia Alemani tahun ini, pameran terfokus kepada konsep surealisme seni yang mendeskripsikan sebuah dunia magis dimana hasil karya dan kehidupan terus menerus di reimajinasi. Judul ini diambil dari buku karangan penulis perempuan Leonora Carrington.

Poster dan tema Venice Biennale tahun ini. (Foto: Venice Biennale/The Artling)

Selalu menarik perhatian publik yang luas dan hadir begitu spektakuler, Venice Biennale tahun ini terasa lebih istimewa dari tahun-tahun sebelumnya khususnya dalam perkembangan seniman perempuan di mata internasional. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Venice Biennale menampilkan lebih banyak seniman perempuan ketimbang laki-laki. Jumlah seniman perempuan yang begitu mendominasi membuat Venice Biennale tahun ini akan turun dalam catatan sejarah sebagai “Women’s Biennale”.

Sejumlah pertunjukan/instalasi impresif di pameran tersebut adalah penampilan seorang pasangan menari mesra dalam setelan malam formal, berkeliling set yang menyerupai ruang tamu dalam film, dilengkapi dengan walk-in sets lain ruang keluarga Algiers di tahun 50an, Paris di tahun 60an, dan London di 80an yang menjadi latar kehidupan personal sang seniman. Silih berganti muncul di layar adalah narasi kisah beserta cuplikan-cuplikan kehidupan, dipersembahkan oleh sang seniman, Zineb Sedira yang berasal dari Algeria. Sebuah pertunjukan yang dimaksudkan untuk menyampaikan cerita keluarganya dengan latar poskolonial melalui medium seni perfilman.

‘A living enchantment’: Dreams Have No Titles persembahan dari seniman Zineb Sedira. (Foto: David Levene/The Guardian)

Pertunjukan lain yang juga tak kalah fantastis adalah representasi perempuan berkulit hitam dari Inggris pertama, Sonia Boyce. Ia hadir dengan karya kolaboratif antara lima penyanyi perempuan membentuk sebuah polifoni, memampiri ragam genre mulai dari folk, pop dan jazz, kombinasi unsur lain seperti himne dan senandung, suara serak rendah, getaran nada tinggi semua bersatu padu dalam satu arah yang sama meskipun kelima penyanyi tidak melihat satu sama lain dan hanya dihubungkan melalui monitor televisi. Keseluruhan penampilan ini terasa seperti sudut latihan dari penyanyi-penyanyi impian dalam black history.

“Feeling Her Way” karya seniman Sonia Boyce. (Foto: Action Press/Rex/Shutterstock)

Dalam pameran seni ini tiap negara yang berpartisipasi diberikan slot paviliun masih-masing di mana seniman mereka dapat mengatur pertunjukan dan instalasi. Ragam instalasi dan penampilan lain dipersembahkan mulai dari patung tembaga ukiran seniman Simone Leigh dari Inggris yang membawa pesan kekuatan perempuan berkulit hitam hingga sudut khusus yang diperuntukkan untuk seniman representasi dari Ukraina dalam judul “This Is Ukraine: Defending Our Freedom”. Pavlov Makov dan Lesia Khomenko datang membawa sepotong kebudayaan seni Ukraina, menolak penghapusan negeri dan budaya Ukraina di bawah invasi Rusia.

“Cupboard” (2022) karya Simone Leigh. (Foto: David Levene/The Guardian)

“Max is in the Army” karya seniman Ukraina Lesia Khomenko. (Foto: David Laverne/The Guardian)

Dari total 213 seniman yang hadir di Venice Biennale tahun ini, hanya 21 di antaranya adalah laki-laki. Fenomena yang menjadi kebalikan 180˚ dari tahun-tahun sebelumnya. Pameran ini lebih dari sekadar perayaan seni, namun juga membawa pesan-pesan progresif persatuan dan perdamaian dunia.whiteboardjournal, logo