Licorice Pizza oleh Paul Thomas Anderson: Positif atau Negatif?

Film
06.01.22

Licorice Pizza oleh Paul Thomas Anderson: Positif atau Negatif?

Pembicaraan mengenai rasisme dalam film Licorice Pizza oleh Paul Thomas Anderson.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Nancy Rumagit
Foto: Licorice Pizza (2021)

Licorice Pizza adalah film terbaru dari sutradara Paul Thomas Anderson yang dirilis di Amerika Serikat pada tanggal 26 November 2021. Film ini mengisahkan dua karakter, Alana (diperankan oleh Alana Haim) dan Gary (diperankan oleh Cooper Hoffman) yang saling jatuh cinta di California pada tahun 1973. PTA dikenal sebagai sutradara yang telah menghasilkan karya-karya hebat, seperti There Will be Blood dan Phantom Thread, keduanya dibintangi oleh Sir Daniel Day-Lewis, pemenang tiga kali Piala Oscar untuk Best Actor, maka film ini tentunya sangat ditunggu-tunggu oleh penggemar PTA.

Sejak rilis perdana film ini, IMDb telah memberikannya nilai 8.1/10, Rotten Tomatoes 92%, dan Metacritic 89%. RTE pun mengatakan bahwa film ini adalah, “The first present of the new year,” dan memberitahu para pembacanya untuk, “Don’t waste any time in opening it.

Namun, layaknya cerita yang mengisahkan pasangan yang berumur 15 dan 25 tahun, dan  menunjukan kehidupan dan budaya tahun 1973, Licorice Pizza juga mendapatkan kritik yang negatif. Salah satunya adalah mengenai perbedaan umur antara Alana dan Gary, dan selain itu, MANAA (Media Action Network for Asian Americans) juga memberikan kritik mengenai satu adegan di mana Jerry Frick (diperankan oleh John Michael Higgins) berbicara dengan istrinya, Mioko (diperankan oleh Yumi Mizui), dengan logat Jepang yang dibuat-buat, dan satu adegan lain di mana Jerry Frick memiliki istri baru, Kimiko (diperankan oleh Megumi Anjo), namun masih memanggilnya dengan nama istri pertamanya.

PTA menanggapi kritik ini dalam wawancaranya dengan The New York Times dengan, “I think it would be a mistake to tell a period film through the eyes of 2021. You can’t have a crystal ball, you have to be honest to that time,” mengingat rasisme adalah sesuatu yang masih sangat dinormalisasikan pada era tersebut. PTA lalu mengatakan dalam wawancara tersebut bahwa, “There isn’t a provocative bone in this film’s body.”

Banyak opini yang berdentum mengenai film ini. Nancy Wang Yuen, seorang sosiolog, berkata, “It’s irresponsible to use racism against Asians as a running gag.” Opini-opini di sosial media pun beragam dari negatif ke positif, namun banyak pula yang mengapresiasi hal-hal positif dalam film ini, tanpa melupakan hal-hal yang perlu dikritik. Penulis Jourdain Searles berkata, “You can defend the movie while acknowledging that fact,” sebelum menambahkan, “Sometimes you love a movie and it has something f—ed up in it. That’s normal. Be honest.whiteboardjournal, logo