We_Review: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Film
18.11.21

We_Review: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Ulasan film persembahan Palari Films. Tentang film sebagai sebuah sikap dan keberpihakan, serta keberanian Edwin yang mengambil banyak keputusan penuh resiko.

by Whiteboard Journal

 

Foto: Palari Films
Text: M. Hilmi

Selama ini kita percaya bahwa karya adalah dokumentasi masa. Bahwa dari setiap karya yang ada, kita bisa melihat lanskap zaman. Di dalamnya kita bisa membaca situasi sosial, ekonomi, dan politik dunia. Tapi, belakangan kita juga diajak untuk menyadari bahwa lebih dari itu, karya adalah sikap. Pada setiap apa yang ditampilkan dalam sebuah karya, kita bisa melihat keberpihakan, dan mendengar aspirasi yang ingin disuarakan.

Dari sudut pandang ini, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” adalah karya film yang teramat penting. Sejak berupa novel, Eka Kurniawan membuat karya ini punya cara yang unik dalam menyindir konsep kejantanan. Eka memilih untuk menarasikan rapuhnya maskulinitas dalam bentuk tulisan yang dibuat seperti cerita silat yang kawin silang dengan erotisme stensilan. Sebuah hal yang ditangkap dengan sempurna oleh Jane Young Kim dari The Atlantic saat mereview buku “Vengeance is Mine, All Others Pay Cash”: 

“Vengeance isn’t trying to show the fights’ beauty for beauty’s sake, but to illustrate how a boy might find them beautiful—freeing, wild, their own form of political identity and coalesced power, a way to not have control and be okay with that.”

Di tangan Edwin, sudut pandang ini kemudian diamplifikasi dengan segala macam perkakas sinema. Pesan yang tadinya mungkin terasa sedikit subliminal dalam bentuk kata, kini terasa semakin nyata hadir di mata, telinga, dan meninggalkan bekas yang medalam di dada. 

Dan itu semua diciptakan dengan banyak keputusan-keputusan berani, bahkan penuh resiko. Rasanya, hampir tak ada konsep main aman yang diambil di sini. Beberapa di antara keputusan berani itu bisa kita rasakan pada pemilihan latar tahun ‘80an, arahan artistik, dialog dengan bahasa baku, hingga percampuran cast. Dalam konsep, semua terasa ajaib. Banyak film kita terasa awkward dan gagal saat berusaha hidup dalam latar waktu yang lampau. Soal dialog, banyak penulis naskah kita melahirkan karakter-karakter yang gagu bahkan dalam konteks bahasa sehari-hari jaman sekarang. Di film ini, Edwin dan Eka justru memilih untuk menciptakan semesta dengan dialog baku yang sama sekali asing. 

Brengseknya, resiko-resiko yang diambil di film ini justru berbuah manis. Setting ‘80an bisa dipercaya. Wardrobe, make-up hingga perkakas yang ada terasa cukup akurat (meski kalau boleh nitpicking, seorang teman yang menggemari dunia otomotif berkata bahwa ada mobil yang tidak sesuai era). Dialog yang baku menjadi charm tersendiri dan dibawakan dengan sempurna oleh tokoh-tokohnya. Sinematografi dan editing yang Tarantino-esque berhasil menciptakan penghormatan dan sekaligus parodi untuk era di mana Soeharto berkuasa. Pilihan cast yang nonkonvensional (pendatang baru Marthino Lio sebagai tokoh utama, Reza Rahadian sebagai aktor pendukung, Christine Hakim dan Lukman Sardi hadir sebagai tokoh sampingan) justru memberi dinamika yang menarik dan menunjukkan dimensi-dimensi akting yang belum pernah kita lihat sebelumnya dari masing-masing aktor. 

Jika ada satu hal yang terasa agak mengganggu adalah tentang scoring yang di beberapa adegan terasa agak out of place. Akurasi semesta kota pinggiran tahun ‘80an yang telah susah payah dibangun beberapa kali terdistorsi oleh komposisi musik pengiring. Beberapa kali bebunyian synthesizer terasa agak terlalu “gedongan” untuk setting lokasi dan penokohan. Tapi minus ini kemudian termaafkan saat kita mendengar lagu tema, “Bangun Bajingan”. Salah satu dari hal-hal terbaik di film Seperti Dendam adalah lagu yang dibawakan Ananda Badudu bersama Rubina. Rasanya belum pernah kata “bajingan” terdengar tajam menyembilu seperti ini. Suara Ananda yang rapuh menajamkan nelangsa pada keputusasaan Ajo Kawir atas burungnya yang sonder gelora. Lengking suara Rubina kemudian menebar ngilu di atas Ajo Kawir punya luka. Sempurna.

Satu hal yang kemudian mengangkat film ini punya posisi yang istimewa adalah bagaimana Edwin masih bisa bermain dan menitipkan kekhasan artistik miliknya. Dengan sedemikian rupa, nuansa surreal dan adegan yang mempertontonkan oral fixation yang menjadi khas karya Edwin hadir tak hanya sebagai tempelan, tapi justru memberi layer tambahan yang unik dan membuat film ini milik ia sepenuhnya. 

Segala pencapaian artistik ini kemudian utuh saat kita bicara soal substansi. Melalui plotnya, kita diajak melihat bahwa banyak masalah bermuara pada bagaimana laki-laki tak mampu mengendalikan ego dan kelaminnya. Dan esensi ini disampaikan dalam cara bertutur yang sama sekali tak menggurui. Beberapa bahkan bisa mengundang empati sembari memancing komedi. 

Dari cerita kawan-kawan yang telah menonton, kebanyakan merasakan kebutuhan untuk berdiskusi setelah durasi film usai. Ini jelas hal yang patut dirayakan. Di antara situasi dunia yang semakin tak karuan, pemerintah yang tak bisa diandalkan dan kebutuhan individu untuk berkompetisi gara-gara sosial media yang penuh tekanan, keinginan untuk sejenak berhenti, berimajinasi, berdiskusi dan mendengar pendapat orang lain adalah oase yang kita semua perlukan. 

Sejak “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” kita melihat semakin banyak karya yang mengambil keberpihakan pada perempuan. Tahun ini, selain “Seperti Dendam..” kita juga disuguhi film seperti “Penyalin Cahaya” dan “Yuni” . Jika memang benar ini adalah momentum kebangkitan sinema Indonesia, kita bisa bangga bahwa kebangkitan ini dibangun dari substansi. 

“Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” mulai tayang di bioskop lokal tanggal 2 Desember 2021. Film ini diperuntukkan bagi penonton dengan usia 18 tahun ke atas. whiteboardjournal, logo