Hadirnya Narasi Konyol Perubahan Iklim, Imbas dari Kegagalan Komunikasi Sains?

Human Interest
29.07.22

Hadirnya Narasi Konyol Perubahan Iklim, Imbas dari Kegagalan Komunikasi Sains?

Komedi, satire, juga kartun dapat menjadi media komunikasi kreatif yang seringkali digunakan untuk menyampaikan kritik atau topik-topik yang sulit hingga sensitif, termasuk krisis iklim.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Septiana Noor Malinda
Foto: Photo/Anupam Nath

Kabar mengenai kondisi ekstrim sebagai dampak dari perubahan iklim bukanlah hal yang baru. Meskipun demikian, tetap mencengangkan bahwa baru-baru ini tersiar kabar adanya gelombang panas (heatwave) yang terjadi di Bandar Udara Internasional London Heathrow dengan pencapaian rekor terbaru, yakni suhu yang mencapai 40 derajat Celsius.

Dewasa ini, isu perubahan iklim bukan hanya menjadi fenomena alam yang dapat diobservasi, melainkan juga debat ideologi dan budaya yang tegang dan intens. Rumor-rumor disrupsi terus menerus bergaung bersamaan dengan isu perubahan iklim, seperti di Inggris tersebar konsekuensi berupa penghentian operasi transportasi publik; emergency service yang mencapai titik terburuknya; penutupan sekolah; hingga kebakaran besar di seluruh London. Akan tetapi, hiperbola kekacauan yang ditimbulkan heatwave bukannya tidak berdasar. Pada dasarnya manusia akan cenderung bertingkah aneh (liar) ketika berada di tempat dengan temperatur yang lebih tinggi dari yang biasanya mereka rasakan. It’s called a heat brain. 

Dampak dari krisis iklim mestinya menyadarkan seluruh pihak bahwa isu perubahan iklim bukanlah diskusi milik elitis. Namun, tidak disangkal bahwa pembahasan kengerian krisis iklim akibat perbuatan manusia seringkali serius, suram, dan seolah tidak memiliki harapan. Penggunaan bahasa sains yang digunakan juga justru membuat pusing pembaca yang melemahkan mereka karena adanya pemikiran bahwa pembaca kurang bisa paham. 

Ampuhnya Edukasi Iklim dengan Satire

Penyampaian narasi perubahan iklim ini menarik Maxwell Boykoff bersama Beth Osnes untuk melakukan penelitian tentang penyampaian pesan tentang perubahan iklim melalui komedi dan humor. Karya mereka yang bertajuk “Creative (Climate) Communications” memaparkan integrasi implementasi ilmu sosial serta penelitian dan praktik humaniora guna menjalin hubungan terhadap setiap orang agar lebih efektif. Ketimbang menggunakan bahasa yang menciptakan kesan bodoh, penelitian ini justru didasarkan pada pendekatan untuk “membuat lebih pintar” terhadap topik yang beragam, salah duanya melalui komedi dan satire. 

Komedi, satire, juga kartun dapat menjadi media komunikasi kreatif yang seringkali digunakan untuk menyampaikan kritik atau topik-topik yang sulit hingga sensitif, termasuk krisis iklim. Bentuk komunikasi kreatif dapat digunakan untuk menyampaikan sindiran atau kritikan dengan sisipan wawasan yang arif dengan nuansa tawa.

Para ilmuwan agaknya harus bekerja keras bersama para ahli komunikasi untuk membangun kewaspadaan sekaligus harapan. Hal ini dikarenakan climate-denialist juga tidak kalah strategis dalam memberikan cemooh. Sekali lagi masih di Inggris, Daily Mail pernah memuat artikel dari penulis yang mengecam Kantor Met – layanan nasional cuaca Inggris – karena menyebarkan ‘alarm’ dan ‘ceramah yang sarat malapetaka’. Penulis tersebut ternyata adalah seorang penulis untuk pidato dan konsultan di sektor energi. Seseorang dari Partai Konservatif (Tory), Sir John Hayes, menyebutkan menggunakan SPF sama dengan menghina ratu. Hayes sendiri ternyata bagian dari perusahaan perdagangan minyak dan gas. Tidak berhenti sampai di situ, ejekan masih berlangsung dalam bentuk tweet penggunaan SPF untuk babi hingga tayangan heatwave oleh Sky News yang dinilai fear mongering.


Jangan khawatir, Jimmy Kimmel dalam “Jimmy Kimmel Live” memberikan komentar menghibur, “Selalu ada hikmahnya. Malapetaka di satu planet adalah kesempatan untuk mencari planet lain.” Ia lalu merujuk pada iklan bangkrut planet bumi yang berbunyi, “Semuanya dijual! 50% dari semua hewan nokturnal, serangga, reptil dan amfibi … dijual sebelum pergi ke neraka. Kalian harus bertindak secepatnya, karena Bumi akan segera berakhir. Dan ketika Bumi hilang, ia benar-benar hilang.

Sempat pada 2017 lalu, Wakil Presiden Al Gore muncul di “The Late Show with Stephen Colbert” dan mereka secara bergantian dengan menyajikan pickup line tentang perubahan iklim dengan diiring oleh musik. Gore memulai, “Apakah kamu perubahan iklim? Karena ketika aku melihat kamu, dunia menghilang.” Di sini Colbert tak mau kalah, “Aku seperti 97% ilmuwan lain, dan aku tidak bisa menyangkal … suasana semakin panas di sini.”

Di Indonesia, aksi dan komunikasi strategis perubahan iklim juga telah dilakukan, salah satunya di gelaran aksi global Rise For Climate pada 2018 yang menggandeng tokoh-tokoh agama. Devin Maeztri selaku penanggung jawab dan perwakilan organisasi 350.org Indonesia menyatakan pertimbangan pelibatan tokoh agama dalam kampanye isu perubahan iklim di Indonesia, “Kami ingin mendorong para tokoh agama mengatakan kepada para umatnya bahwa perubahan iklim itu nyata dan telah terjadi”. 

Dengan demikian, masih dalam misi penyelamatan bumi, edukasi dan optimisme masih bisa ditumbuhkan melalui upaya kolektif yang jauh lebih strategis, seperti melalui humor dan komedi. Penyampaian informasi perubahan iklim harus memperhatikan berbagai macam perspektif, mulai dari filsafat, psikologi, sosiologi, dan komunikasi. Selain itu, komunikasi yang dijalin haruslah emosional, menyentuh, dan berdasarkan pengalaman dapat diterima oleh banyak orang.whiteboardjournal, logo