Melihat Peluang Transformasi Pendidikan di Kala Pandemi Bersama Najelaa Shihab
Berbincang dengan pendidik dan penggerak pendidikan, Najelaa Shihab, kami membahas soal progresivitas serta dampak dari kondisi pandemi terhadap sistem pendidikan kita.
Words by Hana A. Devarianti
“Gemas” adalah kata yang diucapkan Najelaa Shihab, seorang pendidik dan penggerak pendidikan Indonesia, ketika kami menanyakan tanggapan dirinya atas kondisi sistem pendidikan kita saat ini. Kata tersebut rasanya memang tepat untuk menggambarkan perasaan kita saat menelaah dunia pendidikan Indonesia. Saat negara lain sudah berhasil mencetak anak-anak yang mampu bersaing secara global, Indonesia masih saja berkutat soal mana jurusan yang lebih “pintar”: IPA, IPS, atau Bahasa? Seolah-olah lupa bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Namun, pandemi COVID-19 yang memaksa sistem pendidikan kita untuk beradaptasi secara cepat sepertinya telah membuka mata publik soal sistem pendidikan kita yang terjebak di masa lalu juga betapa besarnya kesenjangan mutu pendidikan kita. Apakah ini pada akhirnya akan menjadi silver lining dari pandemi ini? Bersama Elaa, begitu ia biasa disapa, kami membahas bagaimana pandemi bisa membuka jalan agar sistem pendidikan kita bisa benar-benar menjadi jembatan untuk masa depan.
Bagaimana awal mula Anda terjun ke dunia pendidikan? Apakah latar belakang keluarga Anda yang memang aktif di dunia pendidikan membawa pengaruh dalam hal ini?
Kalau melihat pengalaman saya, ayahku (Quraish Shihab) itu seorang dosen dan pendidik sama juga seperti kakek (Abdurrahman Shihab) yang juga seorang pendidik. Jadi, dunia pendidikan itu memang dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari. Ayah juga selalu cerita kalau waktu saya kecil saya sering diajak beliau mengajar, sampai ke luar kota pun saya diajak. Jadi, sejak SD, kalau ditanya cita-cita saya mau jadi apa, saya selalu bilang saya mau menjadi guru. Teman-teman banyak yang bilang “Wah, kejadian juga ya lo jadi guru!” [tertawa].
Saya selalu cerita kalau saya itu mungkin definisi anak yang pintar di sekolah; selalu ranking, nilai ujiannya bagus, diterima di sekolah negeri favorit, masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes, dan sebagainya. Tapi, saya juga selalu gelisah dengan dunia pendidikan. Saya selalu merasa there is something wrong with our schooling system. Karena justru, banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang sesungguhnya tidak terjadi di kelas. Di satu sisi, banyak hal-hal yang tidak esensial yang harus dipelajari demi sekadar mendapatkan nilai atau ijazah. Padahal, banyak sekali kompetensi-kompetensi yang sesungguhnya justru tumbuh pada saat berinteraksi dengan teman-teman, diskusi dengan kritis, dan seterusnya. Dan, saya sangat melihat bahwa banyak sekali guru yang mungkin menganggap tugasnya bukan membina hubungan yang baik dan melakukan personalisasi ke murid, tetapi seolah-olah hanya untuk menjejalkan pengetahuan dan kurikulum yang sebenarnya tidak relevan. Sehingga, waktu SMA itu saya sudah berkeinginan untuk mengambil jurusan psikologi, karena saya ingin belajar banyak tentang manusia, proses belajar, perkembangan anak sampai dewasa ,dan seterusnya. Karena, saya yakin bahwa itu bagian yang sesungguhnya hilang dari pendidikan kita.
Anda mendirikan beberapa institusi dan gerakan pendidikan yang membawa banyak terobosan di dunia pendidikan Indonesia. Mulai dari Sekolah Cikal, Inibudi.org, PSPK (Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan), Kampus Guru Cikal, Keluarga Kita, Semua Murid Semua Guru, Sekolah.mu, hingga beberapa yang lainnya. Apakah concern yang tadi itu pula yang mendorong Anda mendirikan institusi dan gerakan tersebut?
Saya sebenarnya dorongan utamanya adalah belajar. Orang kalau bertanya motivasi saya apa, saya selalu bilang kalau saya orangnya kepo banget, selalu penasaran dan ingin belajar. Dan, selalu melihat bahwa dunia pendidikan di Indonesia itu membutuhkan perubahan dan meyakini bahwa yang butuh berubah itu bukan cuma satu pihak.
Dunia pendidikan itu kan kompleks. Kalau kita bicara soal pendidikan, ada sekolah, orang tua di keluarga, guru sebagai individu dan profesi yang butuh mengembangkan dirinya, dan ada juga pemerintah yang punya kebijakan-kebijakan. Kalau ditanya kenapa saya mengerjakan banyak hal dalam pendidikan, sebetulnya karena yang saya kerjakan itu menyentuh semua pemangku kepentingan pendidikan. Mulai PSPK (Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan) yang memang menjadi tempat penelitian dan advokasi pendidikan, Sekolah.mu yang menggunakan teknologi untuk belajar, ada Keluarga Kita yang di lingkup keluarga, ada Kampus Guru Cikal, hingga yang lainnya, tujuannya sebenarnya satu yaitu mencoba menjadi penggerak perubahan pendidikan dan mengumpulkan agent of change di masing-masing sektor. Karena, kalau saya hanya mengerjakan salah satu saja, misalnya, Kampus Guru Cikal dengan Komunitas Guru Belajar yang sudah ada di ratusan kota dan kabupaten. Kemudian, misalnya, semua gurunya sudah super keren, bagus, kompeten, merdeka, punya karier, dan berkolaborasi. Tapi, semua yang sudah diupayakan oleh itu tidak cukup mengubah sistem pendidikan kita. Karena orang tua tidak bisa menerapkan pola disiplin yang positif ke anak, memiliki hubungan yang reflektif, atau mendukung anak untuk belajar efektif.
Makanya, saya mengerjakan banyak inisiatif itu untuk menunjukkan bahwa pendidikan itu betul-betul tanggung jawab kita semua. Bahwa, perubahan pendidikan tidak bisa dibebankan kepada salah satu pihak saja, apalagi kalau cuma ke pemerintah saja. Kita semua harus bisa bergerak dan melakukan sesuatu.
Beberapa tahun terakhir ini, sudah banyak masyarakat yang mulai menyadari tentang kompleksitas dari pendidikan. Selain itu, berkembang pula tren digitalisasi pendidikan sampai orang tua muda daerah urban yang memahami pentingnya pendidikan yang menyeluruh bagi anak. Namun, apakah saat ini kita sudah cukup progresif dalam meningkatkan mutu pendidikan kita?
Saya sudah berada di dunia pendidikan sudah lebih dari 20 tahun. Kalau ditanya selama beberapa tahun terakhir ini dunia pendidikan kita sudah berkembang atau belum, I clearly see progress. Terlihat bahwa penggerak perubahannya semakin banyak dan tersebar di semua sektor. Ada banyak inisiatif-inisiatif yang muncul dan berkembang. Contohnya, di Semua Murid Semua Guru, yang sebenarnya baru mulai di tahun 2015, sekarang saja sudah berkembang menjadi 712 organisasi pendidikan. Semua organisasi yang tergabung tersebut melakukan inovasi-inovasi pendidikan yang bergerak di berbagai klaster, mulai dari literasi, teknologi, pengembangan guru, pengembangan anak muda, pendidikan inklusif, banyak sekali.
Namun, kalau dibandingkan dengan masalahnya yang mana di Indonesia mencangkup skala yang sangat besar; bayangkan ada 83 juta anak, 56 juta anak di sekolah, 4 juta guru, hampir 400 ribu sekolah, kita masih membutuhkan inovasi yang lebih banyak lagi. Terutama untuk inovasi yang bisa berskala besar. Karena saya melihat banyak inovasi, komunitas, dan organisasi pendidikan yang sebenarnya punya praktek-praktek baik dan bisa memberikan solusi-solusi, tapi pada akhirnya cuma berdampak di, misalnya, satu kota saja atau sepuluh kota saja, dan seterusnya. Nah, ini yang mudah-mudahan pelan-pelan, apa yang dilakukan dengan jaringan Semua Murid Semua Guru, akan semakin banyak kolaborasi yang terjadi di antara inovator-inovator ini. Sehingga, akan membantu untuk memperbanyak jumlah inovasinya juga. Contoh suksesnya memang sudah banyak, tapi saya rasa belum bisa memenuhi besarnya kebutuhan pendidikan di Indonesia.
Kemudian, hal yang penting untuk diingat juga adalah kesenjangan pendidikan di Indonesia juga masih sangat besar. Jadi, kalau kita lihat guru yang menjadi penggerak di Komunitas Guru Belajar, jumlahnya sekarang 73 ribu yang aktif di 178 kota, tapi masih ada ratusan kota yang lain kan yang mungkin sangat ketinggalan. Dan, isu kesenjangan dan tidak adanya pemerataan pendidikan adalah salah satu isu pendidikan terbesar kita. Personally, for the next five years I really want to focus on that. Karena, saya melihatnya bagaimana caranya kualitas yang sudah bisa dinikmati oleh sebagian kecil anak, yang dinikmati oleh saya atau juga kamu yang termasuk masyarakat Indonesia yang berhasil mendapatkanya dengan memiliki, misalnya, sekolah bagus, orang tua suportif, lingkaran pertemanan yang baik, sampai kesempatan magang, atau apapun itu, bisa dinikmati oleh semua anak-anak. Anak-anak yang rentan, yang selama ini punya achievement gap dan opportunity gap, inilah yang ingin terus saya bantu. Sehingga pendidikan akhirnya betul-betul bisa menjadi jembatan masa depan untuk mereka yang justru paling membutuhkan.
Isu tidak meratanya pendidikan sendiri sudah menjadi “PR” lama dari sistem pendidikan di Indonesia. Melihat hal ini, menurut Anda, apa solusi dari isu yang sudah berkepanjangan ini?
Saya yakin sebetulnya solusinya adalah kolaborasi. Kalau ditanya ini masalah lama, ya jelas ini masalah lama. Rasanya dari sejak Indonesia merdeka, ini masalah yang dari awal tidak kunjung usai. Tapi memang, kalau melihat masalah pendidikan di Indonesia itu bikin gemas! Banyak sekali masalah yang tidak selesai-selesai!
Coba deh, yang paling simpel, anggapan kalau jurusan IPA lebih keren daripada IPS. Itu sepertinya dari 30 tahun yang lalu sampai sekarang masih saja ada! How come anak-anak diarahkan bukan berdasarkan minat dan bakatnya, tetapi dipaksakan ke minat tertentu karena seolah-olah ada akselerasi bagi anak-anak yang punya minat tersebut. Maksud saya, yang bikin gemas dan, pada saat yang sama, selalu bikin saya semangat mengerjakan “PR” di sistem pendidikan kita adalah banyaknya masalah yang ada. Ya dari soal distribusi guru, kurikulum yang fokusnya standardisasi bukan kontekstualisasi untuk melihat keragaman lokal bagaimana, hingga radikalisme dan korupsi pendidikan, itu semua masalah puluhan tahun. Jadi, kalau saya teriak-teriak gawat darurat pendidikan itu memang benar adanya. Karena kalau kita melihat angka apapun, mau itu hasil skor internasional, mau itu kenyataan di masyarakat, memang pendidikan kita belum bisa jadi solusi atau jembatan yang saya katakan tadi.
Lalu, kenapa saya melihat kolaborasi sebagai solusi sesungguhnya berhubungan juga dengan perhatian utama saya untuk mengajak sebanyak mungkin orang untuk menjadikan pendidikan sebagai kepentingan bersama. Karena masalah yang ada di pendidikan itu tidak pernah bisa diselesaikan hanya oleh orang yang berada langsung di dunia pendidikan. Pendidikan itu kepentingan semua orang, lho. Misal, di dunia usaha dan industri, mereka kan butuh individu dengan potensi yang baik dan bisa bekerja di berbagai korporasi, berwirausaha, dan menumbuhkan ekonomi. Itu kan bukan kepentingannya guru, seperti saya, tapi kepentingannya pengusaha. Dunia seni juga punya kepentingan di pendidikan. Kepentingannya bukan cuma soal jualan lagu atau film. Tapi, kepentingannya adalah bagaimana membentuk ekosistem pendidikan yang bisa membentuk anak-anak yang sejak awal sudah kritis. Sehingga, pada akhirnya mereka bisa membangun ekosistem seni yang baik pula.
Harapan kolaborasinya itu adalah justru dengan melibatkan sebanyak mungkin sektor untuk juga mengambil peran dan tanggung jawab dalam pendidikan. Karena kalau mengharapkan hanya para pendidik yang menyelesaikan masalah pendidikan, ya seperti ini jadinya [tertawa]. Ada perkembangan tapi perkembangannya tidak secepat perkembangan dunia. Sehingga, pada akhirnya sektor pendidikan kita akan selalu ketinggalan.
Apakah ketertinggalannya pendidikan kita dengan negara lainnya juga terpengaruh dari kecenderungan kita berpegang pada anggapan-anggapan lampau yang sebenarnya membatasi diri kita untuk berkembang?
Sesungguhnya hal yang paling mendasar yang hilang dari pendidikan kita itu keberpihakan pada anak.
Iya. Dan, kalau saya melihatnya kadang-kadang bukan cuma soal what works dan what does not works. Bisa saja kita berdebat kalau sesuatu yang konvensional itu berhasil kok buat generasi sebelumnya. Tapi, yang seringkali kita tidak sadari adalah dengan zaman yang sudah berubah, apa yang dibutuhkan dan kompetensi-kompetensi yang dituntut juga jauh berbeda dengan, let’s say, sekadar dapat nilai atau kurikulum yang terstandardisasi, sesuatu yang berhasil di generasi dulu. Dan memang kita sering kali sulit untuk berubah. Kalau di Sekolah.mu, kami sering bilang kalau ada sekolah-sekolah yang abad ke-19, yang metodenya tidak berubah sejak dulu. Sehingga, jangankan jadi sekolah merdeka belajar, kemudian naik jelas jadi sekolah merdeka berkolaborasi dan sekolah merdeka berkarya, sesungguhnya mereka itu menghasilkan murid-murid yang menderita dalam proses belajarnya. Dan, itu juga yang dulu saya alami dan mungkin generasi kamu juga alami. Tapi, sedihnya, sekarang kalau kita masuk ke ruang kelas kita masih bisa menemukan murid-murid yang seperti kita dulu. Ya, gawat daruratnya itu anak-anak seperti mati kebosanan di kelas karena merasa buang-buang waktu berjam-jam di sekolah setiap hari.
Jadi, kita sering lupa kalau anak berhak mendapatkan pendidikan yang relevan, yang sesuai dengan kompetensi masa depan yang dibutuhkan di zamannya.
Sesungguhnya hal yang paling mendasar yang hilang dari pendidikan kita itu keberpihakan pada anak. Jadi, kita sering lupa kalau anak berhak mendapatkan pendidikan yang relevan, yang sesuai dengan kompetensi masa depan yang dibutuhkan di zamannya. Bukan cuma pendidikan yang bagus secara administrasi, nilai rata-rata ujian jadi tinggi, dan sesuai dengan standardisasi atau akreditasi, tapi memang yang betul-betul berkualitas dan berdampak pada anak-anak. Feedback loop itu yang ingin saya capai dengan segala inisiatif saya. Kalau di Sekolah.mu, kami bilangnya itu adalah sekolahnya murid, jadi sekolah yang benar-benar berpihak pada murid di mana murid bisa memilih program yang sesuai dengan tingkat kesiapan dan kebutuhannya. Nah, semakin kita berpihak pada anak, semakin kita mengingat kalau tujuan pendidikan sebenarnya yang utama adalah untuk anak-anak. Anak-anak yang harus terlebih dahulu mendapatkan manfaat pendidikan. Mudah-mudahan dengan menyadari hal itu, inovasi untuk pengembangan pendidikan juga semakin banyak.
Bicara soal motivasi belajar anak, ada beberapa pihak yang mengatakan kalau motivasi belajar anak di Indonesia rendah. Apakah hal ini disebabkan karena kurikulum yang belum memadai atau karena banyak anak-anak yang tidak menyadari bahwa pendidikan itu penting? Melihat saat ini juga sudah ada figur seperti Bill Gates atau Steve Jobs, misalnya, yang tidak lulus sekolah tapi sukses.
Jadi, pendidikan itu kan belajar, bergerak, bermakna. Saya selalu bilangnya seperti itu. Jangan disamakan kalau pendidikan itu lulus sekolah dan dapat ijazah. Karena banyak sekali orang-orang yang lulus sekolah dan dapat ijazah, tapi tidak ada proses belajarnya, tidak ada gerakan dan aksi nyata, dan pada akhirnya tidak bermakna karena tidak bisa berkontribusi. Ya, Bill Gates itu memang tidak lulus sekolah tapi dia live long learner, yang terus belajar dan melakukan aksi, bergerak, bermanfaat, dan memberikan makna buat lingkungannya. Ini yang menjadi salah satu miskonsepsi di pendidikan yang sampai sekarang banyak orang belum memahami tentang pendidikan itu sebenarnya buat apa. Makanya, kita sering kali tertipu dengan memaksa anak untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya kalau dipikir-pikir tidak ada relevansinya dengan masa depan. Membuat anak merasa sedang berada di penjara kalau sedang sekolah, tidak bisa memahami dan memperlakukan anak dalam hubungan yang memanusiakan, tidak memberikan anak tantangan, tidak membuat anak memahami konsep, dan tidak memberikan kaitan bahwa proses belajar itu berkelanjutan. Jelas saja anak tidak termotivasi dan jangan salahkan anak akan hal itu.
Yang harus kita lakukan adalah bukan mengubah anak-anak ini, apalagi melabel mereka sebagai pemalas. Yang kita butuhkan akan mentransformasi sistem pendidikan untuk bisa lebih memenuhi kebutuhan mereka.
Anak itu sebenarnya terlahir dengan motivasi belajar yang sangat tinggi. Saya selalu bilang anak itu terlahir dengan kemerdekaan belajar, lho. Bayi saja punya curiosity, optimisme, sampai kemampuan untuk menoleransi frustasi. Kalau tidak, mana mungkin kita bisa belajar bahasa dengan kosa katanya, berjalan, dan mengobservasi lingkungan dengan sebegitu cepat. Itu semua sebetulnya kemampuan dan kemerdekaan untuk belajar yang kita bawa, fitrah dari Allah SWT. Tapi, yang terjadi sistem pendidikan kita tuh justru mematikan hal itu. Yang sebelumnya merdeka jadi tidak merdeka. Yang sebelumnya termotivasi jadi demotivasi. Jadi, yang harus kita lakukan adalah bukan mengubah anak-anak ini, apalagi melabel mereka sebagai pemalas. Yang kita butuhkan akan mentransformasi sistem pendidikan untuk bisa lebih memenuhi kebutuhan mereka.
Menyinggung tentang transformasi pendidikan, pandemi COVID-19 dilihat telah membawa transformasi dalam pendidikan secara global. Di Indonesia sendiri, situasi ini paling berdampak ke soal digitalisasi pendidikan. Bagaimana tanggapan Anda akan hal ini?
Saya tentu berharap ada hikmah dibalik wabah ini, di saat kita memang dipaksa untuk mengadopsi metode-metode pembelajaran jarak jauh yang selama ini jarang dipraktekkan. Kalau pengalaman kami di Sekolah.mu, yang selama ini sudah membantu proses ribuan sekolah untuk bertransformasi agar bisa menjalankan program berkualitas yang berbasis kompetensi dan personalisasi secara online dan offline supaya dapat dinikmati oleh lebih banyak murid lintas sekolah. Tapi, proses ini tidak bisa terjadi pada semua sekolah karena pada kenyataannya kapasitas sekolah itu beragam dan tingkat maturity dalam mengadopsi teknologi pun beragam. Jadi, dalam kondisi pandemi COVID-19 ini sebetulnya fenomena yang kita lihat bukan hanya soal teknologi tapi juga soal kesenjangan. Betapa ada anak-anak yang bisa mendapatkan akses dengan mudah dengan tidak ada sekolah pun bisa digantikan oleh teknologi atau sumber belajar yang ada di sekolah, tetapi ada juga anak-anak yang sama sekali tidak bisa mendapatkan akses itu. Mudah-mudahan ini juga menjadi wake up call bahwa isu kesenjangan ini adalah isu yang harus diselesaikan. Jangan sampai wabah COVID-19 ini membuat isu kesenjangan dalam pendidikan menjadi semakin besar karena ada anak yang mendapat dukungan dan ada yang tidak.
Dalam kondisi pandemi COVID-19 ini sebetulnya fenomena yang kita lihat bukan hanya soal teknologi tapi juga soal kesenjangan
Khusus untuk soal teknologi pendidikan, saya juga mau berhati-hati saat membicarakan soal ini. Kenapa? Karena tidak semua teknologi pendidikan membawa inovasi dan menjadi disrupsi yang dibutuhkan buat ekosistem ini. Jangan sampai kita hanya terpukau pada kecanggihan aplikasi dan metode teknologi yang seolah-olah baru, tanpa melihat bahwa sebenarnya praktek-praktek yang digalakkannya sesungguhnya adalah praktek konvensional yang ingin kita tinggalkan. Yang kita inginkan dengan teknologi kan dia menjadi alat untuk berkolaborasi. Teknologi itu bukan alat untuk membuat guru-guru menjadi tidak berdaya atau digantikan. Teknologi seharusnya bisa jadi alat untuk membantu ada umpan balik yang utuh, alat untuk membuat sekolah bisa bertransformasi dan memenuhi kebutuhan murid, dan sebagainya. Ini juga yang mudah-mudahan menjadi proses adopsi yang terjadi di masa COVID-19, di mana guru-guru berkenalan dengan berbagai inovasi dan sumber belajar yang ada di luar kelas yang nantinya bisa dipertahankan untuk jangka panjang.
Yang terakhir, kalau bicara soal COVID-19 juga bicara soal peran keluarga. Sekarang banyak orang tua yang “terpaksa” menjadi fasilitator belajar dan mengajar anak di rumah. Dan, saya tahu proses adaptasinya juga tidak mudah. Akan tetapi, harapannya situasi ini juga mengingatkan kembali bahwa peran orang tua itu sangat penting dalam pendidikan. Bahwa, kemampuan orang tua untuk memfasilitasi proses belajar anak secara efektif itu sesungguhnya sesuatu yang bukan hanya terjadi saat wabah. Semoga setelah wabah ini usai, orang tua semakin menjadi salah satu pemangku kepentingan yang semakin berdaya dan dilibatkan dalam proses pendidikan.
Terlepas dari situasi pandemi COVID-19 ini, sebenarnya seperti apa posisi orang tua sebagai perpanjangan pendidik anak di rumah?
Semua itu kembali ke tingkat kesiapan anak dan interaksinya dengan orang tua. Pada prinsipnya, keterlibatan orang tua dalam proses belajar dan mengajar anak tentu akan disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Semakin muda usianya, belum mandiri dalam proses belajar mengajarnya, tentu keterlibatan orang tua jadi jauh lebih intens dibandingkan dengan anak-anak yang sudah lebih mandiri. Itu yang kemudian jadi sangat penting dan jadi bagian dari program pendidikan yang dilakukan sekolah juga pemerintah, bahwa orang tua itu juga harus “naik kelas”. Orang tua harus belajar terus dan mendapat pengembangan untuk kemudian bisa menyesuaikan pola pengasuhannya. Pertama, tentu dengan tujuan masa depan, sehingga kompetensi-kompetensi yang ingin ditumbuhkan di masa depan. Tentu itu bukan proses yang mudah karena sebagian besar orang tua melewati proses pengasuhan yang mungkin relevan dengan masa lalunya, di mana mereka tidak mendapat contoh tentang sebetulnya future skill as a kid and as a parent itu seperti apa.
Dalam Keluarga Kita, kita selalu bilang kalau proses belajar ini butuh terjadi antar sesama orang tua. Jadi, semakin mereka percaya bahwa belajar itu penting, semakin berdaya, dan ada pemahaman bahwa pengasuhan itu urusan bersama, orang tua akan belajar terus untuk bisa mencintai anak-anaknya dengan lebih baik. Karena sesungguhnya orang tua punya modalnya kok, orang tua kan pasti peduli dan ingin anaknya sukses. Jadi, ini cuma masalah bagaimana orang tua menyalurkan cinta itu menjadi cinta yang lebih baik dan bagaimana kita, sebagai pendidik, juga membangun program-program yang membantu agar motivasi orang tua untuk membantu anaknya bukan jadi sesuatu yang berbahaya atau merugikan anak, tetapi memang mendukung kompetensinya.
Dengan kondisi pandemi ini, bagaimana membuat proses belajar mengajar menjadi efektif, baik untuk anak-anak, orang tua, juga guru?
Ada beberapa hal. Keluarga Kita sudah sempat membuat materi-materinya. Yang pertama yang perlu difokuskan adalah punya rutinitas belajar terlebih dulu di rumah masing-masing. Dan, ini sayangnya banyak yang tidak dimiliki ketika wabah belum terjadi. Sehingga, pada saat proses belajar yang sebelumnya hanya terjadi di sekolah kemudian harus pindah ke rumah, kondisinya jadi kacau balau. Jadi, yang selalu saya anjurkan adalah buat kesepakatan bersama terlebih dahulu untuk membangun rutinitas belajar di rumah, dalam berbagai bentuknya, misal, dengan memiliki jadwal belajar atau tempat belajar yang spesifik. Kemudian, orang tua dan guru juga harus mengenali kembali apa yang dibutuhkan anak, mulai dari rentan konsentrasinya dan membutuhkan dukungan pada saat apa ketika proses belajar tersebut. Nah, kalau rutinitas belajarnya sudah terbentuk, maka akan jadi lebih mudah untuk masuk ke tahap kedua di mana kita melihat materi-materi pembelajaran apa yang dibutuhkan dan disesuaikan dengan bakat dan minat anak.
Dalam konteks COVID-19, hikmah dari wabah ini adalah pilihan proses belajar menjadi lebih banyak. Kalau sebelumnya proses belajar hanya didapatkan di sekolah saja, mudah-mudahan dengan proses belajar di rumah ini orang tua juga terbuka pada pilihan lain. Sehingga, anak bisa mendapat kesempatan bukan cuma belajar pelajaran yang biasa di sekolah tetapi juga mengeksplorasi minat dan bakatnya dengan menggunakan sumber dan materi yang ada dari manapun. Hal ini mungkin justru semakin lebih meningkatkan motivasi belajar anak karena anak punya waktu untuk mendalami bidang-bidang yang sebelumnya jadi prioritas untuk didalami.
Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak orang tua untuk juga mengelola ekspektasinya, karena membentuk rutinitas belajar di rumah itu pasti butuh waktu dan wajar kalau di minggu-minggu pertama masih berantakan. Tapi, setelah rutinitas itu terbentuk, orang tua juga sudah beradaptasi, menerapkan pola disiplin yang baik, dan mengelola emosi–karena di situasi yang penuh ketidakpastian ini pasti mengalami kesulitan pula, kita bisa coba mengambil hikmah bahwa orang tua itu perannya juga belajar bersama anak. Mudah-mudahan ini menjadi kesempatan bagi orang tua untuk belajar hal baru, entah itu berkaitan dengan parenting atau bidang ilmu tertentu, sehingga orang tua tak hanya jadi guru di rumah tetapi juga murid bersama-sama anak untuk mendalami bidang baru. Lalu, sama-sama menemukan bahwa interaksi keluarga itu ternyata banyak ragamnya, hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan bersama-sama justru sekarang jadi bisa dilakukan karena kita memiliki waktunya.
Saya berharap banget, di antara semua kekhawatiran dan risiko ini, somehow ada inovasi atau kebiasan-kebiasan baik yang bisa menjadi bekal kita untuk menghadapi situasi sesudah wabah.
Selama wabah ini, cara-cara apa yang bisa dilakukan oleh orang tua dan guru untuk memastikan kalau anak-anak dapat dapat waspada dan memahami kondisi yang ada tanpa membuat mereka merasa trauma?
Cukup banyak kok sebenarnya program-program kreatif yang mencoba menerangkan tentang virus dan penyakit COVID-19 kepada anak tanpa perlu menakut-nakuti. Yang paling penting diingat sebetulnya, anak-anak jangan diperkenalkan dengan risikonya tetapi gunakan momentum ini untuk menekankan kebiasaan-kebiasaan baik dan hidup sehat yang memang berguna dalam situasi wabah atau pun sesudah wabah. Mulai dari cuci tangan, makan sehat, sampai aktif bergerak. Semoga itu yang bisa terus bermanfaat dan jadi hal-hal yang bisa diterapkan anak terus-menerus.
Kemudian yang juga bisa diajarkan anak di situasi ini adalah tentang berbagi. Kita bisa menjelaskan kenapa kita di rumah terus itu karena kita punya tanggung jawab sosial, kita mungkin sehat tapi kita bisa menularkan atau memengaruhi orang-orang yang ada di luar sana. Lalu, kalau ada yang sakit, mari kita berdonasi dan berkontribusi buat orang lain. Itu adalah kebiasaan-kebiasaan positif, cara mengajarkan wabah ini dengan positif kepada anak-anak kita. Sehingga, yang muncul bukan ketakutan atau kekhawatiran yang berlebihan.
Apakah online counseling dibutuhkan bagi anak-anak untuk mendukung kesehatan mental mereka selama pandemi ini?
Butuh. Dan, sudah mulai ada juga inisiatif yang melakukan hal itu. Di Sekolah.mu sendiri, kami sudah mengorganisir guru-guru BK (Bimbingan dan Konseling) untuk membuat konseling. Teman-teman saya yang sesama psikolog di HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) juga sudah membuat beberapa bentuk online counseling. Mudah-mudahan ke depannya semakin banyak yang mengadakan online counseling ini.
Tapi, sesungguhnya konseling itu tidak dibutuhkan oleh semua anak, karena tergantung lagi ke kondisi sosial emosionalnya masing-masing. Yang pasti dibutuhkan anak itu adalah pengalaman yang beragam dan menyenangkan. Jadi, kembali lagi, jangan sampai proses belajar mengajar yang dilakukan anak di tengah pandemi ini tidak dilengkapi dengan program-program lain. Ada program yang, misalnya, kalau di Jakarta dengan museum-museum. Kemudian, ada program pendidikan agama, program olahraga. Program-program ini mungkin tidak langsung berbentuk konseling, tapi sebenarnya menumbuhkan stabilitas emosi dan memberikan pengalaman yang beragam sehingga anak secara sosial emosional lebih kuat. Jadi, akan lebih baik kalau kita cegah terlebih dahulu dengan membuat pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna, sehingga tidak fokus pada upaya konseling.
Sebenarnya kondisi pandemi ini juga cukup rentan bagi kesehatan mental orang tua dan guru. Untuk orang tua dan guru, langkah-langkah apa yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental mereka? Mengingat kondisi kesehatan mental mereka juga akan membawa pengaruh besar kepada kondisi stabilitas emosional anak.
Orang tua dan guru juga butuh lingkaran sosial yang mendukung dalam situasi seperti ini. Yang akan sangat berpengaruh tentu dukungan sosial yang bukan saja kita baru dapatkan saat wabah, tapi dari orang-orang yang memang mendukung dan punya hubungan baik dengan kita. Saran yang paling konkret mungkin adalah reach out. Reach out ke orang-orang yang bisa membantu kita untuk lebih tenang, bisa membuka kesempatan untuk merasa berdaya. Karena yang paling bahaya itu ketika kita merasa menjadi korban dan merasa tidak punya pilihan. Jadinya, situasi di rumah saja ini bisa menjadi penjara yang rasanya penuh dengan keterbatasan. Padahal sesungguhnya banyak kesempatan yang bisa dilakukan untuk belajar lagi, tetap produktif dan berkontribusi. Kestabilan orang tua ini sangat penting dan mempengaruhi anak. Jadi, sebelum kita mencoba membuat anak merasa berdaya dalam situasi ini, orang tuanya sendiri yang sesungguhnya butuh pola komunikasi dan pengelolaan emosi yang lebih baik.
Namun, wajar sekali kok kalau butuh transisi dan adaptasi untuk menghadapi situasi ini. Saya juga melihat sudah banyak perkembangan positif jika dibandingkan minggu-minggu pertama. Tapi, di sisi lain, semakin banyak ketidakpastian itu juga banyak yang merasa gelisah. Untuk yang muslim karena ini juga sudah menjelang bulan Ramadhan, ini juga jadi kesempatan untuk lebih dekat, pasrah, dan ikhtiar serta tawakal. Insyaallah, kita bisa melaluinya dengan baik.
Menurut Anda, apakah pandemi ini pada akhirnya akan membawa dampak bagi pendidikan di Indonesia?
Saya berharap situasi ini akan membawa dampak positif. Asal, pertama, selama masa COVID-19 ini kita sama-sama kerja keras untuk memastikan tidak ada kesenjangan yang lebih besar. Jadi, memang kita harus menghabiskan lebih banyak energi untuk memastikan bahwa anak-anak yang tidak mendapatkan akses dan kualitas pendidikan yang cukup, jangan sampai di masa pandemi ini tidak mendapat dukungan yang dibutuhkan. Yang kedua adalah kita bisa memastikan semua faktor-faktor risiko, murid yang burnout, guru yang motivasinya hilang, orang tua yang kesusahan, dan sebagainya, bisa mendapat dukungan yang utuh dengan program-program belajar yang menarik dan didukung juga dengan kita bisa tahu data soal proses belajar mengajarnya seperti apa. Sehingga kalaupun dibutuhkan langkah-langkah untuk mengantisipasi situasi di masa depan, kita tidak terlambat untuk memberikannya.
Saya selalu khawatirnya, terkadang pendidikan itu tidak menjadi prioritas. Sekarang kita sedang sibuk dengan isu-isu kesehatan dan keselamatan yang tentu sangat penting, tapi kita suka lupa memikirkan anak-anak. Kita berpikir, “Ah, ya sudahlah anak-anak toh mereka tidak terkena virusnya”, padahal kebutuhan mereka lebih dari itu. Nah, mudah-mudahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan ke depan kita bisa intervensi yang lebih menyeluruh dalam pendidikan.
Untuk langkah-langkah ke depannya, apakah Anda sedang merencanakan program atau inovasi baru?
Saya ingin accelerate proses di Sekolah.mu. Alhamdulillah, banyak banget yang sudah berhasil dilakukan dalam setahun ini. Sekolah.mu ini kan inisiasi pendidikan saya yang paling baru yang mulai di Maret lalu di mana inisiasi ini menggabungkan tiga hal, pengalaman dan keahlian di pendidikan, jaringan yang sudah dibangun puluhan tahun karena pendirinya sendiri adalah Kampus Guru Cikal dan Keluarga Kita, dan teknologi belajar yang mana inovasi di bidang teknologi bisa membuat proses belajar dan mengajar yang berkualitas dapat dinikmati jutaan murid atau siapapun yang membutuhkan. Dalam waktu dekat, saya akan meluncurkan Sekolah.mu Prakerja yang memberikan pilihan bagi individu yang sudah di luar sekolah, anak muda usia 18-24 tahun, yang memang sedang butuh upskilling dan pelatihan yang meningkatkan kompetensi kerja. Mudah-mudahan bisa jadi salah satu solusi dan saya, bersama dengan organisasi Sekolah.mu, bisa memberikan manfaat kepada lebih banyak orang lagi.
Harapan untuk pendidikan Indonesia, mungkin yang berkaitan dengan selepas kondisi pandemi?
Harapannya semoga percepatan perubahan semakin nyata sesudah COVID-19. Semoga semakin banyak proses adopsi teknologi. Dan, semakin banyak yang percaya bahwa tujuan pembelajaran itu bukan hanya sekadar lulus ujian, karena sekarang ujian (nasional)nya bahkan sudah tidak ada, tapi memang untuk mencapai kompetensi. Mudah-mudahan paradigma-paradigma pendidikan yang lebih berpihak kepada anak akan terus mendapat momentum. Sehingga, pada akhirnya pendidikan Indonesia bisa mencapai tujuan.
Kemudian, harapannya juga semoga situasi COVID-19 ini bisa meningkatkan kepedulian banyak orang untuk semakin merasa bahwa kita semua sesungguhnya bertanggung jawab terhadap pendidikan dan ini menjadi semangat yang dapat terus bertahan. Jadi, semakin banyak orang yang membantu pekerjaan kami di dunia pendidikan.
Semakin banyak yang bekerja bareng dengan saya, semakin senang saya [tertawa]. Karena kolaborasinya, hal yang memang saya sudah katakan menjadi penting untuk mentransformasi pendidikan di Indonesia, juga semakin banyak.