The 15-Minute City: Gagasan Urban Planning untuk Atasi Kerusakan Alam

Human Interest
05.01.23

The 15-Minute City: Gagasan Urban Planning untuk Atasi Kerusakan Alam

Solusi baru green living yang dirumorkan sebagai agenda “coercive control” milik para elit global.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Alissa Wiranova
Foto: The World Economic Forum

The 15-minute city, atau yang juga bisa disebut dengan kota 15 menit ini pertama kali digagas pada tahun 2016 lalu oleh Carlos Moreno, seorang profesor asal Universitas Paris. Dalam gagasannya, 15-minute city merupakan sebuah konsep di mana seluruh fasilitas yang diperlukan masyarakat dapat dimiliki oleh setiap kota. Fasilitas-fasilitas ini (kesehatan, pendidikan, makanan, kebudayaan, hingga pekerjaan) dapat dicapai oleh setiap penduduk kota dengan waktu hanya 15 menit saja. Jarak yang singkat ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki, bersepeda, atau menaiki transportasi umum. 

Gagasan 15-minute city ini sejak awal memang ditetapkan untuk mengurangi emisi karbon decara menekan penggunaan kendaraan pribadi. Tak hanya itu, konsep kota yang berkelanjutan ini juga diharapkan dapat mempererat hubungan yang dimiliki oleh sesama penduduk. 

Meski begitu, setiap ide yang ada tentu tak pernah lepas dari kehadiran kritik dari pihak yang bertentangan. Katie Hopkins misalnya. Politikus sayap kanan Inggris ini menyatakan bahwa gagasan 15-minutes city ini hanyalah akal bulus pemerintah dalam mengontrol kebebasan penduduknya–yang mana dahulu pernah ia nyatakan pula terhadap kebijakan di kala Covid-19 melanda. Tapi ucapan aktivis far-right, siapa pula yang mau percaya?

Dilansir dari Mongabay, gagasan tata kota 15-minutes city ini dibentuk atas 3 zona utama. Yang pertama adalah zona jalan kaki yang dapat ditempuh selama 5 menit, mencakup pemukiman, sektor usaha kecil, lapangan terbuka, dan lahan untuk rekreasi warga. Zona kedua ialah zona jalan kaki selama 15 menit, yang mencakup apotek, toko kelontong, sekolah, perdagangan, hingga perusahaan.

Sementara itu, zona terakhir adalah wilayah bersepeda dengan waktu tempuh selama 15 menit. Di zona ini, penduduk dapat memperoleh fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, pendidikan tinggi, taman, perusahaan besar, hingga layanan transportasi publik antarkota.

Menariknya, solusi urban planning untuk cegah kerusakan alam lebih lanjut ini juga konon akan diterapkan di Indonesia, yaitu di Nusantara, yang tak lain adalah nama dari ibu kota negara baru yang terletak di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. 

Awal tahun lalu, rencana ini sudah dikemukakan lebih dahulu oleh Presiden Joko Widodo. Dengan menggunakan konsep utama smart forest city, Nusantara juga digadang-gadang akan menjadi 10-minutes city (bahkan lebih cepat 5 menit dari yang digagas Moreno!).

Melalui dua gagasan urban planning tadi, 70% jumlah wilayah dari kota Nusantara direncanakan merupakan area hijau dengan 80% mobilitas penduduknya yang didukung oleh transportasi publik. 

“Yang senang berjalan kaki, silahkan pindah ke ibu kota negara baru. Yang senang bersepeda, yang ingin sehat itu, juga pindahlah ke ibu kota. Kalau yang senang naik mobil apalagi mobilnya pakai BBM fosil, jangan pindah ke ibu kota negara,” ujar Jokowi pada Februari 2022 lalu. 

Tak hanya Indonesia, gagasan 15-minutes city ini juga mulai diterapkan oleh kota-kota lain di dunia seperti Milan, Brussel, Melbourne, Houston, Valencia, hingga Chengdu. Meski kebanyakan baru berbentuk rencana, sudah sepatutnya gagasan green living semacam ini disambut baik oleh masyarakat. Alih-alih berfokus pada pembangunan fasilitas publik yang sudah eksesif (misalnya rumah ibadah estetik yang bikin macet), pemerintah Indonesia—pusat maupun daerah—baiknya memikirkan cara baru untuk mencegah kerusakan alam lebih lanjut; terutama setelah Indonesia menjadi juara 1 negara paling banyak polusi udara di Asia Tenggara (bahkan peringkat 17 di dunia!).whiteboardjournal, logo