#BlackLivesMatter Kembali Membuka Diskusi mengenai Diskriminasi di Industri Media Amerika Serikat

Media
13.06.20

#BlackLivesMatter Kembali Membuka Diskusi mengenai Diskriminasi di Industri Media Amerika Serikat

Gerakan #BlackLivesMatter kini telah kembali membuka perbincangan mengenai diskriminasi rasial serta tokenism di ruang kerja.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Annisa Nadia Harsa
Foto: Bon Appetit

Terbukanya diskusi mengenai rasisme telah menuntut akan adanya perubahan, tak hanya dalam ranah hukum dan pemerintah, namun di berbagai lingkungan kerja. Mulai dari instansi, brand, atau perusahaan besar, gerakan #BlackLivesMatter telah mengangkat isu-isu diskriminasi rasial yang selama ini kerap disembunyikan, termasuk yang terjadi dalam tingkat editorial dalam publikasi besar, seperti Vogue dan Bon Appetit.

Pembahasan mengenai rasisme di ranah publikasi pun dimulai setelah terungkapnya kasus diskriminasi rasial yang dialami oleh pegawai Bon Appetit Test Kitchen di bawah pimpinan Adam Rapoport, editor yang kini telah mengundurkan diri. Sama halnya dengan Vogue, dengan banyaknya mantan pegawai yang merasa adanya ketidaksesuaian antara statement yang mendukung #BlackLivesMatter dan kultur pekerjaan yang diskriminatif terhadap minoritas. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kredibilitas pernyataan perusahaan terhadap klaim-klaim yang menjunjung inklusivitas. Pegawai atau mantan pegawai dari kedua publikasi pun menyuarakan hal yang sama, bahwa pegawai yang tidak berkulit putih kerap direndahkan, baik itu dengan pembayaran gaji yang tak setara dengan kolega berkulit putih atau jenjang karir yang tidak berkelanjutan.

View this post on Instagram

A message from the Bon Appétit and Epicurious staff.

A post shared by bonappetitmag (@bonappetitmag) on

Peristiwa tersebut kembali mengangkat topik tokenism, yaitu mempekerjakan seorang minoritas atau BIPOC (Black, Indigenous, People of Color) agar dapat mengusung klaim inklusivitas dan keberagaman. Meski demikian, terangkatnya diskusi mengenai diskriminasi rasial di ruang kerja juga telah membuka pintu bagi perubahan signifikan. Harper’s Bazaar Amerika, salah satu majalah fashion ternama, telah memberikan posisi Editor-in-Chief mereka kepada Samira Nasr, seorang wanita berkulit hitam, untuk pertama kalinya semenjak majalah tersebut didirikan di tahun 1867. 

Kini, beberapa editor-in-chief dan pimpinan perusahaan lainnya, seperti Man Repeller, Refinery 29, The Wing, juga telah mengundurkan diri setelah terungkapnya kasus yang sama mengenai tokenism dan diskriminasi rasial. Di tengah gerakan #BlackLivesMatter, diberikannya posisi tinggi kepada wanita berkulit hitam atau minoritas lainnya merupakan sebuah harapan akan perubahan yang signifikan, yaitu dengan menciptakan kultur kerja yang lebih inklusif dan lebih dari sekedar tokenism.whiteboardjournal, logo