Relatability Over Authenticity: Prediktabilitas Musik Pop di Era Streaming 

Music
18.12.21

Relatability Over Authenticity: Prediktabilitas Musik Pop di Era Streaming 

Mungkinkah authenticity merupakan sesuatu yang harus dikorbankan oleh musisi untuk tetap berada di puncak tangga lagu?

by Whiteboard Journal

 

Teks: Titania Celestine 
Photo: via NME

Musik pop mungkin dapat dianggap sebagai salah satu constituents dari komunitas industri musik sendiri. Namun, bagi para pendengar yang sudah mendengarkan semua rilis album di tahun 2021, adakah ditemukan rasa predictability dari setiap album baru? 

Pada era teknologi dan zaman dimana streaming merupakan salah satu cara utama kita mengonsumsi musik, aplikasi – aplikasi yang menyediakan jasa streaming ini mungkin telah menciptakan lebih dari sekedar algoritma berdasarkan listening habits pengguna untuk membuat timeline yang lebih terkurasi, namun juga menciptakan blueprint bagi musisi pop untuk mencapai kesuksesan dan popularitas di kalangan generasi muda. Terutama mereka yang lebih aktif menggunakan media sosial. 

TikTok telah menjadi salah satu cara dimana musik baru dapat menemukan kesuksesan tertinggi melalui aspek virality. Setelah sebuah lagu berhasil masuk pada laman for you page TikTok, dengan tren konyol atau dance moves terbaru, jumlah streaming untuk single tersebut tentunya akan meroket. Hal semacam inilah yang membuat orang percaya bahwa musik pop yang dirilis pada tahun terakhir sangat predictable, to a T

Mungkin konsep relatability merupakan salah satu aspek yang harus dimiliki para musisi di masa kini, untuk mencapai sebuah titik dimana para pendengar dapat resonate dengan personality dan humor sang artis. Walaupun relatability merupakan hal yang baik, hal tersebut juga dapat dipandang sebagai double-edged sword yang menempatkan musisi dalam sebuah ruang yang membatasi kreativitas mereka untuk mencari self improvement dan inovasi baru. 

Salah satu contoh dari hal ini mungkin bisa dilihat dari Miley Cyrus. Ketika ia beralih dari tokoh gadis Disney kemudian merilis ‘We Can’t Stop’, sebagian besar dari pendengar dan belahan dunia pop bereaksi negatif dan bingung. Hal ini dikarenakan penggemar dan pendengar Miley telah menentukan sebuah ekspektasi akan apa yang ‘harus’ dilakukan Miley Cyrus, instead of apa yang ‘boleh’ dilakukan Miley Cyrus. 

Looking back at 2021, tentunya kita dapat menemukan beberapa pola pada album – album yang telah dirilis pada tahun lalu. Misal, ‘Certified Lover Boy’ karya Drake, yang diulas sebagai “an 86-minute omnibus of all things Drake.”.

Bagi sebagian, mungkin it’s great bahwa Drake tetap setia pada karakter dan sound miliknya. Namun, bagi yang lain, mereka mungkin mengharapkan sesuatu yang lebih dari Drake – mungkin a different take, atau perspektif baru – suatu tingkat authenticity yang tidak terasa bagai sekedar stage name ‘Drake’, namun perasaan dan sisi emosional Drake, perjuangan dan pengalamannya personal yang secara tulus dituangkan dalam lagu dan album miliknya, dibanding persona yang telah ia ukir pada namanya sepanjang perjalanan karir Drake sebagai seorang musisi. 

Semakin pola ini diperhatikan, it gets more apparent, bahwa mungkin authenticity merupakan sesuatu yang harus dikorbankan oleh musisi untuk tetap berada di puncak tangga lagu. 

Beberapa perspektif baru yang telah disajikan oleh musisi pop pada tahun ini paling terlihat pada album ‘Happier Than Ever’ karya Billie Eilish, tercermin dari perubahan sound, gaya, dan kepribadian Eilish di album terbarunya. whiteboardjournal, logo