Hijau Jakarta bersama Nirwono Joga

Human Interest
22.02.17

Hijau Jakarta bersama Nirwono Joga

Febrina Anindita (F) berbincang dengan Nirwono Joga (N).

by Febrina Anindita

 

F

Hal apa yang membuat Mas tertarik memperhatikan isu mengenai lahan hijau?

N

Sebenarnya, concern ini terbentuk karena faktor pengalaman masih kecil. Saat masih kecil, saya lebih banyak tinggal di kota-kota kecil seperti di Trenggalek dan Wonosobo. Nah, kebetulan di depan sekolah ada alun-alun. Di kota-kota kecil ini, mau tidak mau kita main di ruang terbuka. Mau main sepak bola atau keliling-keliling, pasti semuanya lebih banyak di ruang terbuka daripada main di dalam, seperti main Playstation – dulu belum ada. Jadi pengalaman itulah yang kemudian membuat saya lebih dekat untuk beraktivitas di ruang terbuka. Itu pengalaman yang cukup melekat.

Ini kemudian diperkuat sewaktu saya mengambil S2 di Melbourne. Di Melbourne kotanya sudah benar-benar kota taman. Jadi, ingatan saya kembali bahwa dulu waktu kecil kita punya alun-alun yang masih hijau dan lingkungannya masih hijau. Nah, ternyata di zaman yang sekarang pun, memang justru masih kuat lahan hijaunya. Saya S2 dari tahun 1994 sampai 1996, artinya pada saat kota-kota di Indonesia sudah mulai meninggalkan konsep hijau seperti itu. Kalau kita perhatikan, alun-alun di daerah juga sudah mulai hilang.

Ternyata waktu di Melbourne, justru saya menemukan kembali konsep sebuah kota dengan lingkungan yang hijau dengan taman di mana-mana dan hal itu menjadi standar sebuah kota. Hal ini terbukti sampai dengan hari ini, sehingga kenapa saya begitu sangat antusias dan bersemangat untuk bicara soal hijau – Melbourne sebagai contohnya, karena saya di sana.

Sekarang ini dalam enam tahun terakhir saja, Melbourne mendapat penghargaan sebagai kota yang paling layak huni di dunia, bayangkan. Nah, dia menjadi sebuah kota layak huni bukan karena di situ ada mall seperti Jakarta atau ada jalan tol. Justru salah satu kelebihannya dia adalah, kotanya yang berupa kota taman. Kalau bicara soal kota taman, misalnya Taman Menteng sebagai bagian dari kota taman di Jakarta, pada waktu itu saja Melbourne sudah menyatakan diri sebagai Garden State, negara bagian taman. Di plat-plat nomor kendaraannya saja tertulis Victoria Garden State. Jadi istilahnya, di saat orang masih ragu, Melbourne justru malah sudah punya konsep yang seperti itu.

Maka dari itu, sepulang dari Melbourne saya meyakinkan diri untuk konsisten memperjuangkan pentingnya ruang terbuka hijau. Dan terbukti sampai sekarang, di saat kota-kota di Indonesia berkembangnya tidak mengarah sana – dapat dilihat dari menyusutnya ruang seperti alun-alun dan ruang terbuka hijau – kota-kota besar dunia yang mendapatkan pengakuan dunia sebagai kota paling layak huni, justru memperbanyak ruang terbuka hijau. Hal tersebut juga didorong oleh isu pemanasan global dan perubahan iklim yang muncul di tahun 2005-2007.

Coba perhatikan, yang didorong adalah semangat untuk kembali ke lingkungan dengan memperkuat pohon, memperbanyak pohon dan ruang terbuka hijau. Nah, di satu pihak perkembangan dunia seperti itu, tapi di lain pihak, saya melihat sendiri pembangunan di kota-kota kita justru semakin menghilangkan ruang hijau. Pohon-pohon semakin banyak ditebang sehingga, ruang terbuka semakin menyusut. Dan terbukti sekarang di saat kota-kota lain sudah menuju kota layak huni, sekarang kita baru mendapatkan dampak dari pembangunan di kota, yakni banjir. Jadi, hal ini yang membuat saya yakin kalau kita ingin menyelamatkan kota-kota kita, tidak ada solusi lain, selain memperbanyak ruang terbuka hijau, menanam pohon lebih banyak dan mengajak masyarakat untuk lebih peduli dengan lingkungan.

F

Setelah pulang dari Melbourne upaya apa yang Mas lakukan untuk membuat tata kotanya memiliki konsep yang kurang lebih seperti Melbourne?

N

Sebenarnya, pada tahun kepulangan saya sekitar tahun 1996, di Jakarta sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan fisik, salah satunya membuat jalan tol, sehingga menebang banyak pohon-pohon besar. Lalu juga penggusuran TPU Blok P untuk dijadikan kantor. Jadi, begitu saya kembali dari luar negeri, saya justru melihat kondtradiksi berupa kerusakan besar-besaran pada tata kota kita. Itulah yang kemudian sejak tahun 2000-an, saya mengkampanyekan istilah RTH (Ruang Terbuka Hijau), dan ternyata banyak media massa yang belum mengenal istilah RTH.

Alasan itu yang membuat saya mengkampanyekan istilah RTH – bahwa dalam membangun sebuah kota, kita harus menyediakan RTH. Nah, dalam bentuk yang seperti tadi saya ceritakan, alun-alun, taman kota, jalur hijau, banyak pohon yang dibutuhkan untuk membuat RTH. Dalam mengkomunikasikan hal ini, sebenarnya melalui perjuangan yang cukup berat. Kenapa? Pertama, rakyat kita masih belum peduli terhadap lingkungan, apalagi istilah RTH masih sangat asing. Pemerintah kita bukan malah melindungi dan justru menjadi salah satu pelopor penghilangan besar-besaran RTH. Media juga mempunyai istilah itu, sehingga kemudian saya punya 2 tugas, yaitu mensosialisasikan dan mengkampanyekan RTH.

Di situlah saya lalu menawarkan gagasan tentang sebuah kota yang harus menyediakan RTH sebanyak 30% di tahun 2000-an. Tapi secara resmi, upaya, gagasan atau kampanye saya baru diakui oleh pemerintah di tahun 2007 saat lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Jadi, kalau kita bicara rentang, setelah 7 tahun, gagasan saya baru diakui secara resmi dan pemakaian istilah RTH dan penetapan RTH sebesar 30% baru masuk dalam UU.

Saya melihat masyarakat sudah mulai kesadaran, itu juga mulai gara-gara di 2007 itukan salah satu pemicunya adalah film Al Gore, “An Inconvenient Truth” karena pemanasan global saat menjadi isu besar. Nah, RTH menjadi salah satu solusinya waktu itu, karena salah satu tujuan utamanya adalah menanam pohon sebanyak-banyaknya. Kemudian di situlah masyarakat mulai sadar dan komunitas serta pemerintah mulai serius. Tetapi kalau kita liat 2007-2017 sekarang, seiring dengan mulai munculnya kesadaran dari masyarakat, tapi dalam konteks kotanya, penambahan RTH-nya masih sangat lamban. Maksudnya sangat lamban itu begini, bicara Jakarta saja, di tahun 2000 RTH masih 9%, 2010 hanya 9,8%, dan 2017 sendiri, baru 9,98%.

Bayangkan, sudah lebih dari 17 tahun, tapi untuk menambah 1% saja susah sekali. Artinya, percepatan penambahan RTH yang tadinya saya harapkan lahir dari UU itu harusnya bisa lebih cepat, tapi nyatanya tidak. Pertumbuhan RTH juga kalah dengan pertumbuhan mall dan apartemen, sehingga RTH di Jakarta itu rata-rata hanya sebesar 9-11% – itupun di sebagian kota-kota saja. Artinya, impian saya untuk melihat ada RTH sebesar 30% dalam sebuah kota itu masih jauh dari harapan.

F

Sekian tahun hidup di kota, sebenarnya dari mana kita tahu bahwa kota yang kita tinggali sudah optimal?

N

Sebenarnya sederhana, ada 2 hal. Pertama, indeks kota layak huni. Salah satu di indeks kota layak huni itu adalah menyediakan salah satu fasilitas berupa ketersedian RTH sebagai ruang publik. Nah, kalau kita turut terhadap aturan, berarti minimal sudah 30% RTH ada di Jakarta. Sebagian besar kota-kota di dunia yang dikategorikan sebagai “kota layak huni” seperti Melbourne pun selalu memiliki RTH lebih dari 30%, bahkan saat ini Melbourne sudah mencapai 56%. Singapura sendiri sudah mencapai sekitar 45%, lalu kota-kota di Eropa, seperti Kanada, Montreal, Ottawa, Vancouver sudah bisa dipastikan memiliki RTH di atas 30%.

Nah, setelah saya cek lagi dalam indeks korelasi kebahagiaan masyarakatnya di kota tersebut, keberadaan RTH sebagai ruang publik membuat masyarakatnya bahagia. Anda bisa bermain dan menghabiskan waktu justru di ruang-ruang terbuka tadi. Tren yang menarik dalam dua atau tiga tahun belakangan adalah, masyarakat di kota-kota besar dunia sekarang justru dalam rentang waktu 24 jam, ingin menghabiskan waktunya lebih lama di ruang terbuka, dibandingkan saat bekerja di kantor.

Misalnya ada yang buru-buru pulang kantor, itu bukan karena mau pulang ke rumah, tetapi dia ingin menghabiskan waktu untuk beraktivitas di taman. Entah untuk membaca, bermain, bahkan sekadar nongkrong. Dan ini ternyata terkait dengan ajaran spiritual atau agama, karena dia sudah menemukan prinsip dasar sebuah hidup di kota, yakni untuk semakin dekat dengan alam. Jadi, para perencana kota di Eropa dan Australia membuat banyak ruang alam, agar masyarakatnya dekat dengan alam.

Ini yang membuat saya sangat prihatin, faktanya sekarang, kota-kota di dunia sudah membuktikan, bahwa sebuah kota bahagia itu bukan karena banyak mall, mobil mewah, jalan tol dan jalan layang, tetapi lebih banyak tata kota dengan ruang hijaunya. Tapi justru pemerintah kota kita semakin meninggalkan konsep itu. Contohnya, kota-kota kita semuanya dibangun dengan cara motoris. Orang dimanjakan untuk dari satu tempat ke tempat lain naik motor atau atau mobil. Mereka terbiasa buka pintu dan disambut mobil atau motor. Lalu mereka naik dan pergi ke mall, kantor atau rumah. Kemudian langsung menuju pintu lagi – tidak ada interaksi dengan lingkungan. Kita tidak diajak atau didorong untuk berjalan kaki melewati taman, berjalan di bawah pepohonan. Ini yang membuat akhirnya kota-kota kita berjarak dengan alam.

Kalau saya lihat, proporsi pembangunan, jalan, bangunan dengan proporsi yang harus dipakai untuk membangun RTH itu tidak seimbang – kalah jauh. Jadi, di Indonesia itu masih menganggap bahwa RTH dan taman adalah sebagai pelengkap kota. Kita masih dalam tahap kota taman, istilahnya. Kalau kita punya Kebayoran Baru dan Menteng dengan konsep kota taman, Singapura justru sudah berevolusi menjadi kota di dalam taman di mana justru kotanya lah yang menjadi pelengkap taman. Nah, Melbourne lebih jauh lagi, kalau Singapura kota di dalam taman, dia sudah menjadi Garden State.

Jadi lagi-lagi, masyarakat dan pemerintah masih meributkan soal pemanasan global, pencemaran dan banjir – tapi pada saat bersamaan justru melakukan perusakan terhadap alam. Isu reklamasi, kalau dipikir-pikir lebih baik kita menghutankan ekosistem mangrove pantai daripada membangun 17 pulau buatan. Jadi, cara membangun kita, justru bukan meningkatkan atau memperbaiki lingkungan tapi semakin menghancurkan lingkungan yang sudah ada. Kembali lagi, kenapa kita tidak percaya bahwa seluruh persoalan hidup, masalah lingkungan sekarang ini itu adalah akibat ketidakseimbangan dengan lingkungan serta jarak yang semakin jauh dengan alam. Sementara, kota-kota di dunia sudah menunjukkan bukti, tapi kenapa kita tidak mau belajar dari yang sudah ada.

Saya sangat mengkritisi kebijakan normalisasi kali, karena di sini alam dianggap sebagai proyek. Jadi normalisasi kali sekarang yang sedang dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana sungainya itu diluruskan kemudian bagian kiri dan kanannya ditutup beton. Padahal dengan seperti itu, sama saja merubah sungai menjadi saluran air raksasa. Mengapa mereka tidak berpikir dampaknya kalau ada hujan, arus air jadi tambah cepat. Mengapa tidak dibiarkan saja sungainya tetap berkelok-kelok dan ditumbuhi tanaman di kedua sisi agar air hujan dapat terserap. Bisa pula dijadikan jalur hijau atau taman sehingga bisa meningkatkan RTH di Jakarta. Berapa ekosistem yang akan dihidupkan? Ironisnya, seluruh kota di Indonesia ingin mencontoh Jakarta.

F

Marco Kusumawijaya pernah mengatakan bahwa tata kota tidak hanya harus dikerjakan oleh seorang ahli, tapi juga masyarakat yang tinggal di dalam kota. Jika bicara Jakarta, apakah masyarakat yang tinggal di Jakarta memahami kotanya?

N

Mengenai hal tersebut ada 2 persoalan mendasar. Pertama, pemerintah bisa dikatakan hampir tidak pernah melakukan sosialisasi terhadap rencana tata ruang kotanya. Itulah yang mengakibatkan kenapa masyarakat sering kali terkaget-kaget, tiba-tiba di depan rumah mereka ada rencana pembangunan apartemen. Contoh model seperti di Kemang, pernah tidak rakyat di Kemang diajak diskusi bahwa nanti di depan rumah kalian akan ada Kemang Village?

Ini kan hal-hal sederhana saja, bagaimana dari tingkat atas sampai bawah tidak pernah duduk atau diajak terhadap penataan lingkungannya. Jadi, seolah-olah penataan kota hanya urusan dari pemerintah dan sayangnya juga tidak diikuti dengan sosialisasi, sehingga yang terjadi adalah terkaget-kaget, masyarakat marah, akhirnya resistensi. Perhatikan, hampir tidak ada penataan kota yang tidak diiringi dengan kekerasan, mulai dari penggusuran, pemaksaan dan pemukulan. Bahkan pemerintah dan aparat yang justru melakukan itu terhadap masyarakatnya.

Nah, bagaimana mungkin mengajak masyarakatnya untuk berdiskusi membangun kota, kalau masyarakat tadi dianggap sebagai musuh. Contoh, seperti penduduk daerah Bukit Duri atau Muara Angke, diajak duduk bersama membayangkan Pantai Utara Jakarta maunya dibuat seperti apa sih? Jangan tiba-tiba 17 pulau reklamasi mau disodorkan. Apakah semua orang Jakarta tahu bahwa Jakarta itu kota pantai? Belum tentu jutaan penduduk Jakarta pernah melihat laut di Utara Jakarta. Jangan-jangan mereka pikir Jakarta adalah kota daratan. Belum lagi warga nelayan yang langsung berhadapan dengan laut di sana. Apakah mereka pernah diajak diskusi tentang bagaimana menghidupkan kehidupan tepi pantainya? Jangankan itu, bagaimana pemerintah menata lautnya supaya menjadi ruang publik, sehingga orang Jakarta semua bisa datang gratis – tidak perlu bayar seperti di Ancol.

Kita tidak pernah mendapat edukasi seperti itu, padahal jika pemerintah melibatkan masyarakat, bisa jadi mereka menyerukan banyak gagasan-gagasan lebih bagus dari apa yang ditawarkan pemerintah. Misalnya tentang menata kawasan pantai. Contoh kasus paling mudah seperti kasus yang ada di Losari, Makassar. Sekarang kalau kita datang ke sana, tapi tidak berkunjung ke Losari itu tidak afdol. Nah, pantai Makassar sebesar itu saja bisa jadi ruang publik baru bagi kota Makassar. Setiap pagi hingga sore, orang mau lihat pantai. Hal ini kan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah, bahwa pantai Jakarta sepanjang 32 km ini, sebagai besar sudah digunakan untuk Ancol dan pelabuhan. Sekarang sisanya mau dihabiskan untuk 17 pulau reklamasi.

Seandainya 17 pulau reklamasi itu akan jadi, apakah iya semua warga Jakarta bisa melihat pantai ke sana? Tentu mereka harus masuk ke pulaunya dulu, sampai ke ujung. Apakah hal tersebut akan mudah? Pasti nanti mereka harus mengeluarkan bermacam biaya, sementara konsep pantai itu adalah ruang publik – ruang terbuka hijau yang harusnya dimiliki atau mudah diakses oleh warga atau masyarakat. Ini membuktikan bahwa cara pandang masyarakat masih dianggap bodoh oleh pemerintah, karena tidak pernah diajak untuk sama-sama membangun.

Seperti kasus Kampung Pulo dan Bukit Duri, kenapa tidak dibuatkan kampung susun atau kampung deret, yang cuma harus memundurkan sedikit letak sungai. Pembangunan kota tanpa melibatkan masyarakat itu menjadi sia-sia, hanya akan berujung menjadi orientasi proyek, – entah normalisasi, pembangunan rumah susun yang nilai manusianya masih dianggap sebagai objek, tidak berdaya, tidak punya kemampuan dana. Padahal ketika diadakan swadaya mandiri, sewaktu duduk bersama membangun bersama, nanti ada soal pendanaan, bisa jadi – nanti seumpamanya kalau kita bicara bangunan fisiknya – sungainya mundur sedikit kemudian dibangun gedung tinggi. Pemerintah yang membangun rangka utamanya, tetapi isinya bisa melibatkan masyarakat, sehingga masyarakat sendiri yang mendesain ruang dalamnya. Tidak seperti sekarang di mana yang ada melompong dibagi-bagi rata kemudian selesai. Kalau masyrakat ada didalamnya dilibatkan bisa jadi lebar kecilnya tergantung musyawarah masyarakat, dindingnya, pintunya bisa ada campur tangan masyarakat.

Sekarang ini keadaan yang terjadi beberapa daerah yang sudah dipindahkan ke tempat yang sudah, malahan sudah hampir 6 bulan tidak mampu bayar dan terbukti timbul masalah-masalah lain di rumah susun-rumah susun tadi karena tidak ada mata pencaharian, tidak ada kegiatan hidup di situ, akhirnya justru membebani masyarakat atau pemerintah dengan subsidinya, padahal pembangunan harusnya mensejahterakan masyarakat, memandirikan masyarakatnya sehingga tidak terlalu bergantung kepada pemerintah. Jadi cara membangunnya yang menurut saya, harus dirombak total oleh kita. Jakarta, banyak orang pintar di dalamnya, juga orang kaya, kenapa ini tidak di optimalkan? Kalau tadi ada yang tidak beruntung, ajak orang kaya menyumbang, masih banyak orang kaya yang baik budinya kok.

Nah, korelasi yang seperti itu yang harusnya dibangun, dan itu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin daerah yang dekat dengan rakyat. Kalau kita berani bicara, presiden seperti Jokowi tipikal salah satu pemimpin yang bisa melibatkan masyarakat dalam menata. Beberapa contoh yang paling mudah soal penataan, Waduk Pluit yang tadinya mengalami resitensi akhirnya sedikit demi sedikit, pak Jokowi turun langsung, warganya mau sukarela berpindah, padahal kalau lebih dibuka lagi ya, penataan Waduk Pluit masih bisa dibangun kampung susun dekat waduk, tanpa harus memindahkan semuanya ke sana, asalkan ada ruang dialog yang bisa dilakukan. Karena apa, jangan lupa kalau masyarakat lebih suka tinggal di daerah tempat tinggalnya dulu. Bukan lagi soal memindahkannya saja, tapi bisa menghilangkan mata pencaharian, akar budayanya, nilai sosialnya dan sebagainya juga kan seperti tidak dipikiran.

Saya yakin, pembangunan bisa melibatkan masyarakat. Hal ini terbukti di Eropa, kota-kota di sana 80% pembangunan kotanya justru dilakukan oleh masyarakat, pemerintah itu hanya memfasilitasi. Di Jakarta hanya kita bisa membangun taman, tetapi sampai sekarang tidak pernah ada upaya membangun budaya bertaman. Budaya bertaman adalah menghidupkan taman-taman ruang publik tadi oleh masyarakat bukan pemerintah, jadi masyarakat sekitar harusnya mempunyai kebiasaan makan siang hingga olahraga di taman contohnya, sehingga tamannya hidup sebagai tempat kegiatan aktivitas masyarakat.

Jakarta masih lebih suka membangun. Sekarang ini palingan baru di Taman Suropati, Taman Menteng, Taman Ayodya, sedangkan Singapura dan Melbourne sudah timbul masyarakat budaya bertaman, hingga di Singapura ada program bernama adopt a park atau taman adopsi, jadi taman-taman yang berada di depan rumahnya mereka itu di adopsi oleh warga sekitar, mereka lantas bertanggung jawab atas pemeliarahan dan perawatannya, wargalah yang menjaga dan menghidupkan. Mengapa mereka mau mengadopsinya? Karena mereka merasakan manfaat taman tersebut adalah buat lingkungan mereka sendiri. Kita belum ada upaya seperti itu, kita masih dianggap sebagai objek atau proyek taman, termasuk yang terbaru RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) itu masih sekadar proyek, tapi masih belum ada budaya yang menimbulkan bahwa RPTRA ini bukan sekadar taman biasa, tapi bagaimana bisa membuat masyarakat merasa beruntung di tempatnya ada ruang publik seperti RPTRA termasuk merawat dan menghidupkannya.

F

Apa ini karena masyarakatnya belum paham dengan konsep RTH itu sendiri atau lahan hijau?

N

Jangankan masyarakat, pegawai kelurahan dan kecamatan sebagai divisi administrasi belum paham tentang fungsi dasar dari RTH. Terbukti, daerah-daerah yang rawan tawuran harusnya paling terdepan mengupayakan pembangunan ruang publik, supaya generasi mudanya alih-alih tawuran justru bermain di taman. Hal seperti itu seharusnya lahir dari inisiatif aparat untuk memperjuangkan kebutuhan ruang terbuka tadi.

Yang kedua, masyarakat kita belum masuk ke tahap masyarakat dengan budaya bertaman, itu yang menurut saya harus mulai diedukasi, supaya kita tumbuh menjadi masyarakat yang lebih berbudaya. Contoh paling mudah, seandainya ada anak muda yang siang hari nongkrong di Semanggi, orang justru melihatnya dengan tatapan aneh, padahal kalau di luar negeri justru pas makan siang orang-orang pada keluar semua, nongkrongnya dengan makan di taman, tidak ada yang istilahnya beraktivitas di dalam ruangan. Nah ironisnya ini bertentangan dengan budaya dasar kita, outdoor personality, artinya kita semua memiliki budaya yang suka beraktivitas di ruang terbuka, di kampung-kampung orang kebanyakan suka nongkrongnya di ruang terbuka, ngumpul dan sebagainya.

Sebenarnya, keberadaan taman itu sudah tepat, tetapi kita belum didorong untuk kembali ke budaya ruang terbuka. Padahal banyak persoalan yang bisa diselesaikan di ruang terbuka, olahraga, bermain, berinteraksi dengan warga, itu juga akan mengurangi tensi kuota tadi, tawuran akan turun, masyarakat menjadi lebih sehat, mereka juga jadi diringankan karena masyarakatnya sehat, hal-hal seperti ini sebenarnya untuk pemerintah juga.

F

Ruang Terbuka Hijau (RTH) telah menjadi fokus untuk menyempurnakan tata kota. Melihat program RTH dari Pemprov DKI Jakarta yang belum terpenuhi, pembebasan lahan sering disebut sebagai salah satu kendala. Mengapa hal ini bisa terjadi?

N

Jika kita merujuk ke tahun 60-an, sekitar tahun 1965 Jakarta sudah punya namanya rencana induk Jakarta. Jika kita melihat ke belakang, sebenarnya Jakarta sudah memiliki plot mengenai ruang-ruang terbuka hijau mana saja yang harus dilindungi. Dengan kondisi alam seperti yang dimiliki Jakarta yang cenderung datar, sebenarnya memang sangat rentan banjir, karena air akan mudah menggenangi kawasan-kawasan yang datar. Di situ sebetulnya sudah ada aturan, untuk mengolah daerah-daerah cekungan yang rawan banjir untuk diplot menjadi RTH. Nah, persoalannya dalam 50 tahun terakhir ini, fungsi-fungsi dasar tersebut itulah yang kita langgar, mulai dari masyarakat bawah hingga atas, semua melakukan pelanggaran secara besar-besaran di ruang terbuka hijau, tanpa pernah dikenakan sanksi yang tegas.

Kalau tadi dibilang bahwa masyarakat banyak tinggal di bantaran kali itu melanggar aturan seperti di Kampung Pulo, Bukit Duri, tapi kasus yang sama di tempat berbeda diabaikan. Kelapa Gading, Pantai Indah Kapuk, juga Kemang, adalah daerah yang sebagian besar areanya sebenarnya dikhususkan untuk RTH. Saya masih ingat ketika kuliah di Trisakti, kampus Rawasari, saya sering bermain di Kelapa Gading, yang masih banyak rawanya, masih ada Waduk Ria Rio di sana. Saat itu kalau hari biasa, ada yang main jet ski dan sepeda air.

Dulu kalau kita lihat sebenarnya sudah ada plot pembangunan, mana daerah yang boleh dibangun dan tidak. Sejak itu terjadi pelanggaran-pelanggaran yang “dibiarkan” dan “diberi izin” oleh pemerintah. Karena logikanya, pembangunan tidak akan terjadi tanpa ada izin dari pemerintah, apalagi dalam skala luas, seperti Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading, itu tidak mungkin tidak pakai izin. Itulah yang mengakibatkan RTH Jakarta semakin lama semakin menyusut. Contoh paling mudah, tahun 1965 kita masih punya 37,5% RTH, angka ini lebih dari cukup, kemudian tahun 1985 itu tinggal 25,85%, tahun 2000 langsung anjlok menjadi 9%. Sekarang sudah berjalan 17 tahun kemudian baru 9,98%.

Jadi sekarang berbicara kota-kota seperti Jakarta, Yogja dan Bandung banjir, jangan salahkan alamnya. Karena sudah pasti dalam tata kota kita ada yang salah dari ruang-ruang terbuka hijau tempat peresapan tadi semakin hilang. Anehnya, sudah tahu banjir setiap tahun karena ada daerah peresapan air yang berkurang, tapi semangat kita untuk menambah ruang terbuka hijau untuk daerah resapan airnya itu hanya sebatas waktu banjir. Begitu selesai, lupa dan kembali memberi izin kembali. Inilah yang terjadi selama puluhan tahun terakhir.

Kasus Kalijodo, waktu zaman Sutiyoso saya membantu merencanakan pengembangan daerah Muara Angke sampai Kalijodo, yang berhasil ditata adalah yang sekarang namanya Taman Kebon Pisang, dibawah jalan layang tinggi, sekarang ada sekitar 14 hektar. Itu artinya, kampung kumuh akhirnya berhasil menjadi Taman Kebon Pisang. Sebenarnya, Kalijodo sudah masuk dalam plotnya, sudah berwarna hijau yang artinya masuk perancangan, cuma saat itu tidak ada satupun yang berani untuk menata apalagi melakukan sosialisasi.

Kemarin pada zaman Pak Ahok, ada kecelakaan mobil Fortuner yang menewaskan beberapa orang karena pengemudinya baru saja menghabiskan malam di lokasi hiburan malam Kalijodo. Polisi dan pemerintah kemudian turun tangan, dan saat melihat bahwa Kalijodo sebenarnya adalah kawasan yang masuk area RTH, dibangunlah tempat tersebut sebagai RTH. Tapi ini sebenarnya tidak direncanakan. Jadi suka atau tidak suka kita harus berterima kasih terhadap kecelakaan Fortuner tersebut. Dan saat terjadi proses penggusuran, semua berjalan tanpa perlawanan berarti. Karena alasannya untuk pembangunan RTH. Kalau mau melihat sebenarnya ada banyak lahan-lahan di Jakarta seperti itu. Rencana detail Jakarta 2030 sudah merencanakan daerah-daerah mana saja yang hijau sebetulnya, sayang masalahnya itu tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat.

Hal seperti ini merupakan pekerjaan rumah semua calon gubernur, kalau Paslon 1 umpamanya bicara soal membangun tanpa menggusur, Paslon 3 punya program peremajaan kota, sementara Paslon 2 akan tetap melakukan normalisasi dan juga “penggusuran”. Harusnya, dengan sistem pembangunan kota kedepannya, maka harunya disosialisasikan kepada masyarakat bagaimana rencana pembangunan di daerah mereka, apakah daerah mereka masuk RTH, hal-hal seperti itu. Dan kalau hijau, apa yang harus dilakukan, bagaimana solusinya, supaya tidak terjadi “penggusuran” tetapi penataan bersama masyarakat di situ. Mungkin tidak kalau seandainya bukan digusur tapi digeser dekat sebelah, ada atau tidak tanahnya, kalau tanahnya Jakarta terbatas ya berarti dibuat ke atas, kan begitu sebenarnya. Ini hanya akan bisa terjadi seandainya ada sosialisasi, ruang dialog terbuka dipimpin oleh gubernur yang langsung bertemu dengan masyarakat, dan langsung diikuti dengan perencanaan dan pembangunan tapi dalam waktu singkat.

Kalijodo kalau bicara soal teknis, perencanaan desainnya dan sebagainya hanya dalam waktu dua minggu, begitu sebelum penggusuran, dua minggu desain sudah siap, begitu hari H, desain sudah disosialisasikan. Inilah yang sering terlupakan, dan tidak dilakukan di Kampung Luar Batang. Kampung Luar Batang digusur terlebih dahulu, tapi sampai sekarang tidak ada gambar desainnya. Dan jangan sampai hal ini terjadi di wilayah Jakarta yang lain. Karena kalau tidak maka bisa dipastikan warga Jakarta tidak ada satupun yang merasa aman di tempat tinggalnya.

F

Kenapa pemerintah tidak melakukan sosialisasi daerah hijau tersebut?

N

Ada dua kendala utama. pertama rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang DKI Jakarta itu menggunakan bahasa, dan gambar yang sangat teknis. Yang harusnya dilakukan pemerintah adalah membumikan atau mempopulerkan bahasa teknis tadi ke dalam bahasa sehari-hari. Kalau kita bicara soal ruang terbuka, pasti warnanya cuma satu, hijau, tapi kalau di situ ada warna coklat, kuning, ungu apa artinya? Hal seperti ini tidak pernah ada sosialisasinya. Jadi pemahaman masyarakat tadi yang harus dilakukan dengan cara mudah, karena kalaupun langsung diperkenalkan contohnya seperti lewat web, belum tentu orang awam langsung bisa membaca maksudnya. Di sinilah perlu adanya jembatan.

Yang kedua, yang hampir jarang dilakukan sosialisasinya kepada masyarakat selalu dilakukan secara formalitas. Sosialisasi biasanya dilakukan di kelurahan pada hari kerja, siapa yang kira-kira bisa datang pada saat yang demikian? Saya pernah mengusulkan sosialisasi dilakukan pada hari Sabtu atau Minggu, dengan berkeliling ke RT/RW dibanding berkumpul di kelurahan. Apa jawabannya? “Sabtu dan Minggu kami yang libur” karena hari kerjanya Senin sampai Jumat. Jadi itulah yang membuat kita tidak pernah ketemu. Saya justru berharap, rencana tata ruang dan tata kota ini menjadi bahasan orang-orang di pinggir jalan, di warung kopi.

Karena rencana pembangunan hanya diketahui oleh pihak-pihak tertentu saja, hal ini menumbuhkan kemungkinan seperti semakin tertutupnya informasi yang semakin memudahkan para penguasa dan pengusaha berkolusi, karena dengan penguasa dan pengusaha mereka kan bisa kongkalikong. Yang kedua karena bahasanya teknis, membuat masyarakat akhirnya jadi malas. Kelemahan-kelemahan inilah yang membuat, atau berakibat, lahan-lahan ini dipergunakan oleh oknum-oknum tadi. Tata kotanya jadi berantakan tidak sesuai dengan kebutuhan, kemudian lebih banyak pihak dari pengusaha daripada masyarakat. Jika dibiarkan, kota-kota seperti Jakarta akan semakin tidak terawat.

F

Walau prosesnya berbelit, Kalijodo menuai decak kagum ketika berhasil diubah menjadi RTH. Bagaimana perkembangan RTH di Jakarta sejauh ini? Apakah tahun ini mampu meraih presentase sesuai program awal?

N

Jika dilihat dari hitungan kasarnya, sampai tahun 2030, Jakarta masih punya hutang sejumlah 2500 hektar ruang terbuka hijau. Sedangkan kemampuan pemerintah DKI Jakarta dalam 10 tahun terakhir tidak lebih dari 50 hektar per tahun. Padahal idealnya minimal kalau mereka ingin mengejar 1 tahun mereka harus bisa mengejar paling tidak antara 500-650 hektar per tahun, untuk mengejar target hingga tahun 2030. Itukan fluktuasi namanya, tapi kemampuan yang saya amati dari 10 tahun itu saya, kita hanya mampu 50-an hektar. Contoh paling mudah, Kalijodo itu hanya 3,4 hektar. Nah untuk mencapai 50 hektar aja, sebenarnya mereka kewalahan. Kenapa mereka lamban? Karena cara berpikirnya yang salah.

Maksudnya begini, mereka hanya berpikir bahwa 50 hektar bisa dicapai dengan membeli lahan untuk dibangun menjadi taman. Padahal ada banyak cara yang bisa dilakukan dengan biaya yang lebih murah tapi lebih cepat menambah RTH. Bagaimana caranya? Contoh, kita bicara soal kolong jalan layang di Jakarta, ada berapa banyak ada kolong jalan layang dan seberapa luas dan panjangnya? Kalau semua itu dihijaukan jadi jalur hijau itu akan menambah ruang ruangan terbuka hijau.

Kembali ke budaya perawatan sebenarnya. Rel kereta api di Jakarta saya hitung kita punya 13 koridor utama rel kereta api besar, yang kalau diambil kiri-kanan sebagai jalur pengamannya itu, rata-rata jarak aman antara rel dan pagar, paling tidak 5-6 meter. Daripada untuk bangunan liar mending dihijaukan saja di seluruh Jakarta. Ada 13 koridor tinggal dihitung berapa. DKI Jakarta tidak perlu beli, lahannya tetap punya PT Kereta Api, tapi penghijauannya tanggung jawab bersama.

Jakarta punya 44 waduk, dan 14 setu, kalau itu semua dibangun modelnya seperti Waduk Pluit atau Ria Rio, ada berapa taman yang baru bisa ditambah. Belum kalau bicara pantai, 32 km pantai sekarang hutan mangrovenya cuman tinggal 3 km, nah kalau hutan ini kalau dibuat sampai dengan 32 km terus semakin tebal, daripada bikin reklamasi lebih baik dibuat hutan mangrove yang tebal ke laut, itu kan menambah ruang hijau terbuka berapa banyak. Semangat itu yang harusnya dilakukan. Nah, sekarang ini mereka masih terjebak kepada pencarian lahan untuk dibeli, yang berujung pada proyek. Pembebasan lahan dapat komisi sekian, DPRD juga dapat sekian, pembangun juga, karena mindsetnya saat bisa dapat untung kenapa mesti cari yang murah.

Ini yang menurut saya menjadi penyebab kenapa percepatan pertumbuhan RTH hanya sekitar 50 hektar, karena pemikiran konservatif itu. Mereka tidak berani keluar dan bekerja sama dengan pihak-pihak lain supaya pembangunan RTH itu bukan menjadi tugas dinas pertamanan saja tapi kerjasama dengan pihak-pihak tadi, pihak PT Kereta Api, Jasa Marga, hingga pelabuhan di pantai utara. Kalau itu dikerjakan secara bersama-sama, penambahan RTH bisa dari segala macam. Itu yang menurut saya, istilahnya belum optimal dilakukan.

F

Jika bicara taman-taman yang tersebar di Jakarta, antara lain Taman Menteng, keindahannya tidak terjaga dan tak jarang fungsinya berubah untuk tempat berdagang. Apakah hal ini terjadi karena konsep taman yang ditawarkan tidak bisa memenuhi kebutuhan publiknya?

N

Pertama, belum muncul budaya taman yang positif, jadi kalau itu muncul sebenernya warga sekitar Taman Menteng justru seharusnya sebagai penanggung jawab terhadap keberadaan taman, mulai dari pemeliharaan, perawatann, sampai penertiban, mereka sendiri yang akan melakukan. Sekarang ini semua masih diserahkan kepada pemerintah DKI, terutama dinas pertamanan. Padahal sudah tahu bahwa kemampuan untuk merawat seluruh taman di Jakarta itu terbatas. Di sinilah harus ada intervensi. Tidak mungkin taman dijaga selama 24 jam, dan di situlah seharusnya peran publik sebagai pengguna atau yang bertetangga dengan taman tersebut harusnya didorong ke arah sana. Ada RT/RW yang bisa dirangkul sebagai penanggung jawab terhadap keberadaan taman, silahkan mau dipakai sebagai tempat arisan dan lain-lain, boleh asal konsekuensinya adalah harus mau merawat taman tadi, ini yang tidak muncul.

Kedua, penertiban. Nah, penertiban ini selalu muncul dalam rentang periodik. Bukan setiap hari, hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja. Ini yang juga menjadi kendala utama kita. Ketiga adalah penggunaan kegiatan di Taman Menteng belum terorganisir. Harusnya sudah punya jadwal, dengan demikian tidak semrawut seperti sekarang – semua boleh berjalan secara bersamaan. Padahal kalau tadi diatur kapan bisa latihan futsal, kesenian, main basket, itu bisa hidup dari pagi sampai malam. Sebagai ruang publik, harusnya sebuah taman mampu nenampung kegiatan-kegiatan positif apapun di situ. Tapi ini tentu tidak bisa dilepas begitu saja. Harus ada yang mengatur, mengelola, supaya taman hidup 24 jam sehari, supaya lebih teratur. Nah kalau itu berjalan, akan muncul dorongan kebutuhan taman, akan ada perasaan membutuhkan ruang taman, orang-orang yang biasa main di taman akan merasa punya ikatan, bagaimana caranya taman tadi tidak beralih fungsi. Ini yang harusnya muncul sebagai pengontrol masyarakat. Kalau taman rusak, lampunya hilang, harusnya masyarakatnya yang bisa lapor.

F

Melihat sebagian publik yang merasa tidak menemukan efek rekreasional dari lahan hijau dan kontra ketika diberlakukan pembebasan lahan atau penggusuran. Apakah mutu program RTH ini sebenarnya bersifat progresif dengan perkembangan zaman?

N

Jika melihat perkembangan kota-kota di dunia, ada dua hal yang harusnya dilakukan. Pertama adalah kuantitas, jika luas ruang terbuka hijaunya kurang, berarti memang harus ditambah secara kuantitas. Tapi pada saat yang sama, kualitas dari ruang terbuka hijau yang ada juga harus ditingkatkan mengikuti perkembangan zaman. Contoh paling mudahnya ada di kota Bandung dan Suarabaya. Jika diperhatikan, kota Bandung, sebenarnya jumlah taman tak bertambah banyak, tapi tiba-tiba masyarakat jadi gemar ke taman. Ternyata kualitas tamannya yang ditingkatkan, lahir taman-taman tematik, ada taman superhero, film, jomblo, lansia, tapi secara teknis tidak bertambah, tetapi hanya mengikuti zaman, bahwa pada zaman sekarang ini, orang perlu semacam taman-taman tematik, kenapa? Supaya taman tersebut mampu menampung komunitas-komunitas yang khas.

Jadi, bagaimana mempertahankan taman tadi adalah dengan meningkatkan kualitas sesuai dengan zaman. Yang akan berhasil adalah di situ, kenapa? Karena masyarakat akan datang ke tempat tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Kalijodo misalnya sedang tren, para penggemar skateboard dan sepeda BMX menemukan tempat bermain di sana. Kalau model seperti ini dikembangkan di seluruh taman-taman di Jakarta sesuai sesuai komunitas yang ada, maka taman-taman tersebut akan lebih hidup. Taman Suropati sudah hidup dengan komunitas musik, yoga, nah model-model seperti ini jika di duplikasi ke seluruh taman yang ada di Jakarta. Revitalisasi disesuaikan dengan kebutuhan lokasi. Seumpama banyak lansia, berarti yang dibutuhkan adalah taman relaksasi, refleksi atau taman untuk senam jantung. Bagaimana taman yang berada di pemukiman padat penduduk? Mereka pasti membutuhkan taman yang bisa digunakan untuk berbagai macam kegiatan, mulai dari acara 17 Agustus hingga kawinan, di sini kebutuhannya muncul. Kalau dekat kampus, dibutuhkan taman yang dilengkapi dengan wi-fi gratis yang kuat, kencang dan 24 jam, lampunya terang.

Keberhasilan pemerintah mendekatkan masyarakat ke taman, itu bisa melalui dengan jeli membaca kebutuhan. Kalau itu jadi, tidak perlu disuruh lagi untuk ke taman pun, orang-orang akan berbondong-bondong untuk datang ke taman. Ini yang harusnya dilihat. Nah contoh paling mudah sebenarnya gampang; satu, perhatikan lokasi taman itu di mana, jadi bisa membaca kebutuhan masyarakatnya mau apa. Dua, perhatikan taman ini difungsikan untuk komunitas apa, Jakarta banyak sekali komunitas, cari tahu di daerah dekat situ ada komunitas apa, paling tidak komunitas tersebut yang akan menghidupkan taman tersebut.

F

Apa proyek yang sedang Mas kerjakan?

N

Kalau proyek ada dua hal besar, yang sekarang dalam sebulan dua bulan ke depan saya sedang menyelesaikan tiga buah buku baru, rilisnya paling lambat mulai dari Febuari, Maret targetnya, sekarang sedang difinalisasi di Gramedia. Pertama tentang catatan 20 tahun pendampingan Jakarta, saya menyebutnya sementara ini judulnya “Deja Vu di Jakarta.” Kedua adalah tentang kota layak huni, bagaimana mewujudkan kota layak huninya, lalu yang ketiga tentang kota cerdas berkelanjutan. Ini sedang saya garap untuk materi bukunya.

Di samping itu juga, untuk tahun depan 2018 saya juga sudah menyiapkan materi buku tentang 70 tahun Kebayoran Baru. sekarang ini sedang riset data-data tentang Kebayoran Baru, karena Kebayoran Baru adalah konsep kota taman pertama yang dirancang oleh putra Indonesia, kalau Menteng itu dirancang oleh Belanda, tapi kalau Kebayoran Baru ini oleh planolog, Muhammad Susilo. Harusnya ini bisa jadi pembelajaran oleh masyarakat, ada kebanggan juga buat orang yang tinggal di Kebayoran Baru kalau mereka tinggal di kota taman yang dirancang oleh putra Indonesia, ini sedang saya siapkan risetnya tentang itu.

Proyek kedua, bekerjasama dengan kementrian PU dan juga kemitraan yang sedang saya bantu ini, kita sedang membuatkan dua program. Pertama adalah program kota cerdas berkelanjutan, mendampingi kota-kota di daerah yang punya komitmen untuk mengembangkan kotanya menjadi kota yang cerdas tapi bukan kecerdasan dengan teknologi, tapi harus cerdas yang ramah lingkungan. Ada 8 kota yang dilibatkan yang sedang kita dampingi, di sini biasanya kami keliling ke kota-kota tersebut, Kemudian kami juga sedang mengembangkan kota tematik. Kami coba mengangkat potensi daerah yang dikembangkan sesuai dengan potensi tematik mereka masing-masing. Itu yang sedang digarap. Yang ketiga lebih banyak kegiatan bersama komunitas, tetap merancang program kegiatan “ayo ke taman”, kami sedang menyiapkan beberapa program kegiatan di taman yang tujuannya tetap sama yaitu ingin mengajak masyarakat untuk bersama-sama dengan pemerintah menghidupkan taman-taman yang ada di Jakarta.whiteboardjournal, logo