Nada dan Cerita Frau bersama Leilani Hermiasih

03.02.16

Nada dan Cerita Frau bersama Leilani Hermiasih

Muhammad Hilmi (H) berbincang dengan musisi Leilani Hermiasih (L) aka Frau.

by Ken Jenie

 

H

Bagaimana Lani berkenalan dengan musik?

L

Bapak saya adalah pemain dan pembuat instrumen gamelan, ibu datang ke Indonesia untuk mempelajari gamelan, beliau juga memiliki basic di instrumen biola dan piano sedikit. Di masa pertumbuhan, kedua orang tua saya tidak pernah mengarahkan untuk mempelajari musik gamelan, justru saya diajarkan bermain piano. Dan saya ternyata menyukai dan menikmati bermain musik melalui piano. Sampai sekarang.

H

Sempat bermain dengan Anggisluka, Essen Und Blood dan Southern Beach Terror sebelum tampil sendiri dengan nama “Frau”, apakah pengalaman bermain di berbagai band tersebut berpengaruh pada bentuk karakter musikal Lani sekarang?

L

Mestinya mungkin seperti itu. Walau memang banyak sekali campuran influence yang membuat musik Frau seperti sekarang ini, terutama mungkin dari pelajaran piano klasik yang saya dapat dulu, saya juga menyenangi drama musikal. SMP sempat suka musik ska, trus sehabis itu saya bergabung di band Essen Und Blood itu, bermain rock ‘n roll a la The Sigit, sampai pengalaman saat di Sothern Beach Terror. Saya menyerap banyak hal, meski kalau di band-band tadi, mungkin pelajaran yang saya ambil bukan pada progresi kord-nya, atau attitude-nya, tapi lebih pada kebebasan berekspresi, dan dalam hal ini, dua band tersebut sangat berjasa bagi saya. Baik secara personal maupun sebagai separuh dari Frau.

H

Banyak yang bilang, musik Frau memiliki dimensi rohani yang cukup kuat, apakah memang ada intensi kesana?

L

Jadinya terasa aroma rohani ya? (tertawa) Tidak ada sama sekali intensi ke sana sebenarnya, tapi mungkin terasa demikian karena saya cukup dekat dengan kebiasaan di Katolik yang memiliki kedekatan dengan musik piano dengan notasi ala barat, sebatas itu saja.

H

Bagaimana proses berkarya Lani sebagai paruh utama Frau?

L

Dulu, pada awal berkarya sebagai Frau, proses saya dalam berkarya cukup sporadis. Biasanya ada satu melodi yang terngiang, lalu dimainkan di piano, dan dari sana saya coba menerka, apa sih rasa yang muncul dari melodi yang demikian, apa tema yang bisa diasosiasikan kepadanya. Kemungkinan tema tersebut lalu diolah menjadi lirik yang menemani. Misalnya di lagu “Rat and Cat”, saat memainkan melodi pertamanya, saya langsung terbayang kata-kata “Rattie the rat..” sebagai bait pertama lagu tersebut, dari situ saya lalu mengembangkannya menjadi satu bagian utuh.

Pada beberapa waktu terakhir, mulai dari tahun lalu, saya sedang mencoba bermain-main dengan pola kerja yang lebih terstruktur. Misalnya, pola kreatif saya mulai dari lirik terlebih dahulu, ini hal yang cukup menarik bagi saya, karena ternyata dengan proses yang berbeda akan dihasilkan output yang berbeda pula. Jadi sejauh ini, mungkin pendekatan kreatif saya menggunakan dua metode tersebut.

H

Apakah ini yang kemudian membuat ada perbedaan yang cukup terasa pada album satu dan dua Frau?

L

Bisa dibilang demikian, perbedaan di album satu dan dua itu mungkin karena pada album pertama, saya mengerjakannya dengan sistem yang lebih ‘out of the wind’ saja, dan album tersebut adalah album perkenalan saya dan juga tentang gaya yang saya angkat. Di album kedua, saya lebih memiliki keinginan untuk menciptakan album dengan tema yang lebih kuat, yakni ‘Happy Coda’ itu sendiri, dimana album tersebut kurang lebih berkisah tentang kebahagiaan yang sederhana. Dari tema tersebut, mungkin saya lalu berkompromi dengan nafas lirik tiap lagu di dalamnya, dimana musik diposisikan sebagai elemen pendukung dari lirik tersebut. Berkebalikan dengan metode pengerjaan album pertama yang musik dulu, baru lirik kemudian.

H

Meskipun menggunakan dua pendekatan yang berbeda, musik Lani bisa beresonansi dan bahkan menyentuh banyak orang di berbagai penjuru Indonesia, bahkan hingga ke pelosok, apakah ini terbayang ketika Lani mulai berkarya sebagai Frau?

L

Kalau untuk memprediksi bahwa musik saya akan disukai orang, saya sama sekali tidak tahu dan tidak menduga. Saya juga tidak tahu bagaimana lagu yang saya ciptakan bisa beresonansi terhadap banyak pendegar, yang jelas saya menciptakan apa yang saya mau saja dan apa yang hinggap di kepala, terutama pada saat pengerjaan album pertama.

H

Di album kedua, ada yang bilang bahwa musiknya cenderung lebih inklusif daripada album pertama…

L

Oh, begitu ya? Sebenarnya tidak ada pikiran tentang seberapa inklusif atau eksklusif album yang akan saya hasilkan pada saat pengerjaan materi. Kalau jadinya lebih inklusif di album dua, kemungkinan karena saya menggunakan metode berbeda seperti yang saya jelaskan tadi. Ada struktur disitu, ini mungkin kenapa kesannya demikian.

H

Sebagai perempuan, bagaimana Lani melihat eksistensi perempuan di musik lokal?

L

Tentang ini, sepertinya akan menarik kalau kita memposisikan musisi perempuan seperti posisi perempuan di berbagai profesi lain. Terutama mungkin pada bidang pekerjaan yang passion-based seperti seniman, dan sebagainya. Pada bidang yang demikian, sepertinya stigma-stigma negatif terhadap perempuan sudah semakin tipis, kayaknya, akhir-akhir ini justru muncul banyak front-woman baru, meski pada bidang yang lebih condong pada maskulinitas, seperti pada musik rock ‘n roll masih belum balance mungkin ya secara jumlah gender pelakunya.

Di project saya selain Frau, saya juga kadang mengalami counter dengan berbagai macam kejadian dan keadaaan, sebuah hal yang jarang sekali saya hadapi di Frau. Mungkin karena saya solo disitu, jadi tidak ada yang mungkin lebih dominan daripada saya (tertawa). Tapi intinya, saya melihat sebenarnya perempuan punya kesempatan untuk meng-establish-kan posisinya di scene ini, bahwa kita memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya, itu yang penting untuk disadari.

H

Lani sendiri apakah memposisikan Frau sebagai medium untuk mengkampanyekan kesetaraan itu?

L

Wiih, kalau medium kampanye sepertinya tidak (tertawa). Saya sadar bahwa saya tidak terlalu berkompeten untuk mengkampanyekan sesuatu. Selama ini saya selalu dikelilingi oleh suasana yang nyaman, jadi saya cenderung mengekspresikan hal-hal yang sifatnya lebih slow. Tapi mungkin, bahwa saya bermain piano solo di panggung itu juga mengangkat gagasan tentang kesetaraan posisi gender, walaupun saya sebenarnya tidak terlalu berniat untuk kesana. Saya melihat bahwa hal yang disuarakan dengan lantang kadang akan membuat orang lebih lelah ketimbang sebuah ide yang disampaikan dengan lebih tenang, lebih santai.

H

Jadi Lani lebih cenderung bermain musik, for the sake of the music itself ya?

L

Mungkin bisa dikatakan seperti itu.

H

Seperti apa pengaruh iklim kesenian Jogjakarta terhadap karya Lani? Apakah bisa misalnya Frau melahirkan karya baru yang dikerjakan di kota lain?

L

Sepertinya akan sulit berkarya di kota selain Jogja. Saya sangat mencintai Jogja. Kotanya tak terlalu besar, semua orang akan dengan mudah mengenali satu sama lain, terutama mungkin di lingkaran seninya. Dari satu tempat ke tempat lain bisa ditempuh dalam tempo yang singkat, bisa bertemu banyak orang dalam satu kesempatan, tak hanya dengan seputaran seniman, tetapi juga dengan kalangan seperti tukang becak. Biaya hidup juga sangat murah disana, dan itu memungkinkan adanya kegiatan dimana kami mengobrolkan hal-hal tak penting. Dari situ kreativitas berkembang dengan lebih pesat.

Tanpa semua hal tersebut, akan susah membayangkan seperti apa misalnya karya saya tanpa kenal dengan teman-teman di Teater Garasi, atau Kongsi Jahat Syndicate. Dua itu saja sebenarnya sudah lumayan ajaib, dimana Teater Garasi lebih ke high art, dan Kongsi Jahat bermain di low budget gigs (tertawa). Belum lagi, teman-teman di kampus. Tanpa itu semua, saya tidak tahu bakal seperti apa karya yang saya bisa hasilkan. Sepertinya, semua orang yang tinggal di Jogja merasakan hal yang sama tentang kota tersebut. Sejenuh apapun kami dengan Jogja, segala aktivitas sosial, budaya, dan kreatifnya pasti akan bisa memicu keinginan untuk menciptakan karya baru.

H

Mengenai lirik, Lani banyak menggunakan pendekatan sastrawi, ada analogi, simbolisme pada beberapa lagu Frau. Bagaimana Lani melihat semakin banyaknya musisi lokal yang menggali hubungan antara musik dan sastra melalui pendekatan seperti musikalisasi puisi dan semacamnya?

L

Bagaimanapun, sastra dengan musik populer sepertinya akan berjalan beriringan. Saya juga melihat hal yang sama, setidaknya di seputaran pertemanan saya, banyak musisi yang berusaha untuk mengedepankan kualitas lirik mereka. Mungkin ini ada hubungannya dengan bagaimana pada era 90’an stigma yang melekat pada musik populer adalah mereka tidak ada isinya.

Seperti yang dulu Remy Silado pernah nyatakan pada salah satu tulisannya yang berjudul, “Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa”. Selang sekian tahun kemudian, ternyata stigma tentang musik pop yang dangkal ternyata masih tertinggal di kepala kita. Kita merasa bahwa musik pop seharusnya liriknya bermakna, liriknya bagus. Hal ini mungkin di sisi lain, menjadi trigger sekaligus semangat bagi kita untuk menciptakan lirik yang bagus.

Saya merasa diri saya juga merupakan bagian dari generasi tersebut. Ada Melancholic Bitch, Efek Rumah Kaca yang menjadi contoh dalam hal ini. Kalau tahun-tahun ini, ada Silampukau, dari Jogja ada Sisir Tanah, Jalan Pulang, juga Sleeping Pills yang terhitung masih underrated. Saya bisa merasakan nama-nama yang saya sebutkan tadi memiliki kedekatan, setidaknya kami sama-sama menggemari sastra. Karena sastra bisa menjembatani kebutuhan akan kualitas lirik yang bagus untuk musik.

Saya sendiri pernah tidak terlalu tertarik terhadap dunia sastra, terutama puisi. Sikap saya tersebut ada hubungannya dengan sebuah era dimana saya banyak menemui puisi yang sifatnya cenderung egois, dimana mereka seperti mengabaikan kepentingan makna. Untungnya setelah itu saya menemukan referensi baru yang bisa dijadikan modal untuk mengolah lirik lagu. Jadi kuncinya mungkin adalah membuka diri pada referensi baru.

H

Lani beberapa kali merespon karya orang lain dalam musik Frau, ada lagu Melancholic Bitch, “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa” yang bahkan oleh Ugoran Prasad sendiri dibilang bahwa lagu tersebut sekarang telah berpindah tangan menjadi milik Frau sepenuhnya. Bagaimana Lani memaknai proses berkarya seperti ini, apakah seorang seniman bisa menggubah karya orang lain dengan kebebasan penuh ataukah ada ketentuan khusus dimana seniman tersebut harus menyisakan keaslian nuansa asli karya?

L

Dalam hal ini, saya sependapat dengan seorang teman saya yang pernah menyatakan bahwa lagu cover yang baik adalah yang memiliki kemampuan untuk mengkontekstualisasi karya tersebut sesuai momentumnya. Saya sendiri dalam merespon karya orang lain masih berusaha menjaga nuansa asli karya, namun dengan pendekatan terutama konteks yang berbeda. Biasanya, cara yang saya lakukan adalah menggali rasa dari karya yang saya respon, lalu kemudian memilih bagaimana menceritakan kembali rasa itu dalam musik saya.

Jadi kalau disimpulkan, saya sepakat pada pendapat dimana kita tidak bisa mengubah sebuah karya seenaknya kita saja. Mungkin kita bisa mengganti bentuknya, seperti misalnya mengganti progresi accord dan semacamnya. Toh dengan tetap menjaga nuansa asli, kita juga jelas harus melakukan perubahan pada aransemennya, karena kalau jadinya sama saja, itu berarti kita tidak berkontribusi sama sekali sebagai musisi disitu.

H

Konser Frau cukup jarang terjadi, apakah ada standar/pertimbangan tertentu untuk mewujudkan sebuah konser Frau? Idealnya seperti apa sih konser Frau itu?

L

Idealnya mungkin konser yang ideal buat Frau adalah konser yang terkonsep dengan sangat baik, yang tidak menyisakan celah bagi kesalahan yang terjadi di acaranya. Impiannya seperti itu. Tapi kenyataannya, bahkan di konser “Tentang Rasa” di Gedung Kesenian Jakarta pun saya masih tiba-tiba ingin memasukkan lagu baru di setlist beberapa jam sebelum manggung.

Alasan kenapa konser Frau cukup jarang terjadi sebenarnya lebih karena saya memposisikan Frau sebagai penyeimbang diantara berbagai aktivitas saya lainnya. Jadi Frau adalah tempat saya berlari ketika saya bosan dengan aktivitas keseharian. Kebetulan tahun ini saya cukup banyak bermain dengan Frau, walau ternyata masih cukup jarang juga panggung Frau (tertawa).

Konsep konser sendiri bagi saya harusnya jelas dan dihandle dengan benar, terutama ketika dikerjakan bersama-sama dengan tim. Konsep yang bagus adalah sebuah tema yang bisa dibangun dan diwujudkan bersama-sama semua tim yang terlibat. Kadang, kita memiliki gambaran tentang sebuah konsep yang bagus, tapi ketika kemudian tim yang kita ajak kerja sama kesulitan dalam menjalankannya dan memahaminya, itu juga jadi kendala. Dan situasi seperti ini cukup sering terjadi di Jogja, dimana kami disana memiliki terlalu banyak pemikir yang punya konsep masing-masing. Mungkin keadaan yang demikian sangat ideal untuk pengembangan gagasan, tapi kalau untuk bekerja sama kadang susah jadinya. Saya cukup beruntung bertemu dengan Mas Gufi dan kawan-kawan di Kongsi Jahat yang selalu bisa menerjemahkan hal-hal teknis maupun konseptual dari kepala saya dengan sempurna.

H

Konser Tentang Rasa yang telah dilaksanakan di Bandung, Jogja dan Jakarta dideskripsikan sebagai sebuah konser yang akan menstimulasi berbagai panca indra, sebenarnya pengalaman seperti apa yang ingin Lani ciptakan bagi penonton konser ini?

L

Melalui konser ini, saya ingin mengingatkan bahwa pengalaman musikal itu tak hanya sebatas hanya untuk indra telinga. Karena semakin kesini, kita jadi semakin dekat dengan earphone/headphone yang seperti membatasi pengalaman dan perhatian kita. Padahal sebenarnya, musik bukan hanya sebatas permainan instrumen saja. Lingkungan di sekitar kita juga merupakan bagian dari pengalaman itu sendiri. Apa yang kita lihat, kita raba, itu juga akan memberikan nuansa pada apa-apa yang kita dengarkan. Misalnya ketika seseorang sedang mendengarkan Mozart di bus sambil melihat orang di sekitarnya, pada umumnya kita akan membatasi pengalaman musik pada suara Mozart saja, padahal orang-orang yang duduk di bangku, deru bus, dan segala yang bisa dirasakan disana adalah bagian yang memperkuat pengalaman mendengarkan musik itu sendiri.

Saya ingin kita peka, dan tak lagi menafikkan segala nuansa dari panca indra lain sebagai bagian dari musik yang kita nikmati. Pada konser ini saya sengaja menambahkan bau-bauan berbeda di beberapa lagu untuk memunculkan kemungkinan-kemungkinan berbeda dari pengalaman mendengarkan musik dalam berbagai situasi.

Tapi konsep yang demikian juga membuat saya mendapat pertanyaan, bahwa apakah dengan pemberian bau pada lagu tertentu saya membatasi imajinasi pendengar, bahwa misalnya lagu A cocoknya hanya dengan bau lavender. Tentu tidak seperti itu, saya tidak ingin menyeragamkan pengalaman pendengar ketika mendengarkan lagu saya, poinnya bukan disitu. Bau-bauan tadi hanya pengingat dan mungkin contoh bahwa musik tak hanya untuk telinga saja. Bahwa pengalaman musikal itu luas.

H

Jadi musik bagi Lani justru bukan pusatnya, jadi lebih kepada salah satu bagian dari pengalaman menikmati alam semesta?

L

Bisa dibilang begitu. Musik itu tidak hanya masalah bebunyi saja, bahkan silence juga musik bagi mereka yang mau melihat lebih jauh.

H

Belakangan ada fenomena konser tunggal yang cukup sering digelar, bagaimana Lani melihat esensi konser tunggal bagi musisi? Dibanding misalnya dengan gigs…

L

Bagi saya, konser tunggal adalah momen berbagi pengalaman dan pikiran. Pada konser tunggal saya memiliki kebebasan untuk memainkan lagu-lagu baru, karena orang yang datang memang datang khusus bagi musisi yang memainkan konser tunggal. Konser tunggal merupakan sebuah kejadian dimana saya bisa menuangkan segala apa yang ingin saya ceritakan melalui musik, sharing karya dan pikiran. Semacam showcase. Gigs lebih ke perayaan kebersamaan dari beberapa musisi, ya.. tapi tidak menutup juga bahwa musisi bisa melakukan showcase juga di gigs tertentu.

H

Pertanyaan terakhir, seperti apa Lani di luar aktivitas sebagai Frau dan apa rencana Lani ke depan? Apakah ada kemungkinan untuk album ketiga di waktu dekat?

L

Sehari-hari, saya banyak melakukan aktivitas. Banyak diantaranya yang sifatnya adalah sambilan saja, ya seperti musik ini juga sambilan sebenarnya. Album ketiga, rencana dikeluarkan tahun ini. Ya meski sekali lagi pengerjaannya dilakukan sambil saya mempersiapkan kuliah lagi. Februari awal akan mulai rekaman, semoga lancar semuanya.whiteboardjournal, logo