Mencoba Memahami Leicester City

Column
14.04.16

Mencoba Memahami Leicester City

Dibalik Prestasi Anak Asuh Claudio Ranieri

by Muhammad Hilmi

 

Agak susah untuk memahami bagaimana Leicester City bisa meraih apa yang mereka capai sekarang ini. Menjadi pemuncak klasemen liga Premier Inggris hanya dua tahun setelah naik kasta dari divisi championship sembari membuat tim-tim besar kebingungan melihat kualitas permainan yang mereka tampilkan. Sebagai tim kecil yang prestasi tertingginya hanya runner-up piala FA, ini adalah sebuah anomali. Lantas kemana larinya £215.6m gaji pemain Chelsea? Apa kabar usaha regenerasi Manchester United dan apa kabar dengan mimpi juara Wenger?

Yang membuat semakin susah untuk mencari garis nalar dibalik prestasi tim biru dari sisi barat kota Leicester ini adalah kondisi Premier League sekarang yang sangat kompetitif. Kompetitif dalam hal ini berarti hampir semua tim jor-joran dalam belanja pemain. Lihat saja, tim sekelas Stoke City yang dulunya cuma diingat karena kualitas permainannya yang jagal, kini punya Xherdan Shaqiri, mantan pemain sayap dengan julukan Messi-nya Swiss yang didatangkan dari Inter Milan, setelah sebelumnya bermain untuk Bayern Muenchen. Ah, bahkan tim sekelas Crystal Palace pun sekarang sudah berani belanja dari tim milyuner seperti Paris Saint Germain untuk mendatangkan salah satu tulang punggung Timnas Perancis, Yohann Cabaye. Dan, jangan sampai kita mulai berbicara tentang berapa juta poundsterling yang dibelanjakan oleh tim sekelas Manchester United, Manchester City dan Chelsea (eh, tapi kemana ya Falcao sekarang?).

Di Leicester City, nyaris tak ada pemain yang didatangkan dengan nominal berjuta-juta pounds. Di awal musim 2015-2016, pembelian paling mahal mereka “cuma” 7 juta poundsterling untuk mendatangkan Shinji Okazaki dari Mainz. Di line-up pun tak ada nama dikenal sebagai bintang lapangan. Kalaupun ada nama yang familiar mungkin hanya Robert Huth, anggota tim youth Chelsea yang gagal berkembang di senior sebelum kemudian ikut jadi begal di Stoke City.

Jikapun sekarang orang mulai mengenali nama-nama seperti Jamie Vardy, N’golo Kante, atau Riyad Mahrez, kita juga harus tahu bahwa sebelum Leicester City mulai mencuri perhatian melalui rentetan kemenangan yang mereka raih, mereka hanyalah pemain kelas tiga atau bahkan kelas empat yang akan dengan mudah terabaikan dari radar pencari bakat pada umumnya. Jamie Vardy, striker sensasional yang merajai top skor liga bahkan beberapa tahun lalu masih bermain di tim semi-pro, yang memaksanya untuk bekerja di pabrik ketika tidak ada matchday. N’golo Kante adalah pemain dari divisi tiga liga Perancis, dan Mahrez yang oleh Jamie Carragher disetarakan kualitasnya dengan Lionel Messi, adalah pemain dari divisi empat liga Perancis.

Selain secara line up pemain, tim kepelatihan Leicester City sejatinya juga cukup medioker bila dibandingkan dengan tim EPL lainnya. Ada Louis van Gaal, Rafael Benitez, Ronald Koeman, Jurgen Klopp, Guus Hiddink, juga Arsene Wenger di jajaran manajer EPL musim 2015-2016. Tak hanya nama besar, nama-nama tersebut juga telah membuktikan tajinya masing-masing dengan rentetan trofi bergengsi yang telah mereka raih. Jelas agak jomplang misalnya kita membandingkan Louis van Gaal misalnya dengan Claudio Ranieri, pelatih Leicester City. Meski telah melatih banyak tim besar, Ranieri belum pernah memenangi liga. Ini jelas bukan prestasi, jika kita melihat deretan tim yang telah ia pimpin, beberapa diantaranya adalah Valencia, Atletico Madrid, Chelsea, Juventus dan Inter Milan. Prestasi terbesar yang pernah diraih Ranieri mungkin cuma Copa Italia dan piala dari kejuaraan “ajaib” UEFA Super Cup, tak heran bila di awal pengangkatannya sebagai pelatih utama Leicester City, media Inggris justru lebih mengidentikkan Ranieri dengan berapa kali ia dipecat dari kursi kepelatihannya ketimbang berapa piala yang telah ia angkat.

Dari sisi strategi, juga tak ada yang istimewa. Statistik permainan Leicester City sebenarnya tak bagus-bagus amat, bahkan sebenarnya cenderung jelek. Rata-rata 41% ball possesion yang mereka raih tentu bukan hal yang positif di era sepak bola modern ini. Belum lagi secara umpan, anak-anak King Power Stadium ini juga tak terlalu cemerlang, sejauh ini rataan jumlah umpan dari setiap pertandingan hanya 336 umpan per pertandingan, untuk memberikan ilustrasi tentang seberapa rendah jumlah ini, secara jumlah umpan per pertandingan, Leicester City berperingkat kedua terbawah. Akurasi umpannya juga sama sekali tak istimewa, cuma 69%, paling jeblok di liga.

Lantas dimana sebenarnya letak keistimewaan Leicester City itu? Sebuah esai dari Claudio Ranieri menyibak sedikit cerita dibalik kemudi tim yang seolah menghidupkan kembali esensi mimpi di saat dimana uang bisa membeli prestasi. Di dalam tulisannya, Ranieri bercerita bahwa sebenarnya kunci dari permainan Leicester City adalah kerja keras. Di awal karirnya di Leicester, ia mendapati timnya mencetak banyak gol, tapi di saat yang sama, mereka juga kebobolan banyak gol. Ia lantas memancing timnya dengan motivasi bahwa ia akan mentraktir timnya pizza (ternyata semua orang Italia memang memiliki kecintaan yang begitu mendalam dengan pizza) jika mereka meraih clean sheet. Timnya lalu bermain lebih serius dan berhasil memenangi laga dengan catatan clean sheet. Di tengah sesi traktiran pizza, Ranieri berkata pada timnya, “I want you to play for your teammates. We are a little team, so we have to fight with all our heart, with all our soul. I don’t care the name of the opponent. All I want is for you to fight. If they are better than us, Okay, congratulations. But they have to show us they are better.” Dari sini, lalu segala prestasi mereka dimulai. Leicester City bermain dengan lebih baik, dan kini mereka telah memastikan diri untuk bermain di Liga Champions musim depan.

Tinggal ada lima pertandingan lagi untuk menutup EPL musim ini. Dan jika Leicester bisa memenangi tiga diantaranya, mereka akan jadi juara. Sebuah momen bersejarah bagi Leicester City, pemain, dan juga bagi Ranieri. Sebuah pencapaian yang mungkin tak akan terbayangkan di awal musim dimana target mereka sebenarnya hanya untuk bertahan di liga. Apapun hasil yang mereka akan raih di akhir musim, juara atau tidak, sebenarnya Vardy dan kawan-kawan telah berhasil. Dimana mereka, hanya dengan modal kerja keras, bisa membuktikan bahwa kadang uang tak bisa membeli segalanya. Dan dengan bekal semangat ini, mereka membuat kita, sebagai penonton bisa mulai berani untuk bermimpi kembali, tak peduli apapun yang kita miliki, dengan tekad dan kerja keras, semua bisa dicapai. Persis seperti statement Ranieri pada penggemar Leicester City, “Okay, you dream for us. We do not dream. We simply work hard.”

“Mencoba Memahami Leicester City” ditulis oleh:

Muhammad Hilmi
Managing editor and ace journalist at Whiteboard Journal. His passion in music and the arts inspired him to be involved in multiple creative projects, including his own publication and record label.whiteboardjournal, logo