Arrington de Dionyso Lakukan Penggalangan Dana untuk Palu Lewat Kolaborasi Album Eksperimental Terbarunya

Music
18.10.18

Arrington de Dionyso Lakukan Penggalangan Dana untuk Palu Lewat Kolaborasi Album Eksperimental Terbarunya

Kolaborasi multikultural yang meleburkan nilai-nilai budaya Indonesia dengan sedikit sentuhan modern.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Wienda Putri Novianty
Foto: Wikipedia

Arrington de Dionyso, musisi eksperimental berbasis Amerika Serikat, memang cukup dikenal lewat berbagai eksplorasi yang berorientasi pada musik eksperimental. Sempat menghasilkan kolaborasi multikultural, dirinya kerap menyuguhkan berbagai kompilasi lagu meleburkan nilai-nilai budaya Indonesia dengan sedikit sentuhan modern yang ia adopsi. Bermodalkan bass klarinet, kali ini, dirinya menghadirkan sebuah kolaborasi musik eksperimental dengan musisi Sulawesi sebagai salah satu upaya penggalangan dana terkait musibah yang menimpa Palu.

Lewat album bertajuk “TSUNAMI BENEFIT Unheard Indonesia vol. 14: Serang Dakko and Friends in Makassar”, dirinya menghadirkan empat trek dengan perpaduan alat musik bass klarinet dengan alat musik tradisional asal Sulawesi seperti lalove, pui pui dan gendang. Salah satu hal menariknya, Arrington mengajak salah satu maestro gendang tanah air, Serang Dakko untuk turut serta menghidupi serangkaian ritual eksplorasi dan improvisasi yang diinisiasi dirinya. Peleburan komposisi suara harmonis namun tak biasa tersebut lahir di antara alat musik tradisional dan eksplorasi musik free jazz,menghadirkan sebuah suguhan unik.

“Serang Dakko with Arrington de Dionyso (Lalove)” sebagai trek pembuka, mengawali serangkaian ritual eksplorasi antara Arrington dan Serang. Trek dimulai dengan suara gendang bertempo cepat dan tak beraturan diikuti dengan suara lalove, alat musik tiup khas Sulawesi Tengah yang mendayu hingga merongrong keras memberikan variasi suara. Trek kedua pun diikuti dengan suara klarinet menukik tinggi seketika berubah menjadi melodi melilit dengan iringan gendang solid.

Tak hanya itu, terdengar dari trek ketiga yang hadir dengan suara bass klarinet berdampingan dengan suara pui pui atau lalove. Suara-suara alat musik tersebut saling melengkapi satu sama lain membuat trek ini memiliki komposisi terasa ramai dan seolah bersahutan. Tak ketinggalan, suara gendang rasanya menjadi pelengkap mampu memberikan suasana kisruh dengan porsi tak berlebihan. Trek “Free Ensemble at the River”, sebagai trek penghujung hadir  memberikan nuansa klimaks sekaligus merangkum serangkaian improvisasi kedua seniman.

Menceritakan sebagaimana perpaduan alat musik tradisional dengan suara bass klarinet, sebuah eksplorasi cermat telah lahir lewat kepiawaian otak para seniman dalam merangkai ketukkan dan melodi menjadi harmonis. Nilai humanis yang disisipkan lewat aksi penggalangan dana rasanya menyempurnakan rangkuman perjalanan album yang diperkaya peleburan nilai kultur. Lewat lagu ini ini, rasanya kedua seniman mampu menghidupi sebuah karya sebagai satu keutuhan tubuh yang hidup dengan nilai-nilai tersorot dan gradasi budaya kental.whiteboardjournal, logo