Column
02.03.17

PUP!

Sebuah Ironi

by Whiteboard Journal

 

Wisma Nusantara, suatu malam. Penuh sesak dengan orang-orang kelimpungan. Berjubel-jubel mereka minta masuk ke dalam gedung. Di Jalan Thamrin, orang-orang dari kemacetan semuanya keluar, turut pula berlari ke arah gedung. Tak lagi ada beda antara, mana yang orang kecil, mana yang orang besar. Semua sama kocar-kacir. Bergulung-gulung massa berlari-larian sampai di gedung Wisma Nusantara seperti ketimpa lindu. Seorang tukang gorengan, beserta tukang-tukang lain, ikut pula hadir berkerumun. Gerobak-gerobak pada ditinggalkan. Supir-supir angkutan beserta sekalian penumpang, berhamburan turun ke jalan. Bahkan penumpang dalam bus Transjakarta, berloncat-loncatan mereka turun. Tak ketinggalan perempuan-perempuan. Para penunggang motor pun pada berhenti mendadak, dan memarkir kendaraan secara serampangan di sembarang tempat. Salah seorang yang kebingungan dan cuma ikut-ikutan pun bertanya, “Ada hal apa ini lari-lari, he!” tapi tak seorang juga yang menanggapi dengan benar. Di lobby gedung, massa sudah sampai ratusan jumlahnya. Petugas keamanan tak lagi ada di tempat. Semua sama pula penasarannya. Panik, lantas naik menuju salah satu ruangan dalam gedung Wisma Nusantara. Berdesak-desak orang minta jalan tapi tak lagi boleh bergerak barang sejengkal. Mereka pada berseru-seru, berteriak-teriak, “Bung Karno! Bung Karno!”

Gedung Wisma Nusantara pada suatu saat itu hiruk sekali seperti banjir menggerung apapun yang dihantam. Tapi suasana dalam ruangan yang pada saat itu dituju banyak orang, justru hening macam kuburan. Sebab tiba-tiba, bapak proklamator bangsa muncul di salah satu acara stasiun teve swasta.

Mula-mula acara debat kusir yang disiarkan secara langsung itu, berisikan para orang pintar. Para pakar, politisi, anggota dewan, hingga seniman ini, sedang panas-panasnya berdebat. Sampai-sampai si pembawa acara yang seorang tua, dengan suara terseret-seret meminta para hadirin untuk tetap berkepala dingin, hendak memutuskan sesi acara dengan menyilakan iklan lewat. Tapi ketika ia menyuruh rehat sejenak, pintu ruangan terbuka. Segerombolan bapak-bapak masuk, dan para hadirin tergetuk-getuk dadanya. Mata mereka seakan terbatuk-batuk tak hendak percaya. Udara dalam ruangan jadi berat seketika, tak – kala sosok Bung Karno masuk ke dalam ruangan. Di ikuti oleh bapak-bapak lain dibelakang, yang jika diurut dari yang paling depan sampai yang paling buncit itu, ada juga Bung Hatta, Bung IG Ngurah Rai, Bung Otto Iskandar, Paduka Sultan Mahmud II, Pak Kyai Imam Bonjol, dan turut serta Pangeran Antasari juga, Sang Kapiten Pattimura tidak ketinggalan. Mereka sekalian asyik sekali berjalan santai seperti sedang tak terjadi suatu apa.

Stasiun teve tidak jadi memutar pesanan iklan. Ruang redaksi melongok. Tukang kamera, tukang antar-antar, para hadirin dan semua orang di dalam ruangan dipersilakan bengong berlama-lama. Terlihat para pakar berdecak-decak keningnya. Politisi dan anggota dewan yang hadir masih kosong isi kepalanya, belum jadi bicara barang sebutir. Sedang para seniman malah cuma mesam-mesem sambil terkocok-kocok isi perutnya. Sekelompok bapak-bapak yang mestinya anteng tinggal di profil sejarah, kini sedang santai berjalan menuju muka hadirin yang ada. Si pria tua pembawa acara memegang dadanya tak kuasa di hampiri oleh mereka. Napasnya satu setengah-satu setengah begitu Bung Karno dan kolega hampir dekat. Dilihatnya juga mereka masih berpakaian lengkap-lengkap.

Bung Karno dengan kacamata hitam dan kopiah yang melekat di citranya, tak lupa tongkat komando terkempit dikelek. Dia berjalan paling depan penuh wibawa. Bung Hatta disampingnya hanya berjalan dengan anggun dan derapnya rapih tersusun. Tak ketinggalan Letkol IG Ngurah Rai masih berseragam tentara lengkap, disusul oleh Bung Otto yang tampil necis berbalut jas hitam dan dasi terikat di lehernya. Dengan pasang raut garang, tampak Sultan Mahmud II melirik-lirik hadirin yang ada. Ia berhenti berapa jenak dan menatap-natap. Alisnya diangkat tinggi-tinggi. Kumisnya menengok kesana-kemari. Gerutu dalam hatinya seakan sampai bisa bicara sendiri di kepala masing-masing orang, membikin mereka terlihat lebih kecil daripada buah duku palembang. Beberapa bahkan seperti pahit menelan ludah seperti tak sengaja menggigit biji buah duku itu sendiri. Tapi kemudian dengan sopan Pak Kyai menyuruh Sultan untuk melanjutkan jalan. Sementara dibarisan paling buncit, Pangeran Antasari dan Sang Kapiten berjalan bersanding. Keduanya sama berkumis. Tapi si Kapiten agaknya lebih mengkhawatirkan sebab, di tangan kanan, sebilah golok panjang tak disemat disarungnya. Tapi dijinjing, berayun-ayun bebas saja.

“Se-selamat malam, Tuan Presiden dan, Tuan-tuan,”

Si pembawa acara yang tua, dengan terbata-bata hendak memberi tangan, tapi sekujur badannya keburu gemetar. Bung Karno tak sedikit juga keluar kata-kata dari mulutnya. Malah langsung minta mik. Kemudian membebaskan mata berpandang-pandang dengan para hadirin. Seperti terbiasa melihat ketakjuban rakyat, lalu ia mulai angkat bicara, “Saudara-saudara sekalian tidak perlu panik! .. Apalagi terheran-heran benar! Saya beserta kawan-kawan ini datang, bukan dengan maksud menakut-nakuti saudara-saudara sekalian, apalagi bangsa Indonesia yang amat kami cintai ini!”

Bung Hatta berbisik sedikit kepada si pembawa acara yang tua, minta dibawakan penyangga untuk mik. Sebab menurutnya, tanpa penyangga mik, sangat tidak ke-Bung Karno-an. Tukang antar mik lekas menjinjing penyangga ke hadapan Bung Karno. Napasnya naik-turun seperti anjing, lekas dia pamit undur diri ke belakang, dan sempat tersandung kabel lalu membodohi dirinya sendiri.

Sementara stasiun teve tidak juga menampilkan iklan, seluruh rakyat Indonesia, dari hulu hingga hilir, terperanjat tiba-tiba. Kegiatan malam itu ditunda semua untuk menontoni acara tersebut. Seketika rating acara naik mendadak! Orang-orang dari semua daerah buyar ke jalan-jalan tak percaya. Media sosial gempar dan hashtag #BungKarnohiduplagi #BungKarnoditeve jadi trending topic worldwide. Stasiun radio dan stasiun teve lain, tak kalah kepingin menyiarkan kejadian tersebut. Bahkan sampai media asing ikut!

Di tengah suasana chaos, seorang anggota dewan yang tak kebagian diundang acara tersebut, bersungut-sungut kepada supirnya. Minta tarik gas lebih gegas sementara jalanan tak kepayang sedang padat benar. Pun ia kesal sendiri lantas keluar mobil. Pasalnya ia juga kepingin melihat langsung kejadian tersebut. Capek-capek berlari, ternyata di muka Wisma Nusantara sudah tak terhingga orang-orang berjejalan. Ia kepayahan dan hendak mengaso dipinggir, dekat gerobak tukang es. Si ibu pedagang minuman tidak ikutan orang-orang sebab punya diabetes. Susah lama-lama berdiri, juga susah lari. Si anggota dewan pun minta dibukakan teh botol. Kesempatan mewawancarai anggota dewan yang terkenal pun tentu jarang benar, pikir Ridow, seorang mahasiswa magang, yang ketika itu juga capek bersesak-sesakan dan memilih mengaso. Maka langsung saja didekati si anggota dewan yang terkenal, “Bapak Zong yang terhormat, boleh minta waktu sedikit?,” pintanya dengan harap.

Si anggota dewan yang sedang mengatur napas sambil meneguk teh botol pun kaget. Lantas menandaskan minumnya yang masih deras di tembolok, dan menanggapi anak muda dihadapannya, “Mau apa?” tanpa banyak lagak lagi, Ridow sudah siap dengan perlengkapannya. Tombol recorder di smartphone ia pijit. “Terima Kasih, Pak!.. Singkat saja, kiranya apa pendapat Bapak Zong yang terhormat, soal fenomena ini, Pak?”

Lepas teguk penghabisan, si anggota dewan lantas berteriak,
“INI PENCITRAAN INI! .. INI PENCITRAAN!!,”
Lain di luar, lain di dalam.

Akhirnya, ketika Bung Karno sedang berbicara, salah seorang dari hadirin mengacungkan jari hendak bertanya, “Interupsi, Tuan Presiden.. maap kalau lancang, Tuan Presiden… KW bukan?” Sultan Mahmud dan Sang Kapiten yang mendengar, juga hadirin, melotot. Sementara Bung Karno sedikit keluar senyumnya. “Pertanyaan saudara saya maklum, tapi boleh saudara sebutkan nama dahulu?”

“Saya Habib, Tuan Presiden,” dengan suara ciut dan melirik-lirik, Si Habib lekas membenarkan duduk kembali. “Baik Saudara Habib, dan saudara-saudara sekalian yang ada di sini atau yang sedang menyaksikan acara ini, di mana pun! Bukan, bukan maksud saya menyombongkan diri, tentu saudara sekalian telah mengerti saya, dan tahu siapa saya. Tapi saya ke sini, dan teman-teman di kanan-kiri saya, atas nama Paguyuban Uang Pahlawan, atau disingkat PUP!, meminta izin barang sebentar agar bisa sedikit menyampaikan keluh dan kesah kami.

Untuk bapak pembawa acara dan bapak pimpinan redaksi, maap kami potong acaranya sebentar. Dan barang siapa di sini, atau di mana pun, yang tak percaya bahwa kami ini betul-betul orang, dan ada! Silakan kalian tengok sejenak uang di dompet kalian masing-masing,”

Seisi ruangan mendadak merogoh kocek masing-masing. Segelintir orang berkecut karena tak pegang uang kertas, sebab teknologi masa kini memungkinkan orang menyimpan nominal dalam rupa e-money.

“Astagaa! Gambar!.. gambarnya tak ada lagi!,” seru seorang yang lebih dulu melihat, di ikuti yang lainya turut bercup-cuap. Sang Kapiten nampak berbisik dengan Pangeran di sebelahnya,
“Lihat itu! Bagaimana tidak sakit dilihat, Pangeran.. orang-orang yang banyak duit, justru tak memegang kita barang sedikit! Seperti kita ini macam berat sekali dibawa-bawa, hah?”

“Tidak kau saja, aku dan Bung Otto pun tak turut tampak dibawa mereka, juga Pak Kyai!,” seru Sultan Mahmud II kepada Si Kapiten. Bung IG Ngurah, yang ikut mendengar juga lantas berbisik, “Ini sudah maklum, Tuan-tuan. Sekarang, rakyat kecil macam tukang antar-antar pun pegang saya jarang-jarang. Buat mereka, saya ini berat sekali di dapat, tapi kalau pun ada, lenyap pun cepat!,” Sementara meski mendengar, Bung Hatta tetap tenang berdiri, menonton para hadirin yang kelimpungan.

“Saudara-saudara telah yakin sekarang?,” tanya Bung Karno. Sebagian mengangguk-angguk, banyaknya masih terbengong-bengong. “Saudara Habib, bagaimana?” tanya Bung Karno kepada Si Habib yang makin kecut dan ciut saja.

“Interupsi, Tuan Presiden!,” Di antara kerumunan, seorang mengacung jari lagi,
“Ya, sebut nama,”
“Saya Teguh, Tuan. Dulu seorang motivator, sekarang jadi dosen saja. Cuma ingin tanya, Tuan. Saya tak sangsi lagi, cuma, kenapa Tuan-tuan ini repot-repot hidup lagi ya?,”

Para seniman yang datang, tak lagi bisa menahan ketawa. Akhirnya mereka merem saja. Pun dengan tidak merasa tersinggung, Bung Karno lantas menjawab, “Memang cuma Bisma saja yang boleh minta hidup lagi? Kami juga kepingin dong.. Lalu kami minta izin sama Gusti yang baik hati, agar bisa hidup lagi untuk datang kemari!.. Tahu hal apa? Sebab, jelas kami tidak terima! Wajah-wajah kami sekalian ini, cuma dijadikan aksesoris!.. Mentang-mentang kami ini sudah lama mati, wajah-wajah kami ini cuma jadi alat tukar, dipakai untuk hal-hal macam korupsi!. Dan itu belum lagi transaksi-transaksi yang tidak jelas! Ini pelecehan namanya, memangnya kalian yakin kami ini sudah mati semua?,” gerutu Bung Karno membuat hadirin merinding bengong.

Selang lima menit Bung Karno berorasi, bergilir-gilir kemudian bapak-bapak pahlawan juga mencurahkan keresahannya masing-masing. Lepas itu, Bung Karno dan bapak-bapak yang lain hendak pamit. Sebab katanya jatah mereka cuma sedikit. Setelah ini, nanti di sepenjuru dunia juga akan ada aksi-aksi serupa. Lekas Bung Karno dan bapak-bapak meninggalkan ruangan acara dengan tanpa tepuk tangan, teriakan yel-yel, atau sorak-sorai MERDEKA!

Di depan pintu, massa yang berjubel-jubel memberi jalan dengan tanpa reaksi. Semua orang-orang mukanya tampak kecut. Bapak-bapak pahlawan keluar ruangan dengan berjalan santai kembali. Lalu, seorang Ridow yang berhasil mewawancarai si anggota dewan yang terkenal, lecut semangatnya berselip-selipan dengan kerumunan hingga berhasil sampai depan ruangan sejak tadi. Kemudian dengan hanya menyisakan kepala, Ridow pun berseru,

“Tuan Presiden!.. G 30S PKI, bagaimana?,”
Bung Karno sontak terkejut. Kemudian berhenti,
“O, itu.. Hmm.. Jadi begini…”

Depok, 2016

“PUP!” ditulis oleh:

Bagas Nik Harsulung 
Lahir di Jakarta 12 Mei 1994, mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Aktif menulis di Instagram.whiteboardjournal, logo