Film dan Fantasi yang Ditawarkan

Column
28.07.16

Film dan Fantasi yang Ditawarkan

Sebuah Renungan akan Realita

by Febrina Anindita

 

For once I thought I live in a fantasy world.

Hasrat muncul dan dibatasi oleh aturan. Realita yang kita hidupi penuh dengan batasan mengekang yang terbuat dari kesepakatan bersama, membuat manusia mencari cara untuk mendobraknya dengan merekonstruksi realita berdasarkan skenario yang disesuaikan dengan persepsi dan preferensi pribadinya. Sekarang, percayakah bahwa sebuah film atau serial bisa membuat penontonnya terlarut dalam cerita lalu melupakan realita yang ada di sekitarnya?

Contoh permulaan yang signifikan bisa ditemui di saat seorang balita terbiasa menonton animasi seperti Mickey Mouse, The Wild Thornberrys, Rugrats hingga macam serial lain yang bisa ditemukan di Nickelodeon. Kebiasaan menonton ini akan menjadikan segala hal yang ada dalam cerita, menjadi sebuah “kehidupan” yang terpatri dalam ingatan.

Konsep film sendiri sebagai bentuk storytelling yang terekam dalam bentuk audiovisual adalah sebuah medium untuk melengkapi sebuah cerita tertulis dengan memberikan gambaran jelas akan setting dan karakter tokoh yang ada di dalamnya. Dengan menghadirkan still image dengan warna yang melengkapi emosi cerita, tontonan-tontonan yang dulu kita simak saat kecil bisa menjadi memori perkenalan seorang anak dengan benda-benda yang tidak semuanya bisa ditemui dalam keseharian. Paduan warna serta garis dari karakter yang ditunjukkan dalam animasi, merupakan polesan imajinasi yang didapat sejak dini.

Namun kadang, cerita yang pada awalnya sederhana saat ditonton di umur 6 atau 8 tahun, ternyata memiliki titik cela jika dipikir dengan logika dewasa. Pesan yang tersirat dan terbentuk dengan visualisasi yang menyalahi realisme ini telah menjadi asupan sehari-hari sedari dini. Dari sinilah, kita terbiasa dan mentolerir keanehan yang ditampilkan di layar.

Seiring zaman, film telah menjadi sebuah pondasi yang sentimental bagi penontonnya. Filmmaker hadir tidak hanya sebagai seseorang yang menciptakan visualisasi, tapi juga storyteller yang memberikan batasan interpretasi akan cerita yang ia suguhkan. Dengan kuatnya karakter dan alur cerita, fantasi lantas tercipta di kepala. Meski kadang fantasi yang muncul dalam film tak selalu muncul dan terpaku pada tema serta cerita yang ada. Sebuah fantasi yang liar bisa terselip dalam potongan film yang menunjukkan ‘teks’ anomali terhadap kegiatan normal yang bisa ditemui di sekitar kita.

Sebuah fantasi pada hakekatnya menawarkan dunia alternatif dan imajinatif yang nyaris tak mungkin dapat terjadi dalam realita. Namun dengan stimulasi logika yang tepat, kadang fantasi tersebut bisa terasa lebih bisa dipercaya daripada realita. Hal ini erat kaitannya dengan istilah fantasi yang memiliki hubungan kausal kuat dengan hasrat yang terpendam, bisa berupa mimpi hingga harapan yang dianggap ideal.

Hasrat inilah yang kemudian terwujud pada gambar yang ada di layar kaca. Ketika melihat film “The Purple Rose of Cairo” karya Woody Allen yang bercerita tentang bagaimana seorang tokoh film keluar dari layar untuk hidup dalam realita misalnya, situasi yang demikian menjalin relasi dengan situasi realita yang dijalani sang penonton. Kondisi seperti ini merupakan hal yang sukar untuk terwujud di realita, hanya berperan menjadi substitusi fana atas bentuk ideal yang ada di dalam tatanan masyarakat.

Adanya fenomena psikologis seperti ini terkait dengan interpretasi psikoanalitik yang mempertanyakan realita. Dengan memasukkan mimpi dan harapan ke dalam bentuk fantasi yang bertolak belakang dengan apa yang disetujui oleh masyarakat, orang dapat tenggelam dalam fantasi yang berkelanjutan. Adapun contoh yang klise terdapat dalam film bergenre drama dengan ragam teknik sinematografi atau penggunaan frame secara intrinsik maupun ekstrinsik dalam cerita. Film-film Woody Allen, Wong Kar-wai, Pedro Almodovar hingga Abbas Kiarostami menciptakan situasi alternatif yang mungkin tidak akan dilakukan dalam menyikapi sebuah isu personal.

Film sebagai ruang untuk berfantasi menjadi medium yang tepat bagi individu yang mencari dunia yang dipenuhi harapan atau dunia yang mengakomodasi alter egonya. Layar yang tersorot dengan cerita fiksi itu menjadi proyeksi akan sudut pandang yang dibuat oleh manusia. Adanya relasi tidak langsung yang tercipta antara karakter dan situasi dalam film terhadap penonton seringkali membuat beberapa orang terpaku dengan ide yang tertanam dalam durasi 90 sampai 120 menit atau berkelanjutan.

“In the Mood for Love” dari Wong Kar Wai menjadi contoh yang dapat menggambarkan fantasi dalam film. Dalam film ini, penonton dibawa ke dalam skenario yang membuat waktu menjadi hal yang terlupakan, sehingga cerita hadir seakan tanpa akhir, layaknya fantasi. Film yang mengangkat tema sentimental ini membuat siapapun yang menontonnya mendapat citra pribadi dalam rasa yang tergambar oleh karakter utama. Wong Kar-wai membawa emosi konsisten yang membuat penontonnya merasa tidak memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri atas fantasi yang diidamkan.

Hasrat digambarkan menguasai keinginan manusia untuk menjalani fantasi yang diidamkan. Isolasi pun tercipta dikarenakan ketakutan sang karakter akan dilihat atau melihat realita, dapat membuat waktu seakan berhenti dalam momen tertentu. Momen tersebutlah yang pada akhirnya membuat seseorang mempertanyakan batasan antara realita dan fantasi yang dijalaninya. Ketika seseorang berusaha mencari tahu kebenaran akan sikap yang ia ambil untuk mendapatkan kepuasan atau kejelasan dari ekspektasi yang terbangun, di situlah fantasi hancur.

Di sinilah peran filmmaker sangat kuat. Bisakah film yang kita tonton menghasilkan lapisan fantasi yang melekat? Jika kita membayangkan cinta pada pandangan pertama, kita sudah terbiasa dengan interpretasi yang ada digambarkan dalam film. Dua orang saling menatap mata dan terjadi getaran tak tergambarkan pun telah menjadi tolak ukur akan rasa yang dipercaya bisa dialami oleh kita. Gambaran tersebut merupakah salah satu cara untuk membuat orang percaya akan ekspektasi. Definisi ekspektasi sendiri merupakan kepercayaan yang kuat bahwa sesuatu akan terjadi. Tapi ketika kita menyadari adanya cela dalam fantasi tersebut, fantasi yang ditawarkan pun menjadi sebuah bentuk klise akan ekspektasi. Film pun menjadi sebuah bentuk nyata dari marabahaya dan harapan atas kepercayaan yang berlebihan.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah fantasi dalam film memang muncul karena hasrat yang menggebu atau justru hasrat menjadi penghalang kita untuk menghidupi fantasi, walau hanya sementara?

“Film dan Fantasi yang Ditawarkan” ditulis oleh:

Febrina Anindita
Dilettante who is often spaced out during free time. When she’s not wired, she usually digs in literature, eroticism and visual art among others. Suffice to say, she’s erratic.whiteboardjournal, logo