LabTanya

06.02.17

LabTanya

Membangun Gagasan, Menghidupkan Dialog Tentang Ruang

by Muhammad Hilmi

 

Rasanya ada yang terlewatkan jika sekarang, di era modern ini, masih sering ditemukan bangunan yang mengabaikan prinsip arsitektur, pada masa di mana term tersebut semakin umum digunakan. Dari skala mikro: pembangunan rumah berkonsep minimalis yang hanya mengadaptasi tren tanpa paham esensi ruang, fasilitas umum yang terabaikan karena dibuat sekadarnya tanpa mengikuti kebutuhan publik, hingga yang makro: konsep pembangunan kota yang meninggalkan warganya. Sekian tahun perkembangan studi arsitektur, dampaknya nyaris tak berbekas di denyut kehidupan sehari-hari. Kalaupun ada, kemajuan hanya dirasakan oleh kalangan-kalangan tertentu, sisanya hanya menikmati remah-remah arsitektur dalam bentuk slogan yang hanya indah didengarkan, tapi tak nyaman dirasakan, apalagi dihidupi.

Michael Sorkin, seorang tokoh arsitektur, penulis sekaligus pengamat urban asal New York, Amerika dalam esainya yang berjudul “Critical Mass: Why Architectural Criticism Matters” menyoroti mengenai peran arsitektur dalam pola hidup modern. Baginya, fokus kajian arsitektur kini kadang teralihkan pada bagaimana menentukan tren estetika facade terbaru. Melupakan esensi utama bidang ini, bahwa arsitektur adalah tentang mengatur ruang di mana hubungan antar manusia dibangun. Tentang fungsi yang terpinggirkan saat arsitektur hanya berperan sebagai make-up estetika, padahal memiliki kekuatan untuk membentuk, memperindah dan benar-benar meletakkan kehidupan pada sebuah kota.

LabTanya adalah salah satu di antara sedikit yang masih melihat kekuatan tersebut. Dirintis oleh studio desain Adhi Wiswakarma Dewantara (AWD), LabTanya menghidupi peran nyata arsitektur dalam aktivitas yang kerap mereka laksanakan. Lahir dari kegelisahan Adi yang menemukan banyak pertanyaan di sela-sela menjalani profesi sebagai arsitek/desainer interior, LabTanya adalah usaha mencari jawaban dari bagaimana proses arsitektur sering terasa sebagai praktek yang menjemukan, “Dari pengalaman saya, arsitektur sering terasa sebagai usaha untuk semata mencari solusi dalam bentuk bangunan, tapi setelah karya selesai – beberapa bahkan mendapatkan apresiasi positif – saya justru menemukan kerisauan dan kegalauan dalam praktek sebagai arsitek,” ujar Adi.

Sebuah gagasan menarik lalu lahir dan menjadi salah satu pilar dari aktivitas LabTanya, bahwa arsitektur tak melulu mengenai bangunan, karena ruang tak selalu tentang tembok yang membatasi sebuah tanah lapang. “Saya sering merasa bahwa praktek arsitektur hanya dimulai ketika telpon kantor mereka berbunyi. Arsitek yang hanya berkarya jika ada pesanan dari klien. Dan dengan begitu kami lalu tak melihat ruang bahwa ada kemungkinan lain dari aktivitas asitektur, bahwa sebenarnya ada solusi arsitektur lain tanpa harus mendirikan bangunan fisik. Kadang, solusi tersebut bisa datang dalam bentuk analisa dengan spektrum yang lebih luas dan relevan dengan kebutuhan, bahwa keputusan untuk tidak membangun, itu juga merupakan keputusan arsitektural” tambah Adi lagi.

Yang menarik, dalam praktiknya, LabTanya juga membuat gagasan tersebut hidup – tak sekadar jadi konsep/wacana – dengan meleburkan ide-ide yang muncul langsung ke masyarakat dengan program dan aktivitas yang banyak berbicara mengenai masalah arsitektur kota. “Di Jakarta, arsitektur sering hanya berperan dalam berdirinya satu bangunan, ia kerap mengabaikan bahwa sebuah bangunan adalah bagian lingkungan sekitarnya, karena tak mungkin sebuah karya arsitektur berdiri sendiri seperti di buku sketsa. Maka dari itu, karya arsitektur harus bisa menghasilkan value bagi lingkungan sekitarnya. Supaya sebuah rumah bisa menjadi medium bagi penciptaan relasi sosial, misalnya. Karena kalau hanya memahami rumah sebagai bangunan privat yang terpisah, jangan heran kalau sebuah rumah indah tapi hidup di antara lingkungan yang kotor.”

Usaha mereka ini juga terlihat dibawa ke berbagai dimensi publik, terakhir mereka berpartisipasi dalam pameran hasil kerja sama antara Asia Foundation dengan Gudang Sarinah Ecosystem yang berjudul, “Sindikat Campursari”. Disana, LabTanya bereksperimen dalam bentuk karya yang mempertanyakan konsep pembangunan di perkotaan. Juga melalui program “Kota Tanpa Sampah” yang melibatkan publik dalam pembahasan diskusinya, “Kami selalu tertarik untuk mengundang perspektif dari berbagai latar belakang untuk memperkaya perspektif arsitektur. Praktik kerja arsitektur kerap dirasakan sebagai praktik kerja yang terbatas dan eksklusif, bukan saja karena ia dianggap hanya melayani kalangan yang terbatas namun juga ia yang selalu hadir berdiri hanya untuk dirinya sendiri. Ada jarak antara kehadirannya dengan realita persoalan di luar dirinya. Akibatnya kemudian, kerap sulit membayangkan misalnya, bagaimana arsitek serta karya arsitekturalnya mampu sumbangkan gagasan dan wacana penyelesaian soal sampah perkotaan, padahal mungkin publik memiliki ide untuk menyelesaikannya, hanya karena mereka dipinggirkan, gagasan tersebut akhirnya tak keluar,” tambah Adi lagi.

Di tulisannya kritiknya, Michael Sorkin juga menyampaikan satu poin penting, “Architecture is never not political, given both its economic stakes and its commitment to setting social life, and Modernist architecture has bravely − if mainly futilely − held onto the dream of its own subversiveness, its ability to leverage global change; these are its roots.” Yang menyenangkan adalah belakangan, kesadaran ini kemudian tumbuh, “Belakangan generasi baru terasa lebih peka pada kegelisahan semacam yang LabTanya rasakan, mereka bisa merespon lebih cepat mengenai isu-isu terkait.” Adi berkata. Dan, dengan begitu LabTanya telah membuka bukti bagaimana arsitektur – jika dipahami dan dilakukan dengan benar – memang harusnya tak hanya indah dalam konsep semata, namun juga mampu memberikan perubahan menuju kenyamanan hidup bagi semua.

LabTanya
Jalan Camar III AH-10
Bintaro – Jakartawhiteboardjournal, logo