Trending dari TikTok, Inilah Cara Influencer Membuat Brand yang Mengalahkan Fast Fashion

Fashion
10.04.22

Trending dari TikTok, Inilah Cara Influencer Membuat Brand yang Mengalahkan Fast Fashion

Mereka lahir dari media sosial dan memiliki banyak penggemar setia. Tetapi, jelas penumbuhan brand milik GenZ lebih pesat daripada fast fashion, mengapa?

by Whiteboard Journal

 

Teks: Jesslyn Sukamto
Foto: Stitch

Pada usia 19, influencer asal Swedia, Matilda Djerf meluncurkan fashion brand Djerf Avenue yang terinspirasi oleh gaya Skandinavia. Daripada mengambil jalan pintas, dia memutuskan untuk memproduksi semua pakaian Djerf Avenue secara etis di Lisbon.

Tiga tahun kemudian, Djerf Avenue telah menjadi label mode global dan memiliki gabungan pengikut hampir 400.000 pengikut di Instagram dan TikTok. (Djerf sendiri memiliki hampir 3 juta pengikut di seluruh platform). Dengan biaya tambahan untuk produksi yang lebih sustainable, Djerf Avenue berharga lebih mahal daripada label influencer lainnya — blazernya doang dijual seharga USD 199.

Sementara sebagian besar merek Gen Z memiliki strategi cross-platform, Djerf dan Johansson mengatakan bahwa TikTok adalah tempat yang tepat untuk mendorong bisnis fashion

Mereka percaya bahwa dengan berfokus dalam membangun komunitas melalui TikTok akan mempertahankan banyak penggemar mereka di tahun-tahun mendatang dan memberi mereka keunggulan atas pesaing fast fashion.

Merek kontemporer Stitch juga merupakan label lain yang mendapat manfaat dari TikTok. Ini dimulai di Instagram pada tahun 2018, dengan pendirinya yang hanya dikenal dengan julukan Clouder, menampilkan T-shirt bergambar anime, lengan panjang dan denim, berkomunikasi dengan penggemar di komentar atau melalui direct message

Pada Juni 2020, desainer tersebut mencoba TikTok, memposting video bernuansa lo-fi terhadap proses desainnya. “Saya melihat beberapa orang benar-benar mencap diri mereka di TikTok dan banyak mendapatkan traction darinya. Jadi, saya pikir saya tes-tes aja menunjukkan karya-karya saya, I don’t really care,” ujarnya. 

Video tersebut berhasil mengumpulkan lebih dari 5.000 likes dan meningkatkan pengikut Instagram Stitch dan penjualan e-commerce. Clouder sekarang mengutip TikTok sebagai alat pemasaran utamanya.

TikTok memiliki keunggulan khusus dibandingkan media sosial lainnya. “Untuk brands, TikTok adalah aplikasi yang lebih cocok untuk membagikan proses Anda. Anda dapat menunjukkan bagaimana Anda mengembangkan pakaian atau menambahkan karya seni – ini lebih kreatif dan mendorong orang untuk terlibat,” kata Pavel Dler, pendiri dan CEO platform konten Gen Z Culted, yang bekerja dengan merek kultus muda seperti Stitch dan Corteiz.

Untuk komentator TikTok Alexandra Hildreth, pengguna di platform lebih menekankan pada pendidikan fashion dan cara pembuatan fashion. Konten yang relatable,how i build this” yang dapat dikaitkan membantu merek meningkatkan jangkauan. 

Pendekatan Stitch memiliki nuansa anti-establishment, yang menarik bagi konsumen fashion yang masih muda. Bio TikTok-nya berbunyi “I’m not even a brand, I just make stuff fr“, yang menurut Clouder mengisyaratkan ambisinya untuk menjadi lebih dari sekadar label pakaian.

@stitch.lc


Brand-brand tersebut juga mengambil catatan terhadap isu lingkungan — dengan Djerf Avenue menjanjikan untuk menghindari produksi yang berlebihan sehingga barang best seller-nya selalu saja sold out.

Akibat ketenaran dari brand-brand tersebut di TikTok, bisnis Stitch didukung oleh penjualan yang terus menerus sold out dan dibuatnya toko pop-up di London dimana 300 remaja mengantri di sekitar blok pagi-pagi setelah mendapat informasi di media sosial. 

Clouder juga telah menyelenggarakan serangkaian acara komunitas fisik untuk menyatukan komunitas online-nya, termasuk sebuah scavenger hunt dimana pelanggan dapat mencari penemunya, membeli drop terbaru, dan menukar produk Stitch yang ada dengan perhiasan baru. 

Djerf Avenue juga tidak mau kalah, dengan meluncurkan toko pop-up pertamanya di LA pada musim panas ini, mengundang pelanggan paling setianya untuk mengunjungi dan bertemu dengan pendirinya. 

“Saya telah melihat pelanggan kami berbicara di bagian komentar TikTok dan kemudian bertemu untuk minum kopi di kehidupan nyatanya,” kata Djerf. “Gen Z sedang dalam proses mengembangkan kepribadian mereka. Jadi ketika mereka menemukan merek seperti Stitch atau Djerf Avenue di mana banyak orang terlibat dengan konten yang sangat mirip, ini membuat mereka merasa benar-benar terlibat,” komentar Dler.

Dengan inklusivitas dari artis-artis Gen Z tersebut yang menunjukkan realita dari industri fashion makin mendorong para konsumen — terutama yang target audiencenya merupakan pengguna TikTok — untuk lebih ingin membeli produk yang mereka tahu prosesnya dan bahannya.

Terlebih ketika brand besar pada umumnya akan menghindar dari opini atau tindakan yang membahayakan bisnis, Stitch tampaknya tidak peduli — yang merupakan bagian dari kejeniusan mereka. What you see is what you get, dan keaslian, inklusivitas serta transparansi merek-merek tersebut jelas merupakan sesuatu yang dihormati dan diinginkan oleh Gen Z.

“Saya bukan perusahaan fast fashion, saya tidak bisa mengeksploitasi pekerja-pekerja untuk membuat hoodies seharga 30 pounds… hoodies saya tidak berkualitas murah, so please don’t come for my neck”, ujar Clouder, pemilik Stitch.

Nampaknya the sky is the limit bagi merek-merek milik Gen Z yang dapat berkembang secara online — dengan banyaknya pelajaran-pelajaran seperti perlunya transparansi, inklusivitas serta keaslian yang dapat diambil untuk merek-merek fashion yang lebih besar.

“Saya pikir mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan dan diinginkan konsumen,” ujar Dler dari Culted. “Mereka tidak benar-benar menciptakan untuk konsumen. Mereka menciptakan untuk diri mereka sendiri dan komunitas mereka.”whiteboardjournal, logo