Pendaran Cahaya JAFF18 Merefleksikan Sinema Asia dan Berbagai Program Baru

Film
11.12.23

Pendaran Cahaya JAFF18 Merefleksikan Sinema Asia dan Berbagai Program Baru

Salah satu festival film terbesar di Indonesia, JAFF18 kembali dengan inklusifitasnya untuk menjadi ruang bertemunya para pecinta film, pegiat film, serta orang-orang di balik layar dengan mengangkat tema “LUMINESCENCE” yang berarti pendaran.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Agnina Rahmadinia
Foto: JAFF18

Setelah 8 hari para sinefilia, filmmakers, dan komunitas film berkumpul dan merayakan ibadah festivalnya, Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2023 pada Sabtu (2/12) lalu ditutup dengan meriah. Malam penutupan tersebut dirayakan dengan pengumuman film “Monisme” karya sutradara Riar Rizaldi yang didapuk sebagai film terbaik JAFF18 dan mendapatkan Golden Hanoman. Sebagai satu-satunya film Indonesia yang masuk dalam program Kompetisi Utama, film eksperimental ini sekaligus mewakili representasi dinamika hubungan manusia dan alam di salah satu gunung berapi paling aktif di dunia yakni Gunung Merapi. Selain Golden Hanoman, penghargaan Silver Hanoman juga diberikan kepada sutradara Chia Chee Sum atas film Oasis of Now dan Special Jury Mention kepada Nelson Yeo atas film Dreaming & Dying.

Selama beberapa hari, JAFF18 telah menyuguhkan berbagai ruang dan program screening dan non screening yang mewakili konsistensinya sebagai salah satu festival film terbesar di Indonesia. Film-film seperti 13 Bom di Jakarta, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, 24 Jam Bersama Gaspar, Women from Rote Island, hingga Setan Alas! juga ditayangkan premiere di JAFF. Selain itu ada pula film besutan sutradara ternama seperti Wim Wenders dengan Perfect Days yang menjadi official selection di Festival de Cannes 2023 hingga Monster dari sutradara Hirokazu Koreeda yang juga merupakan sutradara Shoplifter (2018).

Foto: JAFF18

Selain memutarkan film-film panjang dan pendek, JAFF tahun ini juga memutarkan 5 music video dan live concert Efek Rumah Kaca. Dalam press conference Ifa Isfansyah selaku Festival Director menyebut bahwa festival merupakan refleksi dari sebuah kota dimana festival itu berada, dan pemilihan atas artist tertentu ditujukan dengan maksud menginterpretasikan nilai-nilai yang dibawa. Selain itu, Alexander Matius yang merupakan Program Director JAFF 18 menambahkan bahwa dengan melihat lewat teropong yang lebih besar, program ini ingin membawa penonton untuk melihat bagaimana produksi film tak hanya tentang film itu sendiri, tapi juga ada substansi musik termasuk kerja-kerja pembuatan musik vidio yang merupakan bagian dari kerja pembuatan film. Sementara program non-screening di tahun ini tak hanya terbatas pada public lecture, forum komunitas, dan juga Art & Film Installation “Intersection”, melainkan JAFF18 pertama kali mengadakan live podcast dengan mengundang RAPOT Podcast yang terdiri dari Reza Chandika, Ankatama, Radhini, serta Nastasha Abigail.

Mengangkat tema “Luminescence”, Budi Irawanto, Festival President JAFF 18 ingin menggarisbawahi pentingnya memiliki perspektif inklusif dalam melihat sinema Asia dari berbagai asalnya. Sebagaimana fenomena pendaran cahaya di alam, JAFF kali ingin ingin melihat cahaya yang distingtif dari sinema Asia memancar dari karakteristikanya, alih-alih dikonstruksi oleh kekuatan di luar dirinya. JAFF18 telah dihadiri sekitar 20.444 penonton dengan mencapai 653 submisi dan 205 pemutaran film. Diantara angka tersebut juga JAFF18 mencatat 33 film diantaranya disutradarai oleh perempuan dan 24 sutradara baru. Festival ini juga dihadiri berbagai actor dan actress baik yang senior hingga pendatang yang turut meramaikan suasana acara selama kurang lebih satu minggu. Selanjutnya JAFF19 akan diadakan pada kisaran bulan November 2024 dengan mengangkat tema dan gagasan baru seperti yang selalu dinantikan.whiteboardjournal, logo